[5] Lima : Keputusan Ayah

2.2K 90 3
                                    

5. Keputusan Ayah.

"Ayah sih, setuju. Dari dulu, Ayah sebenarnya memang tidak menyukai Riko. Cintanya itu cuma buat kamu, Nak. Enggak ke Ayah juga Ibu. Gelagatnya saja kayak orang baik, tapi diam-diam Ayah memperhatikan."

Ayah berbicara santai sembari memainkan laptop di meja kerjanya. Sedangkan aku dan Ibu berdiri di samping kiri dan kanan beliau. Sebenarnya Ibu masih bersikap keras kepala, tidak menyetujuiku untuk menikah dengan pria lain. Jadi, kuputuskan saja malam ini untuk menceritakan semuanya kepada Ayah mengenai Riko yang selingkuh dan akhirnya kami putus, lalu aku meminta Ayah untuk menjodohkanku dengan siapa pun. Menikahkanku dengan pilihannya.

Ayah sempat menceramahiku. Mengatakan bahwa reaksi dan keputusanku yang seperti ini justru mengarah ke hal negatif, yaitu balas dendam. Ayah bilang, aku hanya sedang patah hati, jadi pikiranku ke mana-mana, berantakan dan ngasal. Tapi, Ayah menyetujui keinginanku untuk dijodohkan! Demi apa aku terkejut sekali. Yeah, alasannya pun adalah kalimatnya barusan.

"Papa ini gimana, sih. Kalau sudah tahu anak kita sedang patah hati lalu membuat keputusan untuk menikah dengan orang lain begitu saja, itu justru bahaya buat Mitha ke depannya. Terus bagaimana juga dengan Riko?" Ibu menentang kalimat Ayah.

"Bu. Berhenti ngarepin Riko. Mitha udah muak sama dia. Pria berengsek itu udah nyakitin Mitha. Aku liat sendiri dan kemudian dia kepergok telepon sama wanita lain. Aku nggak bohong," elakku.

"Sayang, keadaanmu sekarang sedang nggak baik. Jadi yang ada di otakmu saat ini juga gak betul. Harusnya kamu lurusin masalahmu dengan Riko, bukan malah putus dan mendadak seperti ini. Tadi sore saja Ibu sudah menanyakannya ke Riko. Dia meminta maaf ke Ibu dan mengatakan kalau semua itu cuma kesalahpahaman. Ayolah Mitha ... kamu ini udah dewasa, jadi---"

"Karena Mitha udah dewasa, maka Mitha ingin menikah. Apa itu salah?" Mataku mungkin berkaca-kaca saat ini. Aku menatap Ibu lama lalu perlahan melirik Ayah, berharap ia bisa membantuku. Akan tetapi Ayahku yang dingin justru diam saja di tempatnya, berkutik dengan PR pekerjaannya.

"Tentu aja salah. Memilih waktunya yang salah. Menikah kamu jadikan pelampiasan?"

"Bukan pelampiasan, Bu. Mitha cuma nggak mau terus-terusan dalam keadaan kayak gini. Perasaan Mitha dipenuhi kebencian sekarang."

"Nah! Kebencian yang ada dalam perasaanmu itu adalah dendam. Nggak seharusnya tiba-tiba seperti ini. Setiap luka enggak melulu langsung ada obarnya. Butuh proses untuk menjadi lebih baik. Kamu pun harus sabar. Jangan terpatok dengan pikiran di saat diri kamu aja masih berantakan. Pikirkan keputusanmu lebih panjang lagi. Orang di luar sana malah kebanyakan menolak untuk dijodohkan, sementara kamu sendiri? Berkeputusan mendadak seperti ini. Coba kamu pikirkan lagi. Ibu menginginkan yang terbaik untuk diri kamu, Mitha ... jangan bertindak seperti ini. Kamu itu cuma lagi kacau suasana hatinya, ibu ngerti, tapi tolong jangan main-main."

"Ibu kamu benar, Nak."

"Ayah ...." Mataku berkaca-kaca menatap wajah ayah seraya menyentuh pundaknya.

"Berkeputusan di saat suasana hati sedang kacau, memang tidak baik. Tapi ayah senang kamu berpisah dengan pria itu. Dan, sekali lagi ya, ayah mengatakan kalau kamu benar-benar siap untuk dijodohkan, ayah bisa membantumu."

"Pa! Nggak semudah itu. Papa sama aja tahu nggak."

"Kenapa, Bu? Toh ... dari lama ayah berharap sekali ini terjadi."

Luka [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang