09

732 86 15
                                    

***

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

***

"Iya, iya! Ini kan enggak!" kata Tata.

Radit berjalan melalui Tata. Sepertinya kesal sekali. Bahkan perkataan Tata tidak lagi dijawab.

"Dit, ih!" Tata menyusul Radit. "Kenapa sih?"

"Pulang nggak?"

"Ya pulang!" kesal Tata.

"Ya udah, ayo, lah!"

Tata menggelengkan kepala, tidak habis pikir dengan kelakuan Radit yang belakangan sifat menyebalkannya bertambah.

***

"Dit!" seru Tata ketika membonceng Radit.

Radit membuka kaca helmnya, menatap gadis itu lewat spion kiri. Alisnya naik seolah berkata, apa?

"Katanya pulang!"

"Kata siapa?"

"Ih, yang bener!"

"Ya udah, makan dulu."

"Hah?" Tata melongo. Tiba-tiba sekali anak ini mengajaknya makan dahulu. Padahal, di kantin Tata sudah makan bersama Ghani tadi.

Tangan Tata yang semula ada di sisi hoodie Radit dipindahkan. Radit menggenggam tangan Tata dan memasukkannya ke saku hoodie. Tata yang sedikit terperanjat hampir saja refleks menarik tangan kanannya itu.

"Ta, tangan kirinya turun!" suruh Radit agak berseru.

Salah tingkah karena perbuatan Radit barusan, Tata refleks mengikuti suruhan Radit. Tangan kiri yang semula ada di bahu laki-laki di depannya, kini turun ke pinggang. Sekali lagi, tangan Tata dipindahkan.

Resmi sudah keduanya berada di dalam saku hoodie milik Radit. Jatung Tata berdegup tidak seperti biasanya. Ingin rasanya menarik tangannya keluar dari saku hoodie Radit, tapi harum parfum milik Radit membuat Tata merasa enggan. Baru sadar kalau ternyata parfum Radit cukup membuat dirinya nyaman. Pantas saja, bersandar di bahu Radit pun Tata betah.

Radit tersenyum tertahan, Tata melihatnya lewat spion. Untung mata Radit fokus ke jalanan. Kalau mata mereka sampai bertemu, entah mau ditaruh mana muka Tata.

Tata tidak tahu harus marah atau senang.

***

"Ayo!" ajak Radit memasuki satu warung pempek yang menjadi tujuannya.

"Iya, bentar kek, sabar dulu," kata Tata berusaha kalem. Ia mengaca di spion, berusaha terlihat belum siap agar Radit masuk duluan.

"Udah, udah. Udah cakep, ayo."

"Halah," cibir Tata berjalan menyusul Radit.

Setelah memesan, Radit duduk di hadapan Tata. Sebenarnya Tata tidak ingin makan lagi, tapi laki-laki di depannya yang memaksa.

"Kenyang, Dit. Ampun dah," keluh Tata.

"Makan sama Ghani aja mau," cibir Radit. "Giliran sama gue kenyang."

"Ya nggak gitu!" sanggah Tata. "Kan dia duluan tadi ajak makan."

"Kan bisa nolak!"

"Nggak enak. Dia nyamperin di depan kelas tau," jelas Tata. "Halah lagian kenapa sih sensi bener sama Ghani."

"Dibilang nggak suka."

"Alesannya dong! Cemburu mah bilang aja," kata Tata.

"Iya tuh, kenapa?"

Ekspresi kaget tercetak jelas di muka Tata. Bagaimana tidak, Radit ini sembarangan sekali kalau bicara. Tata memilih menyeruput es tehnya yang baru saja diantarkan. Habisnya, ia tidak tahu harus menanggapi Radit dengan cara apa.

"Ampun, Ta. Enggak kok," kata Radit kemudian. "Bercanda! Jangan dipikirin beneran gitu."

Lawan bicaranya berdecak kesal. "Rese lu, males."

Radit ini sebun kalau dalam hal mengerjai Tata. Senang rasanya melihat reaksi kesal Tata.

Radit tertawa kecil. "Ngambek mulu, cepet tua!"

Sukses membuat Tata menghadiahkan satu cubitan di lengannya. "Siapa cepet tua?"

"Iya, Ta. Gue, gue. Gue yang cepet tua!"

Tata tersenyum penuh kemenangan.

***

[✔] Not a Good Childhood Friend - 31DWCWhere stories live. Discover now