Duka

139 54 73
                                    

Brussels yang mulai dirambah musim gugur adalah kota yang sehari-hari melulu suram. Sekarang pukul 23.54 dan di luar enam derajat saja. Cuaca murung, semurung hatinya. Dan secangkir kopi tak mampu mencerahkan hatinya.

Sebuah pesan masuk sepuluh menit kemudian.

Selamat ulang tahun, Bro! Kamu belum bisa kembali sekarang, kondisi belum aman. Nanti kukirim kabar lagi.

Dia menatap jemu layar telepon genggamnya, jari-jarinya tak ingin mengetik balasan.

Sudah berapa lamakah sejak kakinya meninggalkan kota kelahirannya yang pengap, panas dan rusuh?

Urung membalas pesan, jarinya bergerak membuka sebuah pesan lain.

Dik, Papa cuci darah lagi. Aku dan suami yang menunggui. Kali ini kondisinya tidak bagus. Doakan saja ya. Baik-baik di sana ya. Jaga kesehatan.

Tangannya segan menulis balasan.
Mendadak teleponnya bergetar.

"Selamat ulang tahun, Sayang!" ucap seorang gadis di ujung lain telepon.

"Ah, mendung di hatinya tersibak.

"Jadiiii ... mau hadiah apa?" tanya Si Gadis.

"Hmmm ... aku mau kamu ke sini!" Lalu tawanya berderai diikuti tawa Si Gadis yang tuntas mengusir mendung.

Kemudian beceritalah dia tentang hari-hari membosankan yang dijalaninya sendiri dan tentang angsa-angsa yang dijumpainya di taman kota ketika dia berjalan-jalan membunuh sepi.

"Kamu tahu apa yang paling kurindukan saat melihat angsa-angsa itu?" tanyanya pada Si Gadis.

"Aku bukan angsa!"

"Bukan kamu, Sayang! Kamu ingat lukisan angsa di ruang tamu rumahku? Mamaku yang melukisnya ketika dia mendapat diagnosa kanker."

Hening ketika mereka berdua memutar kembali kenangan tentang seorang wanita anggun yang gemar melukis. Kenangan akan almarhum mamanya tiba-tiba menyeruak membawa suasana sendu.

Memecah keheningan, Si Gadis akhirnya berkata, "Aku harus berangkat dan kamu harus tidur. Nanti kita ngobrol lagi, ya."

Sambil menutup telepon, dia meraih cangkir untuk tegukan terakhir ketika sebaris pesan mendahului.

Dik, Papa berpulang.

Disesapnya kopi yang tertinggal di lidah.

Pahit.

Dan matanya menghangat karena sekarang dia tak hanya piatu tapi juga yatim.

Butterflies in My StomachWhere stories live. Discover now