18 | Lampu Hijau

282 23 0
                                    

I don't want to say this hate, because I don't want to fall in love.
-Elvano Ivander-

"Belva!"

Belva yang nampak memilih minuman yang dia beli kemudian mengedarkan pandangannya mencari siapa yang memanggil namanya. Setelah mengambil sebotol minuman, Belva menghampiri orang yang memanggilnya tadi.

"Eh, Tante. Ketemu lagi kita. Sama siapa, Tan?" Belva tersenyum ramah kemudian mencium tangan Marissa.

"Sama anak Tante. Kalo kamu?"

"Sendirian. Belva bantuin Tante ya?" Tawar Belva. Belva sangat senang bisa dipertemukan kembali dengan Marissa dan tentunya di tempat yang sama.

"Nggak ngerepotin?"

"Ya enggak lah."

Belva pun jadi membantu Marissa untuk berbelanja. Mereka juga bercerita banyak hal. Belva paling menyukai jika Marissa menceritakan hal-hal yang terkesan lucu baginya.

"Tante, mau beli apa lagi?" tanya Belva kepada Marissa yang mengarahkan troli ke rak sayuran.

"Tante mau beli sayur."

"Oh."

Setelah beberapa waktu mereka habiskan untuk berbelanja, Marissa pun selesai dengan dibantu Belva. Belva juga membantu membawakan barang belanjaan ke mobil Marissa.

Belva senang bisa bertemu Marissa. Menurutnya, Marissa itu sosok lain yang memiliki hati seperti Mamanya. Belva berpikir beruntung sekali anak Marissa memiliki Ibu sepertinya.

Saat baru keluar dari pintu mini market, dari arah berlawanan Vano datang menghampiri mereka, atau lebih tepatnya menghampiri Marissa.

Marissa memberikan dua kantong belanjaannya kepada Vano. Belva harus berpikir lebih keras sekarang. Saat Vano sudah berjalan terlebih dulu untuk menaruh barang belanjaan di bagasi mobil, Belva berjalan dibelakangnya bersama Marissa. "Loh, Tante kesininya sama Vano?"

"Iya. Kamu kenal Vano?"

"Kenal kok, Tan."

"Tapi kemarin Vano bilang nggak kenal sama kamu." Belva sedikit kaget mendengar ucapan Marissa.

Segitunya banget, sih. Bilang kenal gitu aja apa susahnya coba? Kenapa nggak bilang kenal aja, kan emang kenal. Batin Belva.

"Ya udah, Bel kamu ikut mobil kita aja." Tawar Marissa melihat Belva yang masih diam di tempat.

"Nggak ngerepotin, Tan?" Belva bukannya ingin menolak, apalagi ada Vano. Jadi Belva hanya memperlihatkan sikap baiknya agar dia tidak dicap sebagai cewek yang kecentilan atau keganjenan.

"Enggak kok. Mau ya?" Permintaan Marissa seperti memohon kepada Belva. Belva pun hanya menurut karena dia juga tidak ingin menyia-nyiakan waktu baik ini.

"Boleh, Tan."

Di dalam mobil, Marissa tidak henti-hentinya berbicara. Entah membicarakan hal yang penting ataupun hal yang tidak penting.

"Rumah kamu di mana?"

"Di Kompleks Dahlia. Vano tau kok pasnya di mana?"

"Berarti kalian udah kenal deket dong? Buktinya, Vano tau rumah kamu."

"Nggak deket." Elak Vano.

"Beneran? Masa sih? Mama nggak percaya deh." Marissa bertanya lagi. Memastikan jika Vano dan Belva memang saling kenal.

"Bukan enggak, Tan. Tapi belum aja."

Mendengar penuturan Belva, Marissa tergelak begitupun Belva. Vano yang hanya diam menatap tajam Belva dari kaca spion tengah. Belva yang mengetahui jika Vano menatapnya malah membalas tatapan Vano dengan mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum penuh kemenangan.

***

"Makasih ya, Van. Makasih juga Tante." Ucap Belva sambil menunjukkan senyumnya yang manis itu. Belva kemudian turun dari mobil Vano.

"Iya. Lain kali main lah ke rumah Tante. Biar Tante ada temennya juga." Ucap Marissa setelah membuka kaca mobil dan menatap Belva yang sudah ada di samping mobil mereka.

"Iya, kapan-kapan."

"Kita pulang dulu ya, Bel." Pamit Marissa.

Senyumnya tidak pudar sedikitpun sedari tadi. Belva merasa jika dia berada di dalam keluarga mereka akan sangat bahagia. Belva telah menyadari itu karena Marissa yang bisa menerimanya walaupun mereka belum pernah sedekat ini sebelumnya.

Dan Belva ingin semua itu, menjadi bagian dari keluarga mereka pasti akan membuat Belva merasa lengkap. "Iya. Hati-hati di jalan."

Kemudian mobil yang dikendarai Vano pergi dari hadapan Belva. Di tengah perjalanannya, Marissa tiba-tiba memulai pembicaraan. "Kapan-kapan kamu ajak Belva main ke rumah ya, Van."

Vano menoleh sebentar. "Buat apa?"

"Ya, biar Mama ada temennya ngobrol gitu."

"Kan ada Ervin. Ngobrol sama Ervin aja."

Marissa berdecak. "Beda lah, Van. Ervin kan cowok, mana tau dia masalah perempuan?"

Vano masih diam, dia ingin menolak tapi dia juga tidak bisa membantah permintaan Mamanya. Marissa yang melihat jika putranya itu masih memikirkan jawabannya langsung memutuskan sesuatu.

"Kamu harus mau, jangan ngebantah Mama. Pokoknya kamu harus ajak Belva ke rumah!"

Rasanya sama saja, tidak Belva tidak Mama-nya mereka sama-sama orang yang pemaksa dalam satu waktu. Atau memang hobi mereka adalah memaksa? Pikir Vano.

Vano hanya bisa mengangguk pasrah. Yang membuat Marissa langsung tersenyum bahagia karena anaknya itu mau menurutinya. Walaupun Marissa tahu sendiri jika Vano berat hati melakukan itu.

***

Heeyyy...
Ada yang membuatku ingin update😙😙
Selamat membaca 😇
Sayang kalian❤️❤️

28 November 2019

Indisposed ✓Where stories live. Discover now