(58) Wound in Her Heart

2.4K 374 129
                                    

Amanda menatap enggan pada sarapannya. Setiap pagi hari entah kenapa sering membuat tubuhnya terasa lemas bukan main. Nafsu makannya menghilang. Apalagi suasana di meja makan begitu hening. Hanya suara denting sendok garpu beradu dengan piring.

"Ed, ayah ada flight jam sembilan pagi ini. Kira-kira kamu bisa antar ayah?" tanya Adrian setelah menyelesaikan sarapannya.

"Nggak bisa, Yah. Jam sebelum jam sembilan saya harus standby di depan laptop. Atau nanti biar Raka yang antar ayah ke bandara," jawab Edgar dingin. Meski dalam hati ia senang jika sang ayah akhirnya angkat kaki dari rumah ini.

"Nggak usah. Ayah naik taksi saja ke bandara," putus sang ayah sedikit kecewa. Lalu pandangannya beralih ke Amanda yang sedari tadi tampak tidak bersemangat makan, berbeda seperti tengah malam saat mereka bertemu di meja makan kala itu.

"Amanda, ayo dimakan. Nggak enak ya? Enak masakan sendiri ya? Atau mau disuapin Edgar saja? Manda jaga kesehatan. Jaga cucu ayah ya."

"I-iya, Ayah. Ini saya coba makan pelan-pelan," ucap Amanda sambil terbata-bata lalu berusaha mencoba makan lagi. Menahan rasa tidak enak di perutnya. 

Terdengar derit suara kursi, sang ayah bangkit berdiri. Melangkah menuju kursi sang anak bungsu lalu menepuk bahunya sambil berkata, "Ayah pulang dulu." Kemudian pria paruh baya itu beranjak meninggalkan ruang makan. Menarik koper yang sudah dipersiapkan yang ditaruh di ruang keluarga.

"Ayah," panggil Amanda dari ruang tamu. Saat ingin beranjak berdiri, ada tangan sang suami yang menahannya pergi. Sang istri melirik ke arah lelaki yang duduk di sampingnya. "Kasihan ayah jauh-jauh ke sini, saya mau antar sampai depan. Mas nggak ikut?"

Sang suami hanya memutar bola matanya malas. Terpaksa bangkit dari kursi mengikuti langkah sang istri. Amanda memanggil ayah mertuanya yang sudah berjalan hingga ruang tamu, menghentikan langkah pria paruh baya sebelum mencapai pintu rumah.

"Iya, Manda," jawab Adrian lalu membalikkan badan menyambut Amanda yang berjalan ke arahnya. Senyum tersungging di wajah ketika melihat sang anak bungsu juga ikut melangkah di belakang istrinya.

"Hati-hati nanti di perjalanan, Ayah. Maafkan kami jika kurang menyambut Ayah dengan baik," ucap Amanda dengan raut sedih. Sebentar lagi tidak ada lagi yang akan ia panggil dengan sebutan 'ayah'.

"Kata siapa? Sudah dua kali kamu memasak untuk ayah waktu tengah malam, andai suamimu bisa ikut makan bersama waktu itu, mungkin bisa lebih ramai, ya," hibur Adrian dengan nada lembut. Tak ingin membuat sang menantu lebih sedih. 

Kemudian ia mengalihkan pandangan pada sang anak untuk menyampaikan sesuatu. "Lain kali kalau bisa kamu ikut menemani Amanda makan tengah malam. Kasian dia kalau makan sendiri nanti malam."

"Manda, ayah pulang dulu ya, itu taksinya datang." Langkah Adrian berhenti sejenak ketika mendengar sang menantu memanggilnya 'ayah' lagi dengan begitu lembut terdengar di telinga. Membuat hatinya tersentuh. Membentuk kaca-kaca matanya. Tiba-tiba terasa lembut ada yang meraih tangannya. Tanpa disadari Amanda mencium dengan takzim punggung tangan ayah mertuanya.

"Hati-hati di jalan, Ayah. Terima kasih sudah datang. Akhirnya ada yang bisa aku panggil 'ayah'," ucap Amanda sambil tersenyum menatap ayah mertua yang ternyata tidak sejahat yang ia kira. "Sampaikan salam dari kami buat keluarga ayah di Singapura."

"Iya, Manda. Makasih sudah ajak ayah ngobrol selama di sini. Sudah menawari masakanmu yang ternyata enak. Jaga kesehatan. Jaga cucu ayah ya," ucap Adrian lalu tersenyum. Berusaha menahan haru yang berkecamuk di dadanya. Sebentar lagi ia kembali pulang, ternyata tidak begitu buruk jika hanya sang menantu yang peduli padanya.

Sopir taksi turun membantu memasukkan koper ke bagasi mobil kemudian membuka pintu penumpang dan mempersilahkan Adrian untuk masuk ke kabin. 

"Ayah, terima kasih." 

After Years GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang