bab 5

3.7K 345 5
                                    

Kapas beralkohol menyentuh permukaan kulit, memberikan rasa perih yang sangathebat. Levi meringis, tidak menyangka jika pukulan Eren akan sangat menyakitkan seperti ini. Dia tidak heran akan hal itu, sudah sepuluh tahun mereka tidak bertemu, wajar saja jika ada yang berubah dari pria bersurai mahoni tersebut. Kegiatannya seketika terganggu karena ada yang bel apartemennya berbunyi, Levi mau tidak mau harus beranjak dan membukakan pintu untuk tamu yang tidak diundang tersebut.

“Levi, aku datang untuk me- uwah! Ada apa dengan wajahmu?!” Hanji bersama Erwin terbelalak kaget melihat keadaan wajah Levi yang cukup babak belur, pria itu tidak berkata apa-apa, dia langsung masuk ke dalam kembali. Erwin dan Hanji saling bertatapan sebelum akhirnya mereka mengikuti Levi masuk.

Levi duduk di sofa tunggal miliknya dan kembali merawat luka-lukanya, sementara Hanji dan Erwin duduk  di sofa yang lain. Memperhatikan luka-luka yang terdapat di wajah Levi, batin bertanya-tanya tentang pelaku pemukulan.

Siapa yang berani memukul iblis hingga babak belur?

“Eren yang memukulku,” ucap Levi tiba-tiba, seolah tau apa yang sedang ditanyakan oleh kedua sahabatnya dalam batin. Kedua orang dewasa tersebut seketika terdiam mendengar ucapan Levi yang kemudian teriakan nyaring bergema dalam apartemen Levi, tentu saja yang berteriak itu adalah Hanji.

“APA?!?! KAU BERTEMU DENGANNYA?!”

Levi meringis mendengar teriakan merdu Hanji, hal itu membuat luka-lukanya kembali berdenyut. Ingin rasanya dia menendang wanita gila itu dari apartemennya sekarang. Tidakkah dia lihat bahwa Levi sedang menyembuhkan dirinya.

“Berisik, aku bertemu dengannya, jangan berteriak seperti itu sialan.”

Setelah selesai merawat luka-lukanya, Levi segera menyimpan kotak obat-obat lalu kembali duduk di sofa. Menatap tajam mereka dengan kaki yang menyilang, bersikap seolah ingin mengadili mereka sekarang juga.

“Levi, kau bertemu dengan Eren? Bagaimana ceritanya?”
“Tidak sengaja, hanya itu.”

Erwin dan Hanji melongo mendengar jawaban dari Levi. Pria bersurai eboni tersebut terlihat mengeluarkan sebatang rokok dari sakunya dan membakar ujungnya. Dia tidak peduli jika ada orang di apartemennya, lagipula Erwin dan Hanji juga sudah terbiasa dengan kebiasaan Levi yang itu.

“Kalian sendiri kenapa ke sini?”

Levi menghembuskan asap rokoknya kemudian membuang sisa abu ke asbak, menatap kedua bersahabat secara bergantian.

“Aku ingin meminta maaf soal bar kemarin,” ucap Hanji dengan nada menyesal, Levi memperhatikan sahabat wanitanya untuk sesaat kemudian melanjutkan kegiatan merokoknya. “Tidak apa, aku tidak terlalu memikirkannya.”

Hanji langsung mendongakkan kepalanya dan menatap kesal Levi sambil menunjuk pria tersebut. Yang ditunjuk hanya bisa mengernyitkan alisnya bingung. Apa dia baru saja mengatakan sesuatu yang salah?
“Tapi kau tidak membalas pesanku sialan!”
“Pesanmu terlalu banyak brengsek, tidak berguna.”

Keduanya saling menatap tajam, menimbulkan percikan permusuhan yang kentara. Erwin menghela nafas, lelah dengan kedua sahabatnya tersebut, baru saja mereka berbaikan tapi sudah mau berantem lagi.

“Hentikan itu, kalian bukan lagi anak-anak,” ucap Erwin sambil melerai keduanya, mereka tidak berkata apa pun dan saling membuang muka. Erwin hanya bisa mengelus dadanya sabar, mencoba memaklumi kelakuan dua orang sahabatnya yang kadang bikin emosi.

“Apa yang akan kau lakukan sekarang, Levi?”

Keduanya menatap Levi penasaran, sementara pihak yang ditanya masih sibuk dengan kegiatan merokoknya. Terlihat sedang memikirkan jawaban yang pas untuk pertanyaan dari Erwin. “Entahlah, aku masih memikirkannya,” jawab Levi dengan nada rendah, kepalanya menunduk dan menatap lantai apartemen yang terlihat berkilauan. Perlahan lantai itu berubah menjadi ekspresi wajah Eren yang sangat marah.

“Tapi aku akan mendapatkannya kembali.”

***

Kamar itu terlihat sangat berantakan, bagaikan ada sebuah badai yang baru saja menerpa kamar tersebut. Di dalam kamar tersebut terdapat seorang pria yang sedang meringkuk di atas tempat tidur, air mata terus mengalir, suara tangisan terdengar sangat menyedihkan. Dia terus menangis sambil meremat bajunya di bagian dada, berharap sesak tak kasat mata dapat menghilang.

“Eren, aku pulang.” Suara Armin terdengar bersamaan dengan suara menutupnya pintu apartemen, pria pirang tersebut terlihat mengernyit saat menyadari tidak ada sosok sahabtnya di ruang utama. Armin menoleh ke arah rak sepatu, sepatu Eren masih berada di sana.

Armin pun memutuskan untuk mengecek kamar Eren, dia yakin pasti sahabatnya ada di sana. Begitu Armin membuka pintunya, seketika matanya terbelalak melihat kondisi kamar Eren yang sungguh berantakan. Dia menghampiri Eren yang meringkuk di atas kasur sambil sesegukan dengan selimut yang menutupi tubuhnya.

“Eren?! Ada apa?!”

Eren lantas membuka selimut, matanya terlihat sembab karena terus-terusan menangis, Armin tentu saja kaget melihat hal tersebut. Jarang baginya untuk menemukan Eren menangis seperti ini, batinnya bertanya-tanya apa yang terjadi pada saat dia pergi tadi.

Eren juga tidak mengerti dengan dirinya sendiri, seharusnya dia merasa lega karena bisa memukuli pria tersebut. Tapi kenapa dirinya merasa menyesal karena telah memukuli Levi, bukankah dirinya membenci Levi? Kenapa dia harus menyesal karena telah memukulinya?

Forgive Me | Riren [COMMISION]Where stories live. Discover now