30 | Rintikan Hujan

277 17 0
                                    

Melupakan adalah hal yang tak pernah bisa diwujudkan.
-Belva Aurelia-

"Lo sebenernya mau ngajak gue kemana?"

Belva mencebikkan bibirnya karena Vano tidak menjawab pertanyaannya. Memilih untuk melingkarkan tangannya dan menyelipkan ke dalam saku jaket Vano. Jika dulu Vano menolak, sekarang tidak ada penolakan atas apa yang dilakukan Belva. Vano juga tak menyadari jika lengkungan bibirnya semakin mengembang merasakan tangan Belva yang melingkar pas ditubuhnya.

Belva merasakan jika Vano mempercepat laju kendaraannya. Malam ini terasa lebih dingin jika dibandingkan dengan kemarin. Belva menyesal, karena meragukan perkataan Vano.

Tak lama, motor Vano berhenti di sebuah tempat yang tidak asing di mata Belva. Belva bergeming sebelum akhirnya Vano menyadarkannya. "Turun!"

"Ngapain kesini?"

"Temenin gue makan."

"Kenapa disini? Kenapa nggak di rumah aja? Kan-" Vano lebih dulu membekap mulut Belva agar gadis itu tidak banyak bertanya lagi.

"Mang, nasi goreng kayak biasa," Vano memandang Belva. Sepertinya gadis itu sedang sibuk mengamati sekeliling. "Va?"

"Gue?"

"Gue udah makan tadi, minum aja."

"Nasi gorengnya satu, minumnya dua."

Setelah memesan makanan, keduanya kemudian duduk di tempat yang beralaskan tikar. Perlu menunggu beberapa menit untuk bisa menikmati makanan yang tadi Ia pesan.

"Ini, nasi goreng spesial buatan Mang Ujang, ditambah minumnya es teh manis. Silahkan dinikmati."

"Makasih, Mang."

"Tumben, Den kesininya sama pacarnya, biasanya juga sendiri kalo nggak sama temen-temennya."

Vano berdeham. "Hari ini laris, Mang?"

"Alhamdulillah laris, kalo kemarin pulangnya jam sebelas, hari ini kayaknya jam sepuluh udah pulang. Sok atuh dilanjut, itu ada pembeli lagi."

"Cieee..., yang ngajak pacarnya kesini pertama kali."

"Berarti lo sering kesini dong?"

Belva memerhatikan Vano lekat-lekat. Mengangumi ciptaan Tuhan yang teramat sempurna di matanya. Tak membiarkan sedikitpun kedipan menghentikan waktunya.

***

"Mang Ujang aja setuju gue jadi pacar lo. Gue rasa kita beneran jodoh deh, Van."

Merasa teracuhkan oleh Vano, Belva dengan sengaja menyenggol lengan Vano. "Ih, Van!"

"Lo ngomong?" tanya cowok itu tanpa adanya rasa bersalah telah megacuhkan Belva.

"Enggak! Gue lagi ngedongeng."

"Ya lo kira sedari tadi gue ngapain aja, Vano?"

"Pulang."

"Iyalah, ya kali mau tidur sini." Gerutu Belva.

"Apa?"

"Enggak."

Di sepanjang perjalanannya Belva menggerutui sikap Vano yang terkadang bisa berubah 360 derajat menjadi lebih hangat saat bersamanya. Namun, rintikan hujan membuat Vano harus mempercepat laju motornya.

Kecepatan ini mengkhawatirkan Belva. Hujan yang semakin deras kian membasahi keduanya. "Van, kita nggak berhenti dulu. Hujannya deres banget."

Suara guntur seakan semakin keras menakut-nakuti Belva. Belva hanya bisa mengeratkan tautannya terhadap Vano. Berharap jika hujan segera mereda. Belva menutup matanya rapat. Hangat yang tadinya menjalar ke tubuhnya telah diterpa guyuran hujan yang membuat seluruh tubuhnya semakin basah.

Indisposed ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang