Bagian 20

799 78 25
                                    

Rai memasuki ruangan Ran yang berada tepat dua lantai di atas kantin tempat ia makan tadi.

Nampak Ran sudah nekat berdiri sendiri di samping jendela melihat pemandangan sambil tangan kanannya memegang tiang infus yang mengalirkan cairan bening itu kedalam tubuhnya.

Ran pasti sudah menyadari bahwa Rai memasuki kamarnya. Lebih baik Rai duduk di sofa karena tubuhnya terasa sangat lelah.

"Enak makan bakso?" Tiba-tiba Ran bertanya kepada Rai tanpa melihat wajah pemuda itu.

"Siapa yang makan bakso?"

"Tubuh Lo bau bakso!"

"Tapi gue gak makan, Ran," ucap Rai menjelaskan. Sangat fatal baginya jika ia memakan semangkuk bakso itu. Jangankan semangkuk, sesendok saja ia bakalan benar-benar ditendang oleh mamanya.

Nafas Rai tiba-tiba memburu. Terasa berat dan memendek. Kembali rasa itu menjalar ke punggung sebelah kirinya, rahangnya dan lengan kirinya.

Rai memegang dada kirinya. Ia ingat dengan obatnya dan langsung berjalan ke arah galon air. Tapi ia juga panik dan khawatir akan sesuatu terjadi pada jantung barunya yang tidak pernah  berulah.

Rai menarik kursi kayu yang berada di sebelahnya lalu duduk dan meminum obatnya dengan bantuan air putih.

Ran melihat pergerakan Rai yang terlihat tidak stabil itu.

"Lo kenapa?"

"Gapapa," jawabnya dan menaruh gelas bekasnya. Rasanya masih ada. Rai benar-benar khawatir akan keadaan dirinya tapi ia berusaha tetap tenang sambil dalam hati ia memanggil nama Rei berharap Rei bisa menolongnya menstabilkan detak jantungnya, tidak lupa ia memanjatkan doa pada Tuhan dalam hatinya yang rapuh.

Tidak lama, Rai ingat! Ia harus mengompres dada kirinya.

"Kalo gak keberatan tolong dong lemparin tas gue. Gak berat kok," pinta Rai sambil terus memegang dada kirinya.

"Lo kenapa sih? Niat jagain gue gak sih?" Protes Ran mempertahankan eksistensinya meskipun ia sudah sangat khawatir.

"Pliss.. hhh," erang Rai
Dengan hati-hati dan susah payah Ran meraih tas milik Rai yang emang sangat ringan. Ia lalu sedikit melemparnya kepada Rai.

Rai lalu meraih tasnya yang berada didepan kursinya. Ia lalu membuka resletingnya dan membawa sebuah benda berwarna merah. Ran tau, itu adalah alat kompres air panas.

Dengan cepat Rai mengisinya dengan air panas dari galon sampai cukup dan menutupnya kembali. Dengan hati-hati ia menuju sofa dan membaringkan tubuhnya disana.

"Rai, mau gue panggil dokter? Biar sama-sama Lo diperiksa," tawar Ran.

"Gak usah, gue udah biasa kok," tolak Rai sambil membuka kancing bajunya dan memperlihatkan dadanya yang bidang serta sebuah jahitan yang panjang disana.

Ran terkejut melihat luka itu. Ran tau Rai pernah dioperasi jantung dan ekspektasinya sungguh tidak se-menyeramkan ketika melihat luka jahitan itu. Ia membayangkan bagaimana sakitnya tersayat benda tajam dan itu adalah luka yang disengaja. Bagaimana ia harus bertahan tanpa jantung selama beberapa detik hingga akhirnya mendapatkan jantung baru dari orang yang tidak ia kenal. Betapa sakitnya menghubungkan kulit dan daging yang sudah terbelah menjadi menyatu kembali dengan jahitan.

Ran masih berkecamuk dengan pikirannya sendiri sedangkan Rai kini sudah berbaring dengan Kompresan di dada kirinya.

Sekarang Ran yakin, Rai adalah orang yang sangat kuat. Ia bisa melewati cobaan terbesar dalam hidupnya. Besar kemungkinan Rai bisa membantu Ran dalam masalahnya yang tidak seberat itu. Tapi tetap saja, manusia adalah manusia yang tidak akan bisa sempurna meski dipaksakan.

Merpati Putih [DONE]Onde histórias criam vida. Descubra agora