i. sojourner

695 40 10
                                    

"PAMANMU tersayang, Naden Larkin, ditemukan tewas dalam gereja Thoreau pada musim dingin 1850."

     Aku dengan Sommerset membeliak. Ibuku lebih tidak kentara lagi.

     Itu kebungkaman terparah sepanjang makan malam kediaman Larkin. Adik perempuanku yang berumur sepuluh, Gretchen, menganga dan bergeming untuk menyimak. Panekuknya hampir tidak terjamah. Sommerset melirikku: Lihat, Col. Berlebihan namun penurut. Aku setuju. Ibuku serampangan. Terakhir yang kami tahu adalah keluarganya habis dilalap api.

     "Digantung, setengah tubuhnya hilang." Tidak memandang ketiga putrinya, kepala itu berpaling sedikit ke kanan. Gelagat menyesal.

     Sommerset mencondongkan tubuh setelah pulih dari terkejut. Dibuka mulutnya, hendak bertanya, yang terdahului. "Seseorang menemukannya, tak pernah diberitakan."

     "Bagaimana?" selaku.

     Sekejapan, telunjuk itu refleks mengarah ke atas. Aku ingat ia bilang jarinya sering bermasalah.

     "Tahun 1851 di Rosenberg, aku mengumpulkan seluruh jurnal, mengeluarkannya dari lusinan tempat persembunyian cerdik di seantero rumah. Naden bertingkah ganjil lama sekali, jadi kupikir ia hanya terguncang. Inilah yang kutemukan," Meskipun tampak tidak beratensi dan penuh canggung, sehabis memindai kami, tangan Ibu beralih ke bawah. Meraih benda yang entah sejak kapan menutupi pahanya. "Penelitian. Naden mengamati sesuatu yang besar, makhluk jangkung bertanduk. Korsakov."

     Korsakov?

     Berkas kuno. Segepok kertas kuning yang disatukan. Cap lilin merah dan tajuk berhuruf latinnya membuatku terpana ketika disodorkannya itu kepada kami. Sommerset mendelik saat Gret menggapai ingin tahu, yang berakhir ringisan karena kursinya kelewat jauh. Ibuku berperan: ia memangkunya dan menghilang di gulita lorong, menyisakan kami bersama hal yang tidak seharusnya ditinggalkan.

     Aku meragu. Di sampingku, Somm serupa terpikatnya, seolah jika ini disentuh barang sejenak, kami akan terkirim ke lanskap antah-berantah.

     Penasaran itu lekas membesar kala mataku menangkap segurat nama. Ditulis di sebelah kop, kecil, dengan alfabet miring.

     Untuk Meredith. Ibuku.

     "Penting untuk tidak mengintip sembarang wasiat, Nak." Jemariku ditampar sekelebat setamat kalimat itu meluncur. Ketika mendongak, tampang jengkelnya mengawasiku. Ia kembali. "Lupakan malam ini." kata Ibu. Berkasnya lekas dirapikan seakan dikejar perkara. "Tersangkanya Sullivan. Ia kelewat sinting untuk menulis namanya."

     Kuamati punggungnya yang mulai menjauh, "Tapi, kaubilang keluargamu tewas dalam kebakaran."

     Kakinya mengerem, tetapi tidak berbalik padaku.

     "Tidurlah, Collete." katanya, sebelum kemudian lenyap di balik pintu.

     "Barangkali, Mom terlampau merindukan Paman."

     Dua dini hari, setelah yakin rumah terlelap, aku masuk ke kamar Somm untuk mendiskusikan sesuatu. Ruangannya bau apak seperti biasa. Aku lega simpulan kakakku lebih baik dari itu.

     Kami bertukar pendapat mengenai tingkah aneh Ibu setahun terakhir. Sommerset paham adiknya kelewat serius berkenaan ini, tetapi aku bukan tanpa sebab. Oktober kemarin, malam Thanksgiving, bukannya menenteng sekeranjang roti madu dan kalkun panggang dari kedai, ibu kami pulang dengan lebam membiru di sekujur lengan. Terjatuh, sebutnya. Kereta kuda yang ditumpanginya mendadak oleng hingga terjerembap ke selokan di pesisir kota.

     "Hanya luka kecil," ungkap wanita itu. "Jika gawat, Tuan Sullivan yang bertanggung jawab."

     Namun, sementara Somm masih khawatir dan Gret tak henti bersungut, kesangsian merayapiku.

     Baju Ibu tidak basah.

     Sewaktu mendengarnya, Somm menatapku lurus-lurus seolah aku terlalu banyak disumpali cerita misteri. Tangannya mengunci bahuku, seiring ia yang berbalik ke samping. "Matamu silap!"

     Somm tidak melihat baret gelap memanjang ketika Ibu meniti tangga seperti yang kujumpai. Bahkan, seraya berkeras diri, ia yakin gaun pasarnya tampak lengas, berair. Persis kain sehabis dicelup. Tidak bertanah.

     Tentu. Sebagai kakak-beradik, seringkali kami tidak selaras.

     Aku nyaris pergi dari kamar sampai tangannya mencegahku. Ketika berpaling, Sommerset terdiam, dengan mata yang mengilatkan maaf.

     Senyumku timbul, "Mau ikut?"

     'Ini bodoh', Sommerset bilang. Ia mengira, penyelidikan ini, sekalipun sungguh kulakukan, tetap tidak bakal berhasil. Hanya jalan buntu. Tepat sewaktu Somm menyeru, aku berjalan cepat menuju pintu dan membanting di belakang.

     Mendongak. Di sana, menggelantungi lampu, pamanku berayun-ayun. []

2017

creatures.Where stories live. Discover now