12 ~ Asal Bersama Khansa

95 12 3
                                    

Kamu pulang jam berapa?

Pesan itu masuk jam sembilan. Saat Khalil sedang tidur-tiduran di kelas karena gurunya tidak masuk. Empat kalimat dari Khansa yang nyatanya mampu membuat sesuatu dalam hatinya pecah. Entah apa namanya. Khalil tak pernah merasakannya sebelumnya.

Khalil juga sudah membalas kalau sekolahnya pulang jam dua. Kecuali hari Jumat dan Sabtu, SMA Negeri 1 Medan memang pulang jam dua. Tapi rasanya waktu berjalan sangat lama dari biasanya. Lebih membosankan dari hari-hari lainnya. Semua pelajaran yang dilaluinya pun terasa jauh ikut membosankan dari seharusnya.

Bel pulang berbunyi setelah kelasnya, XII IPA 2 berkutat dengan soal-soal fisika selama dua les sebagai persiapan ujian akhir semester.  Dengan cepat Khalil segera memasukkan buku-bukunya ke dalam tas dan berderap keluar kelas. Menerobos siswa-siswa lain yang menghalangi jalannya.

"Mau kemana, Khal? Kok buru-buru?"

Tapi sahabat menyebalkannya itu malah mencegatnya ketika dia berhasil keluar dari pintu kelas. Khalil berdecak, membalikkan badan menghadap Ken yang berdiri di belakangnya. "Pergi," jawabnya singkat padat dan tepat.

"Kemana, Khal? Ikut dong!"

Cowok dengan jaket berwarna navi itu mendengus kesal. Dalam hati terus merutuki sahabat rasa penguntitnya itu. Dia sudah berjalan di lorong dan masih saja diikuti Ken. Parahnya lagi sekarang mereka berdua jadi bahan perhatian siswa-siswi SMA Negeri 1 Medan. Hal itu tidak akan terjadi jika saja Khalil tidak berjalan seperti orang dikejar setan.

"Mau kemana sih, Khal? Jalan kok kayak sprint, sih?"

"Jangan ngikutin Ken!"

"Ya gimana nggak mau ikut? Kamu bikin penasaran. Nggak biasanya kamu kayak gini. Mau ketemuan ya sama Lusi?"

Khalil menghiraukannya. Dia sudah berbelok menuruni tangga menuju lobi. Lalu berbelok lagi ke arah parkiran untuk mengambil motornya. Meskipun diacuhkan tapi tetap saja Ken mengikutinya. Bahkan ketika motor Khalil sudah dia bawa keluar gerbang dan berhenti di depan sana.

"Ngapain sih kamu, Ken? Pergi sana!"

Jika kening bebas jerawatan Khalil itu berkerut dengan mata menajam, artinya dia sedang kesal atau tidak suka terhadap. Ken tahu itu. Ken juga tahu kalau dia sedang diusir. Tapi sikap tidak biasa Khalil ini membangkitkan jiwa kepo Ken.

"Aku mencium bau-bau mencurigakan. Serius kamu mau kemana?"

"Nggak kemana-mana."

"Bohong kamu, Khal. Muka penuh dosa kayak kamu mah keliatan banget bohongnya. Mau jalan sama Lusi, 'kan?"

"Apaan sih, Ken? Siapa yang mau jalan?"

Tak menghiraukan Khalil, Ken malah memanjangkan leher seperti mencari seseorang. Dia penasaran Khalil ingin pergi kemana dan dengan siapa. Matanya memindai ke sekitar, ada banyak orang dan kendaraan. Wajar karena sekolahnya memang terletak di pinggir jalan raya. "Sama siapa, Khal?"

"SAMA SIAPA APA--"

"KHALIL!"

Keduanya kompak menoleh. Emosi Khalil yang tadi sempat tersulut padam seketika seperti diguyur hujan. Khansa berdiri di seberang jalan sembari melambai dan tersenyum lebar. Kalau Khalil hanya bisa diam dan merasa waktu berhenti berputar, Ken malah ternganga. Kalau ini di film kartun, air liurnya pasti sudah meluber kemana-mana.

Khansa masih tersenyum di seberang sambil berupaya menyeberang di antara lalu-lalang kendaraan. Dan yang tercengang tidak hanya Ken, tapi juga siswa-siswi SMA Negeri 1 Medan yang masih berada di dekat sekolah. Ada yang sedang duduk di halte, menunggu di depan gerbang, atau keluar dari gerbang.

Khalil punya pacar?

Anak Farmasi?

Pakek hijab?

Atau cuma temannya?

Balon udara di samping kepala Khalil pecah. Pertanyaan-pertanyaan yang tadi sempat menyapa otaknya benar-benar dia dengar jelas sekarang. Dari teman-temannya yang berada tak jauh darinya. Kepalanya seperti berputar-putar tak jelas. Aneh sekali.

"Hai!" Khansa menyapanya setelah gadis itu berhasil menyeberang dan berdiri di samping motornya. Senyum Khansa yang mencetak dua lesung di pipinya itu pun masih merekah.

"E ... eh, hai!" Khalil menyikut perut Ken yang membuat cowok itu berkedip berkali-kali.

"Teman kamu, ya?"

"Iya." Khalil menggaruk belakang kepalanya sebelum berinisiatif mengenalkan Khansa dengan Ken. "Kenalin, namanya Ke--"

"Kenzo Althan Dirgantara," sela Ken mengulurkan tangannya.

Dan tentu saja Khansa hanya menangkupkan kedua tangannya. "Khansa," ujarnya.

Ken menarik tangannya gugup. Menggerayangi tengkuknya resah dan bertanya pelan sekali, "nggak boleh, ya?"

Khansa yang terlihat berbeda dari gadis kebanyakan tentu menjadi pertanyaan besar, tidak hanya di kepala Ken tapi juga sebagian besar siswa-siswi SMA Negeri 1 Medan yang mengenal Khalil. Gadis serba tertutup yang jilbabnya tidak sependek gadis-gadis lain di luar sana. Melihatnya saja siapapun yakin dia bukan gadis biasa.

Lalu, bagaimana ceritanya penjahat seperti Khalil bertemu bidadari?

"Khalil, Ken, Khansa. Ka semua. Lucu, ya," cetus Khansa yang diakhiri kekehan kecil. Merasa aneh dengan nama mereka bertiga yang semuanya diawali hurif K.

"Iya, lucu kayak kamu. Manis lagi."

Khalil menggeplak kepala Ken ketika gombalan basi nan receh milik sahabatnya itu menguar. Dia harus segera membawa Khansa pergi sebelum banyak buaya-buaya yang menatap lapar Khansa.

"Pergi sekarang?"

"Kalian mau kemana? Jalan-jalan? Kalian pacaran? Sepupuan? Atau temen pengajian Khalil, ya? Tapi Khalil nggak pernah ikut pengajian kalau nggak salah."

Belum sempat Khansa menjawab Ken sudah memberondonginya dengan pertanyaan bertubi yang membuatnya bingung untuk menjawab. Dan Khalil lebih dulu menggeplak kepala Ken sebelum mulut ember sahabatnya itu membuatnya emosi.

"Gimana, Sa? Pergi sekarang?" Ragu-ragu Khansa mengangguk. Dia tersenyum sungkan pada Ken yang ketika disenyumi seperti kejatuhan taman bunga se-Indonesia Raya. Namun kemudian gadis berhijab itu tersadar sesuatu. "Eh? Naik motor?" tanyanya menatap horor pada rok sepan berwarna biru yang dikenakannya.

"Kamu pakek rok, ya?" tanya Khalil dengan bodohnya. Bagaimana sekarang? "Naik angkot aja gimana?" usulnya kemudian. Dia berharap-harap cemas jika Khansa akan menolak. Khalil tak akan lupa kalau Hasanah Khansa Ardhana yang berdiri di depannya ini adalah cucu pemilik Rumah Sakit Media Farma, tempat ayahnya dirawat.

Tapi jawaban Khansa malah sebaliknya. "Ayok!" serunya semangat. "Nggak papa kok, aku suka naik angkot," lanjutnya seolah tahu isi kepala Khalil.

Seolah abai pada dunia, Khalil turun dari motornya, melemparkan kunci motornya pada Ken yang tak terima ditinggal begitu saja, lalu berjalan di depan Khansa untuk menyetop angkot. Mereka berdua sama-sama mengabaikan tatapan orang-orang ketika masuk ke angkot berwarna kuning itu.

Angkot yang penuh sesak oleh anak-anak sekolah dan anak kuliahan itu tak memberatkan sama sekali. Khalil duduk di samping Khansa yang wajahnya memerah. Hari ini, kemana saja asal bersama Khansa, Khalil rasa dunianya akan baik-baik saja. Apapun alasannya, Khalil rasa dia akan baik-baik saja.

Iya, pasti baik-baik saja.

×××

Khalil dan KhansaWhere stories live. Discover now