Satu

5.7K 233 16
                                    

Sepuluh tahun kemudian...

Pria berambut dengan potongan trendi itu duduk menyilangkan kaki di kursi kantin sambil melahap bakso. Wajah pria itu merona, melengkapi pesona mata bulat bermanik hitam legam dan alis indah. Tubuhnya yang mungil dibalut setelan seragam putih hitam.

      Nama pria itu Gun. Lengkapnya Gun Atthaphan. Ia anak tunggal pengusaha sukses di Thailand. Tidak seperti kebanyakan anak tunggal yang cenderung egois dan sombong, Gun tumbuh menjadi pria yang baik hati, lembut, imut, dan tidak mebeda-bedakan teman. Malah boleh dibilang sangat setia kawan, walaupun bicaranya sering ceplas-ceplos.
Prestasinya di sekolah termasuk baik, meskipun ia lebih sering bermalas-malasan daripada giat mengasah otaknya, yang jika diasag sedikit saja akan memberi hasil gemilang. Bicara soal bakat, bakat Gun yang menonjol adalah melukis. Talenta cemerlang itu ia warisi dari ibunya sehingga tak heran bila sang ibu mendukung sepenuh hati dan tidak pernah menuntut prestasi putranya di bidang nonlukis.
      Memang, ibunya bahagia dan membebaskan putra semata wayangnya itu menikmati hal yang disukainya, termasuk mengekspresikan imajinasinya ke dalam lukisan.
Keluarga Gun tak seperti pengusaha sukses lainnya, tak pernah menuntut Gun menjadi ini itu dengan prestasi yang bersinar sehingga kelak mampu mengambil alih perusahaan. Orangtua Gun berbesar hati melihat anaknya tumbuh menjadi dirinya sendiri, menjadi pribadi yang berbeda dengan orangtuanya.

      Hanya saja, sebagi ayah, pak Phunsawat sedikit khawatir melihat Gun mulai pacaran. Apalagi tiga bulan lalu Gun memperkenalkan Joss sebagai pacarnya. Firasat kebapakannya sudah tahu bahwa Joss bukan tipe lelaki yang bertanggung jawab. Namun, ia tetap mengizinkan Gun menjalin hubungan dengan cowok itu. Bagaimana pun putranya harus diberi kesempatan belajar mengenal dan menemukan pasangan yang tepat. Lagi pula zaman sekarang , apa bisa orangtua melarang-larang anaknya berpacaran? Yang penting aku tetap memantaunya, begitu prinsip papa Gun.

      Jadi, kurang apalagi Gun? Punya wajah imut, tumbuh oke, hati baik, orangtua pengertian, serta sahabat setia. Ini dia yang sedang Gun tunggu-tunggu, teman karibnya di sekolah.

"Dor!" Tiba-tiba seorang gadis berambut pendek menepuk punggung Gun. Kontan Gun tersedak hingga batuk-batuk tak karuan.
"Hahaha..." Gadis itu tertawa sambil duduk di sebelah Gun, lalu mengusap-usap punggung temannya.
"Dasar... uhuk..." umpat Gun tak jelas.
"Hehe... sori deh. Nih, minum dulu." Gadis itu menyodorkan air mineral gelas yang ada di meja. Gun langsung meminumnya, dan setelah batuknya reda ia menjitak kepala di pengganggu.

"Syukurin," kata Gun saat wajah di sebelahnya meringis kesakitan. "Makannya jadi orang jangan jail, Mook!"
"Ih, siapa yang jail? Kamu aja yang keasyikan makan bakso, sampe aku dateng kamu gak nyadar," balas Mook, sahabat Gun itu.
"Mana bisa ku lihat kalau kamu muncul dari belakang!" Gun memberengut.

"Hehehehe..." Mook terkekeh sementara Gun melahap kembali sisa baksonya.
"Gila ya? Dari dulu nggak ada perubahan," kata Mook sambil menatap ngeri ke arah mangkuk bakso Gun.
"Apanya?"
"Itu , bakso kamu."
"Kenapa? Mau?" Gun menawarkan.
"Ogah banget," tolak Mook langsung. "Aku kan antipedes. Aku heran deh, kok bisa ya perut kamu nggak ngadat dikasih racun kayak gitu."

"Siapa dulu dong?" Gun!"
"Gitu aja bangga." Mook mencibir. "Eh, omong omong, nanti kita jadi pergi, kan?"
"Duh, sori, Mook, aku nggak bisa."
"Kenapa? Kamu mau jalan sama Joss?"
"Nggak. Joss nggak masuk kok."
"Terus?"
"Aku disuruh bantuin Mama masak, katanya sih ntar malem om sama tante aku mau dateng dari Singapura. Biasanya sih Mama nggak pernag masak, eh tumben-tumbennya pengin masak khusus buat om dan tanteku," jawab Gun sambil mengusap-usap perutnya yang sudah terasa kenyang.

"Ngapain om dan tante kamu dateng?" Jangan-jangan mereka mau bawa kamu ke Singapura lagi," kata Mook.
"Nanti kalau kamu pergi, aku sama siapa dong? Dasar jahat!" Mook sewot duluan.

"Apaan sih?" Gun tertawa. "Ngaco ah, mereka nggak akan bawa aku pergi lah. Malah aku denger nih, mereka mau nitipin anaknya di rumah."
"Anaknya? Berarti mereka datang sama anaknya juga dong?"
"Ya iyalah, masa anaknya dipaketin?"
"Anaknya cewek atau cowok?"
"Cowok. Namanya Off," kata Gun. "Aku masih ingat. Waktu kecil aku deket banget sama dia. Kami pernah naik ke atap rumah siang-siang, tahu-tahu dia mimisan, terus jatuh begitu aja dari atap."

"Astaga! Yang benar?"
"He-eh. Sejak kejadian itu dia dibawa orangtuanya ke Singapura. Nggak tau deh lukanya gimana." Gun mengangkat bahu. "Dulu tuh dia culun banget, pendiam, terus cengeng lagi. Pasti sekarang dia tambah culun."
"Jahat banget sih kamu!" Mook tertawa. "Gitu-gitu juga sepupu kamy, kan?"

"Iya sih. Eh, ntar malem kamu ke rumah aku aja. Nanti aku kenalin sama dia. Sekalian kita makan bersama. Hari ini Mama pasti masak yang enak enak"
"Nggak ah."
"Cuma kenalan aja kok" kata Gun
"Nggak ah nanti aja disekolah."
"Dia nggak akan sekolah di sini. Dia kan lebih tua dua tahun daripada kita, pasti dia udah kuliah."
"Yaudah, nggak usah kenal."
"Terserah kamu deh. Tapi awas ya kalau nanti kamu ngotot minta dikenalin."
"Nggak akan!"
"Huuu!!"

""Nggak akan!""Huuu!!"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

*****
H

allo temen2 babii offgun aku baru belajar nulis nih jadi tolong dimaklumi kalo ceritanya lambat banget dan gak jelas 😐


To Be Continued...

WILL BE REPLACED Where stories live. Discover now