[7] Tujuh : Abaikan

1.9K 88 1
                                    

7. Abaikan.

Hari ini adalah hari Minggu.

Tahu, berapa pesan dan panggilan tak terjawab dari Riko?

30 panggilan seluler, 16 pesan seluler.

Dan, 10 panggilan whatsapp, 105 pesan whatsapp terabaikan.

Gila. Dia spam sekali.

Mungkin berita aku akan dijodohkan dengan pria lain sudah masuk menelusuk telinga Riko, karena dua hari lalu aku sudah memberitahu Sarah dan Angelina mengenai ini. Aku mengatakan bahwa aku akan menikah. Sarah dan Angelina terkejut dan bahagia, di pikirannya saat itu mereka mengira bahwa aku akan menikah dengan Riko.

Kuabaikan saja dugaan mereka. Secara tidak langsung aku sengaja mengabari Riko melalui Sarah dan Angelina karena aku yakin dua temanku itu pasti akan mengucapkan selamat kepada Riko.

Alhasil, beginilah.

Riko akhirnya kerap datang ke rumahku. Namun, aku sengaja tidak tinggal di rumah melainkan menginap di rumah Tante Nisa, kakak Ibuku.

Aku yakin Riko pasti akan merepotkanku, jadi aku memilih bersembunyi di sini. Ayah dan Ibu di rumah seringkali menjawab bahwa aku pergi ke rumah calon suamiku, itu alasan yang menurutku bagus. Aku sangat puas mendengar cerita Ibu yang mengatakan bahwa Riko seolah tak terima. Tapi ia datang seperti orang gila dan berteriak seenaknya. Ibu pun jadi merasa jengkel dengan ketidak sopanannya.

Ah, biarkan saja. Aku tidak peduli dengan perasaan pria itu. Setidaknya dia harus merasakan hal setimpal. Perbuatannya kepadaku sudah sangat keterlaluan. Jadi aku tidak peduli.

Meskipun begitu Ibu mengatakan ia sempat khawatir. Takut kalau Riko sampai melakukan sebuah cara hanya untuk semakin melukaiku. Kujawab tidak peduli lagi dan aku tidak takut. Aku tidak akan menghiraukannya.

"Mitha ...."

"Iya, Tante?" Kutolehkan wajah ke arah Tante Nisa yang saat ini sedang memotong sayuran. Kami berada di dapurnya. Aku sengaja ikut membantu sekalian mengasah hobiku memasak.

Hm, ngomong-ngomong ya sebenarnya aku memang suka memasak dari dulu. Berawal dari masa sekolah dasar, kerap ikut berbelanja sama ayah. Saat itu keluarga kami hanya memiliki satu kendaraan motor. Kalau ibu lagi lelah atau malas, kadang ayah suka rela berbelanja ke luar untuk membeli sayuran dan mengajakku. Kemudian semasa SMA aku senang membantu Ibu di saat memasak menu makanan, karena kerap disuruh mencoba hingga jadi terbiasa, akhirnya merasa asik sendiri dalam menyatukan perpaduan rasa dengan berbagai macam-macam bahan entah itu untuk membuat menu makanan atau sajian cemilan, dan lain-lain. Tapi begitu sudah masuk dunia perkuliahan aktivitasku itu jadi terkesan jarang, sampai akhirnya setelah masuk ke dunia pekerjaan aku semakin jarang bahkan mungkin terkesan tidak lagi.

Akan tetapi aku begitu bersyukur karena aku masih mengingat bagaimana caranya memotong bawang merah dengan lancar sampai tidak membuat mataku berkaca-kaca atau bahkan sampai menangis, juga bagaimana caranya meracik bumbu lalu mencoba menumisnya. Meskipun ada beberapa resep yang kulupakan tapi aku berjanji kalau aku sudah menjadi istri seseorang, aku akan melatih sekaligus mengasah pola memasakku lagi. Ingin tertawa sesekali ketika mengingat diriku yang pernah berimajinasi menjadi seorang ibu rumah tangga yang akan memanjakan keluarga dengan makanan yang enak dan banyak. Aku akan menyuruh suami beserta anak-anakku mendukung diriku yang masuk siaran TV karena seorang Mitha mengikuti lomba memasak. Yeah, itu imajinasi masa lalu.

Kembali pada Tante Nisa. Ia bertanya kepadaku.

"Kalau boleh Tante bertanya. Apakah kamu sudah memikirkan dengan matang untuk memilih dijodohkan?" Tante Nisa bertanya demikian, lalu melanjutkan, "Maksud Tante, Tante hanya sedikit khawatir. Yang Tante tahu kamu, kan, sudah sangat lama berhubungan dengan Riko. Jadi apa semudah itu menggantinya? Apalagi perihal rumah tangga adalah sesuatu yang serius. Kamu sudah memikirkan bagaimana nanti kamu tinggal dengan seorang pria baru, dia yang jadi suami sekaligus tempatmu meraih surga-Nya? Itu sama seperti kamu memulai lagi dari nol dengan orang yang bahkan belum kamu cintai." Tante Nisa menoleh melihatku begitu kalimatnya hampir selesai.

Aku tertegun. Tante Nisa tak kalah cerewetnya seperti Ibuku sendiri, tapi beliau sedikit terkesan muslimah. Ia berkerudung. Dia menikah dengan seorang anak Ustaz, Om Adi, begitu aku memanggil suami Tante Nisa .

"Aku menyerahkan kepercayaanku sepenuhnya kepada ayah, Tante. Lagipula ... sebenarnya aku memang sudah ingin menikah. Jadi mungkin, sudah bisa dibilang bahwa aku siap, insya Allah," jawabku agak lamban sambil terus menatap Tante Nisa. "Mitha tahu, memang nggak mudah melupakan seseorang begitu aja. Tapi, luka yang dikasih Riko menjadi alasan buat aku, Tante. Mitha nggak mau semakin ngerasain sakit. Jadi Mitha ingin mencoba ke jenjang yang serius saja, dan Mitha juga sama sekali nggak berniat untuk main-main. Mitha sudah sangat siap dengan apa pun risikonya dan akan belajar mencintai orang baru. Ayah juga banyak menasihati aku, seperti halnya perihal memaafkan dalam hubungan rumah tangga itu penting, terkecuali tidak menormalisasikan perselingkuhan dan kekerasan. Ayah sudah menceritakan latar belakang pria itu. Dia orang baik dan punya mental siap soal pernikahan."


Tante Nisa tersenyum. Dia mendekat lalu mengusap bahu kananku sambil mengangguk.

"Bismillah ya, Mit. Semoga keberuntungan menimpa hidupmu. Aamiin," ucapnya.


"Aamiin, makasih banyak Tante." Aku membalas senyumnya.

Bertambah orang yang mendukungku. Aku semakin siap menghadapi dunia baru.

Bersambung ....

Luka [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang