Bagian 21

836 82 11
                                    

"Hidup itu adil hanya untuk orang yang senantiasa bersyukur. Hidup itu bagai ancaman bagi orang yang tidak tau kemana ia harus bersandar," - Aminor

___________

Dokter Pito lalu mengisyaratkan kepada satu orang asisten lainnya untuk memanggil dokter langganan Rai dari kecil. Sang asisten lalu berlalu hingga tidak terlihat lagi punggungnya di belokan koridor rumah sakit sana.

Rai mencoba menenangkan dirinya sendiri. Iya meyakinkan dirinya bahwa tidak ada hal yang harus ditakutkan. Biasanya ia tidak se takut dan khawatir ini saat ia merasakan sakit sebelum operasi itu. Entah kenapa setelah kejadian itu hatinya lebih mudah sensitif apalagi menyangkut kesehatannya dan ketakutannya. Trauma. Rai menyimpulkan.

"Dokter, Ran belum minum obat. Maafin Rai gak jagain dengan benar," ucap Rai jujur sekaligus cara agar ruangan ini tidak beku. Suaranya serak khas orang yang sedang tidak stabil.

"Oya? Tolong bantu Ran untuk meminum obatnya ya, asisten Rill. Tidak apa, Rai. Wajar, manusia emang tempatnya lupa. Tapi jangan sampai bikin diri sendiri dan orang lain terpuruk karena kecerobohan sendiri," jawab dokter Pito yang membuat kedua orang yang tengah berbaring itu sama-sama tersindir.

Ran sibuk dengan pikirannya tentang masalahnya tanpa memikirkan kunci permasalahannya, yaitu dirinya sendiri yang harus dijaga. Harusnya ia sadar diri bahwa Rai juga punya masalah yang lebih besar darinya. Yaitu penyakitnya.

Sementara Rai juga merasa tersindir. Ia lebih sibuk mencari-cari teman baru dan melupakan dua hal yang penting dihidupnya. Meminum obat dengan tepat waktu juga menjaga Ran yang merupakan adik dari pemilik jantung barunya.

Tak lama kemudian dokter langganan Rai dari kecil itu datang dengan tergesa-gesa dengan asisten dokter Pito yang membawa blangkar. Khawatir akan keadaan pasien tunggalnya yang sudah ia anggap sebagai anak sendiri.

"Tolong angkat Rai, Rai. Kamu Om periksa dulu ya," ucapnya tiba-tiba sembari mengusap surai hitam milik Rai.

"Tenang, dokter Jo. Sebaiknya jangan buat Rai menjadi panik," ucap dokter Pito berdiri dan menahan sebentar tindakan dokter yang disapa Jo itu.

Dokter Jo paham. Ia salah, ia terlalu khawatir dengan Rai. Lantas ia menenangkan dirinya lalu duduk di tempat tadi dokter Pito duduk.

"Maafin Om, ya Rai," ucapnya lalu mengusap punggung tangan Rai.

Lalu dikeluarkannya stetoskopnya itu. "Om periksa kamu dulu ya."

Rai hanya mengangguk sebagai jawaban.

Dokter Jo menghela nafas lega setelah memeriksa dan mendengar dengan seksama detak jantung Rai. Normal. Tidak ada suara-suara aneh itu lagi.

"Sekali lagi Om minta maaf ya datang buru-buru buat Rai panik," ucapnya.

"Gapapa Om. Om ngelakuin ini semua karena sayang sama Rai kan? Harusnya Rai yang minta maaf," sergah Rai.

"Minta maaf karena apa? Karena telat minum obat?" Tanyanya dengan nada meledek.

"Om tau aja kalo Rai telat minum obat. Maafin Rai, Rai janji bakalan tepat waktu."

"Halah, janji! Jangan janji-janji terus kalo akhirnya kamu malah ingkar!" Ledek Dokter Jo.

Suasana menjadi lebih hangat dan cair. Diam-diam Ran tersenyum tapi efek obat selalu membuatnya mengantuk. Inilah alasannya kenapa ia sangat malas minum obat. Ran tidak biasa duduk diam seperti ini, Bed rest panjang seperti ini, hidup di kehidupan hangat seperti ini. Masa lalu nya yang terlalu kelam benar-benar mendidik ia menjadi orang yang sedikit liar dan nekat.

Merpati Putih [DONE]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon