Bab 4 (2)

19.5K 1.9K 17
                                    

Tak terasa mobil Erzha kini sudah sampai di depan rumah makan mamanya Sakina. Secepatnya Sakina bersiap untuk turun, tapi kemudian Erzha menahannya.

"Tunggu," ucap Erzha.

Ya Tuhan, sebenarnya apa yang Erzha inginkan dariku? batin Sakina.

"Apa nama akun Wattpad kamu?" lanjut Erzha.

Pertanyaan Erzha membuat Sakina menghela napas panjang. Tadinya, ia kira pria itu akan menanyakan sesuatu yang tidak-tidak. Syukurlah Erzha sekadar bertanya akun Wattpad.

"Kok diam?" tanya Erzha lagi.

"Kenapa nanyain akun Wattpad? Emang Mas Erzha suka baca juga?"

"Enggak, sih, cuma mau tahu aja."

"SakinaAdriana. Tanpa spasi, itu namanya," balas Sakina. Sebenarnya ia sempat ragu untuk memberi tahu Erzha nama akunnya, tapi jika tidak memberi tahu ... bukankah akan tampak mencurigakan? Apa alasan yang tepat untuk menolak memberi tahu? Malu ceritanya dibaca bukanlah alasan yang tepat, karena Erzha barusan mengatakan tidak suka membaca Wattpad.

Tak lama kemudian, Erzha tersenyum. Bukan, itu bukan ke arah Sakina, melainkan ke arah pintu mobil di samping Sakina. Tentu saja Sakina langsung menoleh, rupanya sang mama ada di luar pintu mobil Erzha. Tidak, jangan sampai mamanya salah paham!

"Aku turun dulu, ya. Makasih udah antar sampai sini," ucap Sakina terburu-buru. "Loh, Mas Erzha mau ke mana?" tanya Sakina begitu melihat Erzha yang sepertinya hendak ikut turun.

"Itu Tante Nita, kan? Aku masih ingat," jawab Erzha. "Aku mau menyapa sebentar. Aku baru tahu rumah makan ini milik Tante Nita," lanjutnya.

Ya Tuhan, Sakina tidak menyangka, sebenarnya ingatan Erzha terbuat dari apa, sih? Kenapa masih mengingat wajah mamanya, padahal sudah bertahun-tahun yang lalu.

"Maaf, Mas. Gimana kalau lain kali aja? Aku ada urusan sama mama, dan ini nggak bisa ditunda lagi," ucap Sakina sengaja berbohong. Ia tidak mau mamanya berkata yang tidak-tidak, terlebih tidak tahu kalau Erzha adalah pria beristri.

"Oh, baiklah," balas Erzha mengurungkan niatnya untuk turun. "Kalau begitu, salamin aja ya sama Tante Nita."

Sakina mengangguk. "Sekali lagi makasih ya, Mas," pamitnya. Sampai kemudian wanita itu benar-benar turun dari mobil Erzha.

Tidak butuh waktu berlama-lama, mobil Erzha sudah pergi meninggalkan pekarangan rumah makan Nita. Rumah makan yang sudah berdiri semenjak kepergian papa Sakina untuk selama-lamanya.

"Itu siapa?" tanya Nita seraya mengerlingkan mata nakal.

"Mama kayak nggak biasanya aja. Itu sopir GO-CAR lah," jawab Sakina berbohong. Untuk menghindari pembahasan, ia segera masuk ke rumah makan dan mencari kesibukan apa saja yang bisa mengalihkan Nita.

"Kok ngobrolnya lama banget? Mau bohongin mama, ya?" goda Nita. "Pria tadi juga senyum ke mama loh," lanjutnya.

Sakina tidak menjawab, ia malah langsung mengelap beberapa piring dan gelas yang baru saja dicuci oleh salah satu karyawan mamanya. Sungguh, ia sangat tidak ingin Nita salah paham, tapi kenyataannya sang mama justru sudah salah paham.

Boleh dibilang, Nita tidak penah melihat Sakina bersama pria apalagi diantar sampai rumah makan. Setahu Nita, anaknya itu sudah bertahun-tahun menjomlo. Ya, setidaknya itu yang Nita tahu, karena Sakina memang selalu menghindari pembahasan tentang pacar, terlebih calon suami. Padahal sebenarnya, di usia Sakina yang menginjak 27 tahun ini, Nita ingin sekali anak tunggalnya itu bertemu jodohnya.

"Pria tadi senyum ke Mama supaya dapet tip sama bintang lima, Ma," jawab Sakina akhirnya.

"Mama nggak akan marah loh kalau kamu beneran punya pacar, justru mama happy," kata Nita yang kini sudah mengambil posisi di samping Sakina.

"Udah ya, Ma. Pembahasan ini pasti ujung-ujungnya ke arah yang aku nggak suka. Cukup orang-orang yang nyuruh aku cepat nikah, tolong Mama jangan."

Nita mengerti, anaknya itu memang berwatak keras. "Oh ya, tumben kamu datang jam segini?"

"Mau bantu-bantu aja, Ma. Minggu kan biasanya lebih ramai," jawab Sakina. Tidak mungkin ia mengatakan alasan yang sebenarnya.

Nita mengangguk. "Ke sini setiap hari juga nggak apa-apa, Na. Mama malah senang. Daripada kamu suntuk di apartemen."

Ya, hari ini tepat satu bulan Sakina resign dari pekerjaannya. Dalam kata lain, wanita itu sudah satu bulan menjadi pengangguran. Suntuk? Memang iya. Hari-hari pertama resign memang nikmat, Sakina bisa bersantai sesuka hati. Rasanya seperti akhir pekan setiap hari. Namun, belakangan ini Sakina mulai berpikir untuk mencari pekerjaan lagi. Sakina merasa tidak bisa terus-terusan seperti ini. Tabungannya pun mulai berkurang karena hanya ada pengeluaran tanpa pemasukan.

Andai saja tidak ada masalah yang pelik di kantor tempatnya bekerja dulu, Sakina tidak akan memilih jalan resign. Baginya, resign adalah sesuatu yang harus ada perencanaan yang matang. Wanita itu bahkan memiliki prinsip; sebelum resign, ia harus memiliki pekerjaan lain yang bisa dipastikan lebih baik. Jika tidak, ia harus benar-benar merasa sudah kaya raya sampai bingung cara menghabiskan uang. Hanya dua alasan itu yang akan membuat Sakina resign. Namun, kenyataannya Sakina keluar dari pekerjaannya karena alasan konyol dan memalukan. Betapa tidak, hanya karena seorang pria, Sakina rela mengundurkan diri.

Sama sekali tidak ada yang tahu alasan Sakina resign. Hanya Sakina dan 'pria bajingan' itu yang tahu. Sedangkan Nita, Fifi bahkan teman sekantornya tidak ada yang tahu, mereka hanya tahu kalau Sakina ingin rehat.

Meskipun sebenarnya Nita dan Fifi curiga ada sesuatu yang terjadi, tapi melihat Sakina tidak mau mengatakannya, mereka berusaha tidak memaksa. Untuk masalah ini, Sakina merasa jangan sampai ada yang tahu bahkan wanita itu ingin menutupnya rapat-rapat sampai tidak ada celah sekecil apa pun itu. Selamanya.

***

Bersambung...

Dikit, ya? Rencananya publish dua part sih. Udah siap, kok, tinggal klik publish aja.

Tapi ... publish jangan, ya? :D

Soalnya lagi nggak kesurupan HAHA

Oh Duda...Where stories live. Discover now