10. Devon (2 Tahun Lalu)

101 16 0
                                    

Aku pura-pura membaca majalah dengan wajah tampanku berada di cover depannya untuk menutupi kenyataan bahwa sebenarnya pikiranku melayang pada sikap manajer baruku yang lain daripada yang lain. Aku sangat penasaran sekaligus heran karena seperti apapun aku mengerjainya, sepertinya ia tidak terpengaruh.

Bahkan saat aku sengaja menyuruhnya pindah tempat duduk padahal ia sudah duduk di tempatnya dan siap untuk berangkat, dia seperti tidak menganggap hal itu sebagai suatu hal yang patut dirisaukan. Ia langsung saja pindah tempat dan kini malah asyik bercanda dengan Pak Misbah. Ia sama sekali tidak mempedulikan aku.

Apa memang benar ia setangguh itu?

Tidak ada kah hal-hal yang bisa membuat dia risau atau marah?

Atau jangan-jangan...dia benci padaku sehingga tidak peduli pada apapun yang kulakukan?

     Memikirkan hal itu membuat aku mengawasinya. Aku penasaran pada apa yang ia lakukan selama perjalanan. Ternyata selain ngobrol santai dengan Pak Misbah, Boss sesekali menulis sesuatu di agendanya. Kadang dia mengecek ponselnya dan mengetikkan sesuatu.

     Tidak ada yang istimewa. Para manajer terdahuluku juga melakukannya.

Tapi mengapa manajer baru ini membuatku penasaran setengah mati, ya?

Apa mungkin aku merasa tertantang karena belum berhasil membuatnya marah hingga detik ini?

     "Sebentar lagi kita sampai. Siapkan diri anda," ujar Boss memanggilku dengan nada dibuat seresmi mungkin sampai aku merasa ia mirip MC Istana Negara. Aku menangkap senyum tipis Pak Misbah saat mendengar Boss berkata demikian. Aku yakin Pak Misbah juga berpendapat sama denganku.

     Hmm...baiklah...
Rupanya mereka sudah menjadi teman akrab.

     Aku meletakkan majalahku dengan tanpa minat. Pikiranku terlalu penuh dengan dugaan-dugaan tentang manajer baruku.

     "Anda sudah siap?" tanya Boss dengan nada resmi lagi.

     Entah kenapa aku jadi kesal mendengarkan Boss menyebutku dengan sebutan 'Anda'. Aku menganggap pertanyaan Boss tadi adalah pertanyaan retoris. Jadi aku merasa tidak perlu menanggapinya.

     "Oke. Alhamdulillah kita sudah sampai," sahut Boss tanpa mempedulikan aku menjawab pertanyaannya atau tidak. Aku merasa semakin kesal. Baru kali ini ada orang yang begitu tidak mempedulikan aku.

Mobil sampai di depan teras lobby. Sebelum turun, Boss berkata, "Terima kasih, Pak. Nanti kita ketemu lagi, ya?"

     "Iya, Non. Bapak tunggu di parkiran saja." jawab Pak Misbah ramah.

   "Oke, Pak."

     Boss turun dari mobil dengan sigap, lalu menelpon seseorang dengan ponselnya. Yang ia lakukan berikutnya semakin membuatku jengkel. Boss berjalan menuju ke pintu masuk gedung tanpa menungguku.

     Ya. Tanpa menungguku.

     That's it.

     Aku merasa kali ini sudah saatnya aku membalas semua perlakuan acuhnya padaku. Bagaimanapun juga, secara kedudukan aku adalah Bossnya. Aku yang memperkerjakan dia dan membayarnya dengan gaji tinggi. Harusnya dia lebih mempedulikan aku. Setidaknya ia harus jalan bersamaku. Bukan meninggalkan aku sendiri di belakang seperti saat ini.

     Aku turun dari mobil setelah sebelumnya memerintahkan Pak Misbah untuk melakukan sesuatu untukku. Lalu aku berjalan enggan menuju pintu masuk gedung menyusul Boss.

Reading RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang