19 ~ Melihat dari Mata

75 10 0
                                    

Kesawan Square terletak di Jalan KL Yos Sudarso, Kesawan Medan Barat. Tempat yang dikelilingi gedung-gedung bersejarah dengan arsitektur Eropa seperti Kantor Pos Besar Medan, Gedung Jakarya Lloyd, Rumah Sakit Tembakau Deli dan lainnya itu seperti menjelajahi negeri di Eropa. Jalanan di sekitarnya pun diubah menjadi tempat seperti pasar dengan tenda-tenda makanan.

Walaupun menikmati pemandangan Kesawan Square lebih indah pada malam hari, tapi Khansa tampak tak keberatan saat mereka datang siang hari. Mata bulat yang menatap setiap tempat dengan tatapan takjub itu tak pernah bosan meski dia sudah pernah mendatanginya sekalipun.

"Astaga Khalil, aku kayak lagi di Eropa beneran," ujarnya tersenyum lebar. Bersiap mengangkat kamera.

"Kayak nggak pernah ke Eropa aja kamu."

Khansa menyengir. "Pernah, sih. Tapi ini kan beda. Aku di Eropa bareng kamu."

Khalil pasti gila kalau kata kamu yang diberikan Khansa menyentuh sesuatu di hatinya. Berdehem untuk membasahi tenggorokannya yang kering, Khalil bertanya, "beda apanya?"

"Ya, beda. Biasanya aku ke Eropa bareng Kakek. Sekarang sama kamu. Dan kalau aku ke Eropa yang aku temui itu orang-orang berambut pirang, sekarang ketemunya indo banget."

"Batak banget," ralat Khalil.

"Nah, iya itu!"

Mereka menyusuri jalan mencari tempat makan yang sekiranya enak. Karena Khansa tidak pemilih soal makanan jadi dia mengikuti Khalil saja. Hingga keduanya berhenti di sebuah tenda penjual makanan khas Sumatera Utara.

"Makanan khas Sumut atau Tionghoa?" tanya Khalil sebelum masuk. Dan Khansa menjawab dengan mantap kalau dia memilih makanan Khas Sumatera Utara.

Sembari menunggu makanan tiba, Khansa sibuk dengan kameranya. Memandangi foto-foto di dalamnya dengan senyum. Sedangkan Khalil hanya diam saja. Namun senyumnya surut saat melihat fotonya berdua dengan Khalil. Ada perasaan hancur di sudut hatinya. Bisakah hal ini terulang? Atau ini akan jadi penyesalan terbesarnya karena akan meninggalkan lebih banyak orang?

"Khalil," panggilnya. Laki-laki itu menoleh. "Aku foto boleh, ya?"

"Buat apa?"

"Buat kenang-kenangan."

"Nggak, ah!"

"Mau, ya?" Khansa terus memelas.

Khalil diam. Mengalihkan pandangan ke samping, sesuatu yang sayangnya tak bisa Khansa artikan apa maknanya. Apa Khalil marah? Mukanya kan galak begitu. Bisa saja Khalil marah. Tapi siapa peduli? Khansa tetap mengarahkan kameranya ke arah Khalil. Menangkap beberapa gambar Khalil yang menyamping. Meski tanpa senyum, laki-laki itu tetap terlihat tampan. Tapi lagi-lagi dia masih diam tanpa reaksi.

"Kamu marah, ya?"

"Nggak."

"Kok diam? Marah, ya?"

"Nggak."

Baru kali ini Khansa merasa aura di sekitarnya begitu dingin dan mencekam. Padahal dari awal dia harusnya sudah tahu kalau Khalil bukan laki-laki yang ramah. Hal itu sudah dapat dilihat dari wajahnya. Tapi Khansa sendiri tidak tahu darimana dia mendapat keberanian mendekati laki-laki itu.

"Maaf, Khalil. Kamu pasti marah, kan?"

Kali ini Khalil menatapnya. Meski tanpa senyum tapi matanya tidak menyorot marah ataupun kesal. "Nggak, Khansa."

"Terus kamu kenapa? Ada masalah? Dari tadi kebanyakan diam."

"Nggak kenapa-napa, Sa. Cuma kepikiran sesuatu."

"Soal apa?"

Ini sedikit keterlaluan. Harusnya Khansa tak terlalu banyak bertanya. Dia takut mengganggu privasi Khalil. Tapi bagaimana lagi? Kadar kepo yang terlalu banyak dalam dirinya membuatnya ingin bertanya.

Terdengar helaan nafas Khalil. Tenda yang dikunjungi banyak pembeli ini membuat mereka menunggu sedikit lebih lama agar makanannya datang. "Aku merasa salah," ucap Khalil akhirnya.

Radar kepo Khansa meningkat lagi. "Salah atas apa?"

"Adik aku." Khalil mengangkat tangannya yang tadi bertumpu dari atas meja karena makanan mereka sudah datang.

"Adik kamu kenapa?"

"Kayaknya aku buat dia sedih."

"Loh? Bukannya waktu itu kamu juga buat dia sedih? Sampe nangis-nangis gitu."

"Ini beda."

Khansa menutup rapat bibirnya. Dia sungkan untuk bertanya lagi meski bibirnya gatal untuk bertanya. Apanya yang beda? Adik Khalil sedih karena apa? Apa Khalil sudah jahat pada adiknya sendiri? Pertanyaan-pertanyaan itu memutari otaknya.

Keduanya makan dalam hening. Bahkan sampai mereka selesai menghabiskan makanannya. Suasana di sekitar mereka jadi terasa canggung untuk Khansa.

"Namanya Kayla." Akhirnya Khalil bersuara setelah beberapa saat diam. "Dia adik aku. Satu ayah beda ibu. Aku masih belum bisa menerima dia sepenuhnya, Sa. Rasanya berat."

Sekarang giliran Khansa yang terdiam. Selain kaget karena untuk pertama kalinya Khalil bicara sepanjang itu, dia juga kaget karena ternyata di balik wajah datar itu tersimpan luka. Tersimpan luka yang Khansa kira tidak akan ada yang tahu tentang luka itu.

"Ceritanya panjang. Dan kayaknya dia sedih banget karena kata-kataku."

Cerita panjang itu tak perlu Khansa tanyakan sekarang. Sebagai seseorang yang rajin menulis, Khansa punya sudut pandang sendiri. Jadi daripada bertanya banyak hal yang semakin memberatkan beban orang lain, Khansa lebih memilih menggunakan kata-kata bijaknya.

"Kamu tahu, kadang kita harus menerima sesuatu walaupun menurut kita itu bukan yang terbaik untuk kita. Atau kita harus melepaskan sesuatu yang menurut kita baik untuk kita. Kamu tahu kenapa? Karena hanya Allah yang tahu apa yang terbaik untuk kita.

"Seperti adik kamu misalnya, kamu mungkin berpikir dia itu nggak baik karena bisa aja nyakitin hati kamu. Tapi Allah lebih tahu apa yang terbaik buat kamu. Allah sentuh hati kamu dengan membuat adik kamu sedih. Mungkin dari situ kamu bisa menerima dia, sayang sama dia."

Khansa tersenyum. Menghirup nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. "Khalil, bukannya aku menggurui kamu. Tapi, kalau aku jadi kamu dan aku punya adik perempuan yang kekurangan kasih sayang dari Ayahnya, maka aku yang akan gantiin posisi itu. Kamu mungkin berat untuk menerima Ibu sama adik kamu. Tapi lebih berat mana sama seorang Ibu yang merawat dua anaknya sendirian? Atau anak perempuan yang merindukan kasih sayang ayahnya?"

Meskipun Khalil hanya diam menatapnya, tapi Khansa tahu kalau Khalil mendengarkan. Itulah yang memicu senyum di bibir Khansa semakin lebar. Dia harap kata-katanya menyentuh hingga ke hati Khalil. Merubah perlahan kekerasan dalam hatinya. Khansa penulis, meskipun sudah lama dia tinggalkan, jadi setiap kata-katanya yang bisa merubah sesuatu tentu dia merasa sangat bermanfaat.

"Khansa--"

"Kamu orang baik," sela Khansa. "Aku bisa lihat itu di mata kamu."

Nampak Khalil menghela nafasnya dalam. Dia tak berkata apa-apa. Mungkin kehabisan kata. Hingga dua menit berselang barulah dia mengucapkan terima kasih yang sangat pelan.

"Makasih."

"Aku nggak tahu kamu bilang makasih buat apa. Tapi ya udah, aku bilang sama-sama. Kita pulang sekarang?"

"Emang kamu nggak mau foto-foto di Eropa?"

Senyum Khansa melebar. Menciptakan lesung di kedua pipinya. Dilihat dari manapun dia tetap manis. "Aku mau. Tapi sama kamu, ya?" Dan sebelah sudut bibir Khalik yang tertarik sedikit adalah jawaban untuk Khansa yang merasa bahagia sekarang.

×××

Khalil dan KhansaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang