46. Rahasia yang Rumpang

189 7 25
                                    

“Seperti November-juni yang selalu datang tepat namun salah tempat. ”

|Mungkin|

Empat tahun berlalu, petang merah jingga didetik menit, bait-bait puisi__gue dibalik jendela itu, menunggu lo dipergantian musim, meminta belas kasih kolong langit.
Namun, gue dan lo adalah kisah yang terjeda, sama-sama berlarian mencari halaman yang berbeda disaat halaman sebelumnya tak kunjung rampung karena tinta itu telah gue tumpahkan dipersimpangan.

1/36

Bagian pertama;

Merayu pada jingga yang merajuk malu. Lo adalah rona merah paling manis walupun tanpa kismis.

Revan

Gue mengikuti arah jarum jam, bergerak tanpa henti namun sesekali menoleh tanpa disadari, lambat laun gue terpukul mundur oleh jarak, terkikis oleh rindu yang kian meradang dan terasingkan oleh perasaan-perasaan yang memilih bungkam. Tapi, jika ditanya, siapa seseorang paling paling berharga setelah ibu, akan gue jawab lo.

Namun, hubungan tanpa komunikasi adalah kehilangan tanpa aba-aba dari suatu perayaan tanpa kado. Ketika pita telah lo buka mungkin gue telah menghilang, dan lo nggak sendirian.

“ Kamu manis, aku suka.” lo menatap manik mata gue, berjinjit dan mengalungkan kedua tangan ke leher__lengkungan seperti bulan sabit serta lesung pipi itu tercetak indah, kali ini, semburat senja terasa lebih indah dengan senyuman lo.

Lo memeluk gue, berbisik tentang sesuatu hal, “ Besok malam, alun-alun kota.” lo melepaskan pelukan, mengeluarkan sebuah bungkusan didalam tas, “ Selamat tersedak, semoga gak enak. ”  lo berucap dengan nada kesal, memanyunkan bibir__melenggang pergi setelah melambaikan tangan.

Gue menatap kepergian lo dengan senyum kecil__kotak makan dan tempat minum itu gue buka__Bakwan jagung dan kopi pahit, gue tahu maksudnya. Ya, gue akan ke alun-alun kota.

2/36

Bagian kedua;

Gue ingin menua bersama, tapi gue lupa letak halaman pertama tentang kita.

Revan

Bagaimana, lo mengingatnya? Tapi, hal ini tak akan mengubah akhir kisah kita. Karena letak halaman pertama tentang kita telah lusuh oleh tangisan air mata, terbang bersama janji-janji yang terpendam diujung bait-bait puisi yang membuat lo  memilih singgah saat lo nggak kunjung datang dengan hadiah kepulangan.

Namun, gue itu pecundang__iya, gue yang menciptakan serpihan kaca yang lo injak sengaja, namun gue  tarik paksa lo  yang sedang tertatih karena letih untuk menyembuhkan luka sendiri.

“ Kamu__dia berkata pelan, tidak menatap kearah gue melainkan menundukkan kepala, jemarinya bertautan__gue yang melihatnya mengembuskan napas, diraihnya jemari itu untuk gue genggam erat__ gue mengacak-acak surai miliknya, namun yang gue terima justru gigitan dilengan kanan. Astaga, ini sakit sih, tapi gue mencoba biasa aja karena ya, moodnya terlalu mudah berubah-ubah dan gue bingung mau melakukan apa selain bertanya, “Sini, deketan, kenapa?” ucap gue saat lo nggak lagi menatap kearah bawah justru menatap lurus kedepan.

“ Kamu, gak akan pernah pergi kan ?,” dia akhir kalimatnya, manik mata itu melirik. Gue mengembuskan napas, hal ini sering terjadi dihubungan kami. “ Nanti, saat aku telah menemukan seseorang yang dapat menggantikan peranku, menjagamu.” dia mengubah posisi duduk, membenarkan surai yang menutupi pandangannya__gue tahu, lo sedang menahan tangis.

M U N G K I N  [ slow update ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang