36. Devon (2 Tahun Lalu)

88 16 2
                                    

     Hari ini aku meminta Boss untuk duduk di sampingku. Tanpa banyak bertanya, Boss langsung masuk ke mobil dan duduk di tempatnya. Ia langsung memasang sabuk pengaman, lalu mengambil buku catatannya.

     "Kita langsung pulang, Pak. Devon sudah tidak ada jadwal." ujar Boss dengan nada tidak bersemangat pada Pak Misbah.

     "Baik, Non." sahut Pak Misbah patuh. Beliau lalu menghidupkan mesin mobil dan mulai menyetir.

     Boss membuka buku catatannya. Itu menjadi kebiasaannya tiap kali duduk bersamaku di mobil. Ia sepertinya mencatat semua catatan penting dan jadwalku di sana.

     Jalanan agak sedikit macet sehingga aku merasa bosan. Aku melirik Boss yang sedari tadi nampak mengecek buku catatannya. Tapi mengapa pandangan mata Boss terlihat kosong?

     "Boss?" panggilku.

     Boss tetap diam menatap kosong buku catatannya.

     "Boss!"

     Aku berharap panggilanku dengan lebih keras akan menyadarkan Boss dari lamunannya. Tapi ternyata Boss masih tetap diam terpaku memangku buku catatannya yang terbuka.

     Rupanya pertemuannya kembali dengan Brendan Maulana membuat Boss kehilangan fokus. Dan melihat Boss yang biasanya penuh digdaya bak seorang Ratu kini menjadi terdiam dan hampir linglung membuatku gusar.

     Setelah pertemuan kembali dengan Brendan, sebenarnya yang terjadi biasa saja. Setelah menyapa kami, Brendan akhirnya menyapa dan menyalamiku. Tapi dia hanya tersenyum dan mengangguk hormat pada Boss. Tidak ada yang lain.

     Tapi justru hal itu yang membuatku gusar. Boss memang tidak berkata apa-apa pada Brendan. Tapi sorot matanya yang berbeda saat menatap Brendan dengan saat menatapku, membuatku menyadari bahwa ada kisah antara Brendan dan Boss yang mungkin belum selesai.

     Pak Misbah melirik Boss dari kaca spion tengah untuk mengecek keadaan Boss. Rupanya Pak Misbah pun heran melihat keadaan Boss yang tidak seperti biasanya.

     Aku akhirnya nekad memanggil Boss sambil menyentuh lengannya. Tentu saja kulitnya masih terhalang baju lengan panjangnya. Aku tidak berani menyentuh Boss langsung. Lebih tepatnya, aku menghormati prinsipnya.

     "Boss..."

     "Astaghfirulloh!" ujar Boss terkejut luar biasa saat aku menyentuh lengannya. Kini Boss menatapku dengan mata membelalak marah.

     "Oke. Maaf. Tapi saya sudah memanggil Boss beberapa kali dari tadi," sahutku langsung paham bahwa Boss marah karena aku menyentuh tangannya.

     Boss mendengus kesal. Tapi ia terlihat memaklumi alasanku. Boss lalu menutup buku catatannya dan kini menatapku dengan sorot mata masih jengkel.

     "Kamu mau bicara apa?" tanya Boss datar.

     Aku menghela napas untuk meredakan kegusaranku. Aku memutuskan untuk tidak berbasa-basi. Langsung saja aku tanyakan apa yang ada dalam pikiranku.

     "Apa Boss ada masalah dengan Brendan?"

     Tepat dugaanku. Mendengar nama Brendan disebut, Boss langsung berubah ekspresi. Boss menghela napas berat. Lalu kembali menatap ke arah jalan. "Kenapa kamu bertanya lagi seperti itu?"

     "Karena Boss terlihat selalu gagal fokus saat ada nama Brendan disebut," jawabku lugas.

     Boss terdiam sejenak. Aku bisa merasakan bahwa Boss sedang berpikir sebelum menjawab pertanyaanku.

     "Kalaupun memang ada, bukankah kamu juga sebenarnya nggak perlu tau?" ujar Boss datar.

     "Tentu saja saya perlu tau," sahutku kesal.

     Boss menoleh kembali padaku. Sorot matanya terlihat sangat keheranan.

     "Maksudmu apa?" tanya Boss dengan tatapan penuh selidik.

     Aku langsung sadar bahwa aku agak terlalu jujur kali ini. Maka aku kembali meredakan tensi ketegangan situasi dengan menetralisir kalimatku barusan.

     "Kalau Boss gagal fokus, pasti akan berdampak ke kerjaan mengurusi saya," ujarku sambil sengaja menyandarkan punggungku dengan lebih santai ke kursiku. Aku tidak ingin Boss  melihat kecanggunganku.

     "Mengurusi kamu?" tanya Boss dengan nada tidak suka.

     Aku langsung menyadari kekeliruanku. Aku buru-buru menambahkan, "Maksud saya, mengurusi jadwal kerja saya,"

     Boss kembali memperhatikan jalan lalu berkata pelan, "Jangan kuatir. Aku akan mengurus pekerjaanku dengan profesional,"

     Aku melirik Boss yang nampak banyak pikiran kali ini. Matanya kembali menerawang. Aku lega hari ini jadwalku tidak padat karena aku tidak ingin bekerja dengan didampingi manajer yang gagal fokus.

     "Boss..."

     "Hm?"

     "Besok istirahatlah sehari."

     Boss langsung menoleh padaku lagi. Alisnya bertaut karena rasa heran.

     "Iya. Istirahatlah sehari. Besok saya hanya perlu pergi pemotretan di Jenna Studio saat sore, kan?" ujarku meyakinkan Boss bahwa ia tidak salah dengar.

     "Kamu yakin?" tanya Boss sangsi.

     "Iya," jawabku tenang. "Pergilah menemani Ibuk seharian."

     Boss menatapku dalam diam. Lalu ia kembali bersandar di kursinya dan menatap jalan. Boss tetap begitu sampai mobil memasuki halaman rumahku.

     Saat mobil sudah diparkir Pak Misbah di depan teras rumah, aku turun dari mobil dengan perasaan yang membingungkan. Di satu sisi, aku merasa telah melakukan keputusan yang benar dengan mengistirahatkan Boss sehari. Tapi di sisi lain, aku merasa mulai kesepian jika Boss tidak ada seharian.

     "Devon..."

     Aku menoleh ke arah Boss yang barusan memanggilku. Boss nampak berdiri dengan raut wajah yang menunjukkan ia sedang banyak pikiran.

     "Terima kasih," ujar Boss dengan nada datar. Entah mengapa hatiku rasanya sakit melihat keadaan Boss.

     Aku menatap Boss sekali lagi dan segera menyadari bahwa aku tidak mungkin melepasnya pulang sendirian dengan keadaan hatinya yang kacau seperti saat ini.

     "Boss, tinggallah di sini untuk makan malam," pintaku akhirnya.

     Boss melihat ke arahku dengan bimbang.

     "Besok kan Boss istirahat," jelasku. "Setidaknya hari ini temani saya makan malam bersama Pak Misbah dan Bik Nah juga."

     Boss akhirnya tersenyum tipis setelah hampir setengah hari ini hanya diam termangu.

     "Oke." jawab Boss sambil berjalan melewatiku menuju rumah. Langkah kakinya yang biasanya gesit, kini hanya berayun pelan.

      "Saya juga ikut, Mas?" tanya Pak Misbah yang tiba-tiba sudah berdiri di dekatku.

      "Iya, dong. Sama Bik Nah juga nanti. Biar rame." ujarku yakin.

      Pak Misbah diam sejenak lalu bertanya kalimat yang membuatku rikuh.

     "Apa nanti Bapak dan Bik Nah malah nggak mengganggu mas Devon dan non Ranti?"

     "Hah?! Waduh, Pak. Jangan tanya yang aneh-aneh!" tanggapku kaget. Aku mulai merasakan pipiku memanas.

     Pak Misbah tersenyum penuh arti.

     "Mas Devon nggak usah malu begitu sama Bapak. Non Ranti memang manis sekali. Agak galak, tapi cantik." ujar pak Misbah dengan senyum tengil lalu buru-buru pamit untuk menuju ke dalam rumah sebelum aku sempat membalas ucapan beliau.

     Sepeninggal Pak Misbah, aku hanya bisa menarik napas dalam-dalam dan berdehem-dehem untuk menenangkan jantungku yang tiba-tiba seperti berdegup dengan kelebihan energi. Aku juga merasa bahwa pipiku semakin memanas.

     Oh... Not again. Devon, calm down.

    

    

    

Reading RainbowWhere stories live. Discover now