(48) Kitchen Madness

1.7K 310 185
                                    

"Kalian berdua memang nggak bisa pilih kata-kata lain apa buat Manda? Malah main lempar fitnah begini. Nggak dewasa sama sekali!" protes Raka geram setelah mendengar sindirian tajam yang dilayangkan Edgar dan Ava tanpa bukti yang jelas.

Lelaki berkacamata itu menghampiri perempuan yang masih tertunduk dengan pundak gemetaran karena berusaha keras meredam isak. Berjongkok di hadapan Amanda sambil melihat kondisi kakinya yang bengkak yang membuat jalannya terseok-seok.

Raka bangkit, lalu meminta perempuan yang masih sesenggukan itu untuk mengalungkan lengan ke lehernya. Amanda menggeleng, memaksa berjalan sendiri dengan bantuan Bik Sima.

"Kakimu bengkak, Manda. Kalau kamu maksa jalan nanti makin parah."

Dengan Amanda dalam gendongannya, Raka berjalan melewati dua rekan kerjanya tanpa menggubris tatapan sinis mereka. 

Merebahkan Amanda pelan-pelan di ranjang single di kamarnya. Raka kembali mengecek kaki perempuan itu yang bengkak. Menawarkan untuk memberi pijatan pelan mulai dari telapak kakinya.

"Sakit sebentar kok. Tahan ya."

"Nggak mau," tolak Amanda ketakutan sambil menggeleng.

"Bik Sima temani, ya," tawar Bik Sima yang tetap berada di sisi Amanda. Siap untuk memegangi tubuh perempuan itu jika banyak bergerak.

Perempuan itu tak punya pilihan lain selain meringis dan sesekali menjerit sakit sambil meremas tangan Bik Sima berkali-kali.

🌻🌻🌻

Pagi menjelang, perempuan yang mulai sedikit demi sedikit bisa berjalan, tak sabar untuk mulai mengawali pekerjaannya lagi di dapur. Namun, ternyata di sana ada Bik Sima lebih dulu mulai mempersiapkan bahan untuk dimasak.

"Biar aku saja ya, Bu, yang masak. Kakiku sudah baikan. Boleh ya, Bu?" pinta Amanda sopan yang akhirnya diperbolehkan oleh Bik Sima. 

"Ya sudah kalau begitu. Bibik mau menyapu dulu, ya. Kalau ada apa-apa panggil Bibik saja ya."

Sepeninggal Bik Sima, dengan cekatan Amanda mulai mencuci ayam kampung yang sebagian diolah menjadi kuah tim dan separuhnya lagi untuk ditumis. Aroma harum khas kaldu bercampur bawang putih, jahe, dan daun bawang seketika tercium di hidung perempuan itu. Ia sungguh merindukan kegiatan ini. 

Teringat janji yang ia ucapkan saat sang pemilik rumah terbaring tak berdaya di ruang ICU dan kini sudah kembali pulang, membuatnya semangat untuk menyajikan makanan enak. Ditatanya dengan apik nasi tim ayam jamur itu di piring saji, lengkap dengan selada, irisan tomat dan mentimun agar lebih cantik dilihat. 

Tak terasa lengkung senyum terukir di bibirnya, setelah hampir seminggu bergelut dengan kesedihan yang tak berkesudahan. Berharap Edgar menyukai dan menghabiskan makanannya. Sebisa mungkin ia melupakan sindiran tajamnya tempo hari.

Dengan nampan berisi sepiring nasi tim ayam jamur dan semangkuk kaldu ayam, Amanda berjalan pelan-pelan membawa hidangan itu ke meja makan. Kembali lagi ke dapur untuk mengambil water jug berisi air mineral dan gelas kosong. Ingin segera menatanya di meja makan sebelum Edgar datang. Namun, terlambat karena Amanda baru sampai ke meja makan saat sang pemilik rumah sudah duduk di kursinya. 

"Permisi, ini minumnya," ucap Amanda lalu meletakkan gelas dan water jug dengan gemetaran di dekat menu sarapan Edgar. "Mas Edgar mau dibuatkan apalagi?"

Lelaki itu tidak menjawab sama sekali. Wajahnya tampak serius membuat Amanda mulai ketakutan. Dengan terbata-bata ia ijin kembali ke dapur untuk menyelesaikan pekerjaannya lagi. 

Saat Amanda sibuk mencuci peralatan masak dan membersihkan dapur dari sisa-sisa kegiatan memasaknya tadi. Tiba-tiba terdengar suara piring dan gelas yang beradu dengan lantai granit. Membuat jantungnya berdegup kencang. 

Segera, ia menghentikan pekerjaannya yang untungnya sudah selesai. Beranjak menuju ruang makan yang lantainya terlihat berantakan oleh pecahan piring dan gelas. Tercecer sisa makanan yang masih cukup banyak di sana. Masakan yang sudah Amanda buat dengan sepenuh hati. Tak ada lagi sang pemilik rumah di sana. Meninggalkan ruang makan yang berantakan begitu saja.

Mengangkat satu per satu pecahan piring dan gelas. Mengelap ceceran makanan dengan perasaan yang campur aduk. Matanya mulai mengembun, memikirkan apa ada yang salah dengan hasil masakannya. Namun, ia kembali lagi untuk fokus membersihkan lantai ruang makan yang berserakan.

Baru saja ia selesai mengepel ruang makan setelah bersih dari pecahan kaca dan ceceran makanan, terlihat sang pemilik rumah kembali lagi.

"Awas, Mas, lantainya masih basah," larang Amanda dengan nada sopan. Tangannya mencengkram erat pegangan alat pel untuk menyalurkan kegugupannya. Perempuan itu memilih kembali lagi mengembalikan alat pel ke tempat semula dan kembali ke dapur untuk meneguk air daripada melihat tingkah Edgar yang tak dapat ditebak.

Amanda kaget bukan main saat membalikkan tubuh setelah meletakkan gelas yang baru saja ia pakai. Tampak Edgar dengan raut yang menahan marah, berdiri tak jauh darinya.

"Maaf, Mas, apa makanan yang saya masak nggak enak? Nanti saya masakin lagi yang baru," tawar Amanda takut-takut.

"Nggak perlu. Lo nggak perlu masak lagi buat gue. Yang gue pengen lo pergi dari rumah gue hari ini juga!" sentak Edgar dengan suara menggelegar ditambah kilat amarah di matanya. 

Amanda hanya menundukkan kepala, menyembunyikan ketakutan saat ucapan barusan meluncur dari bibir Edgar. Hatinya kembali pecah berkeping-keping saat menyaksikan sendiri dengan perasaan tidak percaya. Saat Edgar melemparkan setumpuk lembaran merah ke arahnya, yang seketika membuat berlembar-lembar uang terhambur ke lantai saat menabrak bahunya.

"Itu gaji lo. Uang tiket lo pulang ke Surabaya. Gue tambah tunjangan dua kali gaji karena gue mutusin hubungan kerja sepihak. Hari ini lo resmi gue pecat!"

Tangis Amanda pecah seketika di dapur. Terisak-isak hingga lidahnya kelu untuk mencoba sedikit membela diri. Dengan tubuh yang masih gemetaran, ia memunguti uang yang menjadi haknya. Sesekali ia menekan dada, terasa seperti ada yang menikam hebat di sana.

Bertanya-tanya apa dia masih punya sisa kekuatan di mana hatinya baru saja hancur saat Prayoga mengambil semuanya. Dan kini, tak ada setengahnya yang ia punya dan kembali remuk oleh usiran Edgar. 

"Ed, lo gila ya, Ed!" bentak Raka yang baru saja sampai dapur. "Lo bener-bener nggak punya hati!"

Seperti biasanya setiap pagi, Raka bertugas membuat secangkir espresso untuk Edgar. Namun, saat mendengar suara tangisan yang pecah dari arah sana, membuat lelaki berkacamata itu melangkah cepat. Benar saja, ia mendapati Amanda berlutut sambil memunguti lembar demi lembar uang yang tercecer di lantai dengan terisak pilu.

"Manda, berhenti ambil uang itu, Manda!" perintah Raka dengan penekanan. Namun, perempuan itu tidak menghiraukan. Tetap memungutnya satu-satu sambil terisak.

"Manda, berhenti!" ulang Raka lagi. Kini, lelaki itu berlutut di dekat Amanda yang masih meneruskan kegiatannya.

"Bi-ar, Mas. Ua-ng-nya ma-sih bi-sa di-pa-kai bu-at di Su-ra-ba-ya nan-ti," ucap Amanda terbata-bata sambil sesenggukan. Pundaknya bergetar hebat. Bulir-bulir bening itu seperti belum bosan mengalir membasahi kedua pipinya.

🌻🌻🌻🌻

Surabaya, 171119

Update lagi. Yeeaaayyy 👏👏👏

Part ini sudah 1013 kata, males motongnya. Gpp deh demi kalian 🤩

Teruskan Abang Edgar. Sekarang sudah pinter nggantiin Sarden Gaga buat kucurin cuka ternyata. Hebat kamu, Bang 😆😆😆

Enaknya diapain ya nih Abang Edgar? Kubungkus aja kubawa pulang buat ajarin main Fast Trade saham gorengan 🤣🤣🤣

Silakan bingung mau merapat ke team siapa sekarang 🤣🤣🤣

Btw, aku penasaran sama tebakan kalian gimana? Tulis di komen yaa. Kira2 ada yang sama nggak dengan pikiranku

Happy reading yaa ❤️❤️❤️

Please send your love and support to me with many votes and comments yaaa 🥰🥰🥰

Thank you ❤️❤️❤️

After Years GoneWhere stories live. Discover now