Change

1K 84 2
                                    

Hasil kelulusan sudah keluar. Gun lulus dengan nilai di atas rata rata. Ujian nasional biasanya lebih mudah daripada soal soal latihan yang ia pelajari. Ia sudah bebas, terlebih lagi papanya sudah mendaftarkannya untuk kuliah seni di Australia.

Hari itu Gun mencoba menghubungi Mook karena ia ingin meminta maaf sekaligus berpamitan. Walaupun kepergiannya masih dua bulan lagi, ia ingin menghabiskan sisa waktunya bersama Mook. Bagi Gun, dua bulan bersama sahabatnya itu akan cepat sekali berlalu.

Sambil menarik napas panjang, Gun memencet nomor Mook. Nada sambung langsung terdengar. Ia berdoa dalam hati agar kali ini Mook mau menerima teleponnya. Tak lama kemudian terdengar sapaan ketus.

"Halo."
"Eh, halo, Mook" sapa Gun gugup. "Mmm... apa kabar, Mook?"
"Baik" Mook menjawab datar.
"Makasih kamu mau nerima teleponku, Mook, aku... aku mau minta maaf."
Mook tidak menjawab.

"Aku tahu aku salah, Mook. Aku benar benar bersalah sama kamu. Tapi sungguh, aku nggak pernah berniat menyakiti kamu, apalagi membuat kamu menderita." Gun terdiam sejenak, seakan menyediakan waktu supaya Mook bisa menanggapi ucapannya. Mook diam saja sehingga Gun meneruskan pembicaraan.

"Aku... perasaanku muncul begitu saja, Mook. Aku nggak pernah bermaksud merebut semuanya dari kamu. Aku nggak merencanakan semuanya. Mook, tolong jawab aku..."

"Udahlah, Gun, aku memang selalu kalah dari kamu. Aku nggak mau berhubungan dengan kalian lagi."
"Tapi, Mook, aku nggak mau kamu membenciku. Aku benar benar kehilangan kamu."
"Kalian mempermainkanku." Kali ini suara Mook terdengar sedih.

"Mook, aku akan pergi ke Australia. Kuliah. Aku nggak mau pergi tanpa maaf dari kamu. Aku ingin memperbaiki hubungan kita."

Mook tak bersuara.

"Mook, tolong..."
"Jaga dirimu baik baik di sana" kata Mook. "Sudah ya aku sibuk. Selamat jalan." Telepon pun putus.

***

Mook mematikan telepon dengan sedih. Perasaannya hampa. Benar, dia memang marah pada Gun dan Off, bahkan merasa hidupnya tidak akan pernah bahagia lagi.
Dengan ayahnya yang kasar dan pemabuk, ibunya yang terpaksa jadi pelacur, dan sekarang kekasihnya direbut di depan mata oleh sahabatnya sendiri, lengkap sudah penderitaan hatinya.

Tanpa Gun, Mook merasa sendirian.
Harus diakui, Gun-lah satu satunya ysahabat yang ia miliki. Gun selalu bisa menerima keadaannya, kehidupannya. Belum pernah sekalipun Gun menghinanya.

Selama menjalani kebersamaan mereka, Mook tahu Gun selalu berusaha sekuat tenaga membantunya keluar dari segala macam kesulitan yang menimpanya.
Sahabatnya itu rela menyisihkan uang jajan untuk menomboki kekurangan uang sekolah Mook setiap bulan, sering mentraktirnya jajan di kantin sekolah, selalu berusaha menyenangkan Mook, termasuk menyerahkan Off menjadi kekasihnya.

Sekarang Gun akan ke Australia. Mook sadar, setelah kepergian Gun nanti, ia akan sepenuhnha sendirian menjalani hidup tanpa dampingan sahabatnya yang tulus menyayanginya.
Tentu saja ia menyesali pertengkaran mereka, termasuk kata kata pedas yang ia lontarkan.
Bagaimana mungkin ia bisa mengatakan membenci Gun?
Ah, waktu itu ia terlalu emosi.
Seharusnya persahabatan yang penuh kasih tidaklah seperti itu, hancur hanya gara gara memperebutkan seorang kekasih.
Mampukah ia menghapus semua kebersamaan dan kesetiaan mereka begitu saja?

Mook menunduk. Pelan pelan ia membaca kembali surat yang sedari tadi dipegangnya. Isinya pemberitahuan bahwa ia mendapat beasiswa untuk kuliah di Singapura. Sebelum bertengkar dengan Gun dan Off, diam diam Mook mendaftar beasiswa untuk kuliah di Singapura agar ia bisa terus bersama Off jika pria itu kembali ke sana.

Tapi, sepertinya sekarang itu tidak penting lagi baginya. Ia sudah kehilangan Off, harapannya sudah pudar.
Ia melipat suratnya dan memasukannya ke dalam laci. Besok ia akan menolak tawaran beasiswa itu, bahkan ia sudah memutuskan untuk mencari pekerjaan.

WILL BE REPLACED Where stories live. Discover now