8 ~ Menceritakan Masalalu

112 14 0
                                    

Pukul 12.30, Khalil dan Khansa selesai berkeliling. Khalil bilang acaranya akan berlangsung sampai malam. Dan dengan lempeng Khansa mengatakan akan disana sampai malam. Ada alasan mengapa Khansa tetap keukeuh ingin menikmati acara sampai selesai meskipun Khalil sudah mengajaknya pulang. Sekalipun dia akan melewatkan acara makan malam keluarga besarnya nanti malam.

Karena Khansa pemegang teguh prinsip, mendahulukan apa yang kita inginkan daripada apa yang kita butuhkan. Kenapa begitu? Karena belum tentu kita bisa mendapatkan apa yang kita inginkan itu kemudian. Bagaimana kalau kita mati?

"Kita pulang aja ya, Sa," pinta Khalil lagi.

"Aku mau disini sampe malam."

Ken bilang, spesies bernama cewek itu sulit dimengerti. Dan sekarang Khalil tahu kenapa Ken berkata seperti itu. "Nanti kamu dicariin orang tua kamu."

"Aku udah izin, Khalil. Kamu tenang aja." Khalil menghela nafas berat. Kehabisan kata. "Mending sekarang kamu tunjukin aku dimana masjidnya, aku mau sholat. Udah masuk dzuhur ini."

Kemarin saat mereka di taman, Khansa juga pamit pergi meninggalkannya saat mendengar adzan maghrib berkumandang. Jantung Khalil seperti disengat. Dari hijab yang senantiasa dipakainya, Khalil tahu bahwa gadis itu bukan orang yang suka meninggalkan kewajibannya sebagai seorang muslim.

"Disana!" tunjuk Khalil ke sebelah kanan. "Ayo ikut." Lalu menuntun langkah Khansa.

Khalil merasa ada yang salah dengan dirinya. Sebelumnya Khalil tak pernah merasa hatinya dipukul sehebat ini hanya karena melihat ketaatan seseorang. Atau Khalil memang tidak pernah melihatnya sama sekali?

Khansa melepas sepatunya begitu sampai di teras masjid. Menyisakan kaus kaki biru muda di kakinya. Sedangkan Khalil masih diam di pijakannya. Dia tengah menggali ingatannya, kapan kira-kira terakhir kali dia menginjakkan kaki di masjid?

Hal itu tentu mengundang jiwa penasaran Khansa untuk bertanya. "Kamu kok diam aja? Ayo masuk!" ajak Khansa. Tapi Khalil tak menggubris. Malah menatap Khansa dengan ragu.

"Khalil? Kamu muslim kan?"

Kali ini hatinya tidak hanya terpukul, tapi juga terasa jatuh sejatuhnya. Denyutan sakit terasa disana. Hati Khalil tak akan sekeras ini jika saja Ayahnya masih ada. Tapi Tuhan berlaku sangat kejam padanya.

Khansa yang sudah berada di anak tangga ketiga teras masjid, menuruni satu anak tangga. "Kamu jawab salam waktu aku telepon tadi pagi. Aku nggak mungkin salah menilai kalau kamu muslim 'kan?"

Khalil mengangguk rikuh. "Aku muslim," jawabnya pelan.

"Terus--"

"Kamu masuk duluan, nanti aku nyusul," potongnya cepat. Dia lantas berbalik meninggalkan pekarangan masjid. Berjalan lurus diikuti tatapan heran Khansa yang menghujam punggungnya.

"Kamu kenapa sih, Khal?"

×××

Aku nggak bisa apa-apa tanpa Allah, Khansa.

Kalimat yang diucapkan Nayla lima tahun silam itu masih melekat sempurna dalam benak Khansa hingga sekarang. Bahkan sampai mengakar di hatinya. Nayla mengatakannya saat mereka pergi ke Turki, saat Khansa berusia dua belas tahun.

Dari Nayla, Khansa belajar banyak hal. Salah satunya tentang Allah yang tidak akan pernah sekalipun meninggalkan hamba-Nya. Dan seorang hamba tentu tidak akan bisa apa-apa tanpa Allah. Khansa menanamkan kuat keyakinan itu di hatinya.

Papa dan Mamanya dokter. Keduanya sering sibuk dengan pekerjaan mereka. Namun satu hal yang sangat disyukuri Khansa, kedua orang tuanya tak pernah meninggalkan kewajiban mereka. Sejak kecil, Khansa dididik dengan nilai-nilai agama. Terutama dari Kakeknya yang tinggal di Jakarta.

Khalil dan KhansaWhere stories live. Discover now