15. Ranti (2 Tahun Lalu)

82 15 2
                                    

     He's crazy!

     Aku tidak tahu apa yang ada di dalam benak Devon sampai dia berani menarikku sedemikian kuat untuk mengikutinya keluar dari rumahnya dan masuk ke mobilnya agar bisa dia antar ke Rumah Sakit. Yang jelas, aku merasa kesal karena dia seenaknya saja memaksakan kehendaknya.

     Aku tidak ingin diantar ke Rumah Sakit. Well, lebih tepatnya diantar kemana pun oleh Devon. Aku biasa pergi sendiri. To be honest, I can do many things by myself. Tapi kali ini Devon membuatku tidak berkutik karena dia tidak memberiku kesempatan untuk menjelaskan atau mendebatnya.

     Aku tidak suka ini.

     Devon ternyata bisa begitu mudah mengalahkan pengaruhku sehingga aku terpaksa mengikuti apa yang dia mau. Harusnya dia lah yang mengikuti apa mauku agar partnership kami berjalan lancar. Akan sulit ke depannya jika semua hal ingin ia kendalikan. Mungkin karena Devon sudah lama berkecimpung dalam dunia artis, menyebabkan ia bisa sangat percaya diri. Termasuk merasa mampu mengatur para manajernya. Hal ini berbeda dengan yang pernah aku alami saat menangani artis-artis muda pendatang baru. Mereka begitu penurut dan tidak banyak menuntut. Mereka akan melakukan semua hal yang menurutku akan bermanfaat untuk karir mereka tanpa banyak bertanya atau mendebat.

     Sebenarnya aku juga takut.

     Takut yang tidak bisa kudefinisikan apa penyebabnya. Intinya aku lebih suka Devon bersikap cuek dan tidak peduli daripada tiba-tiba berusaha keras melibatkan diri dalam urusan pribadiku. Aku lebih suka menjaga hubungan kami sebatas rekan kerja. Bukan teman atau sahabat.

     Aku melirik Devon yang mengemudi di sampingku dalam diam. Dia tidak terlihat sedang marah. Tapi lebih pada kuatir. Beberapa kali aku mendapati Devon melihat ke arahku dengan sorot mata kuatir yang samar terlihat. Baru kali ini aku melihat sisi pribadi Devon yang ini. Biasanya Devon terkesan dingin dan angkuh.

     Mobil sudah hampir sampai di Rumah Sakit. Maka aku segera meminta Devon untuk menurunkan aku di lobby saja agar ia bisa segera kembali ke rumah.

     "Devon, tolong turunkan saya di lobby saja. Jadi kamu nggak perlu parkir." ujarku datar.

     "No."

     Aku kaget mendengar jawaban singkat Devon yang dingin. Aku menoleh padanya untuk bertanya apa maksud jawaban 'No' darinya yang seperti keluar tanpa ada pertimbangan apapun.

     "Maksudmu?" tanyaku heran campur kaget.

     Devon tidak menjawab segera karena mobil sudah masuk areal parkir Rumah Sakit. Mungkin lebih tepatnya ia memang SENGAJA tidak menjawab. Devon benar-benar tidak menurunkan aku di lobby. Aku sampai kehabisan kata untuk mendesaknya menjawab pertanyaanku.

     "Oke. Terima kasih banyak sudah mengantar saya," ujarku tulus tapi cemas dengan apa yang akan Devon lakukan setelah ini. "Sekarang, segeralah pulang agar bisa istirahat. Agenda kerja besok cukup padat sejak pagi."

     Devon memarkir mobilnya dengan masih tidak menjawab atau bereaksi apa pun terhadap pernyataanku. Rentetan kalimatku hanyalah angin lalu buat Devon.

     Akhirnya aku pun rasanya sudah tidak berminat mendebat Devon karena ia terlihat sangat sulit berkompromi. Mungkin karena badanku juga sudah capek sehingga rasanya malas jika harus menghabiskan energiku untuk adu argumen dengan Devon yang keras kepalanya ternyata bisa dikategorikan rekor MURI. Seharian ini aku banyak berdebat dengannya sehingga rasanya tidak kuat lagi jika harus memulai topik perdebatan baru.

    Setelah Devon mematikan mesin, dia baru melihat ke arahku.

     "Ayo kita turun." perintahnya singkat.

     Spontan aku membelalak kaget.

     'Kita' katanya?

     Apa dia bermaksud menemui ibuku juga?!

     "Devon, saya bisa menemui ibu saya sendiri tanpa ditemani," tolakku tegas. "Tolong pulang saja."

     Devon masih melihat ke arahku sejenak, lalu ia turun dari mobilnya tanpa menungguku.

     Oh, Yaa Allah. Mengapa cowok satu ini sulit sekali diatur?

     Rasanya aku ingin menjambak ujung kerudungku sendiri karena kesal dengan sikap Devon yang semaunya sendiri dan sulit diatur. Tapi aku kemudian ingat bahwa sebentar lagi aku akan menemui Ibuk. Jika kerudungku kusut masai, Ibuk pasti mengira Devon telah berhasil mengerjaiku. Maka kuurungkan niatku menjambak kerudungku sendiri.

     Devon berdiri menungguku di luar mobil. Ia terlihat sama sekali tidak berniat untuk segera pulang. Maka aku terpaksa segera turun dari mobil Jaguar putihnya dengan perasaan kesal setengah mati.

     "Devon, kamu tahu kan bahwa kehadiranmu di sini bisa menjadi headline infotainment besok pagi?" tanyaku setelah turun dan menutup pintu mobil.

     "Tentu." jawab Devon singkat dan acuh.

     "Apa kamu juga tahu bahwa nanti pasti akan banyak orang mendekatimu dan bahkan mungkin minta foto bersama?" tanyaku lagi sambil menyilangkan kedua tanganku di depan dada.

     "Iya. Saya tahu." jawab Devon masih acuh.

     Aku mendengus kesal.

     Mengapa cowok ini begitu seenaknya sendiri, sih? Kemunculannya tentu akan membuat heboh pengunjung Rumah Sakit dan pasti akan mengganggu pasien. Apa dia tidak sadar itu?!

     "Devon," panggilku sambil kemudian menarik napas agar amarahku mereda. "Kehadiranmu berpotensi mengganggu pasien lainnya. Jadi kan jauh lebih baik jika kamu pulang saja."

     Devon menatapku sejenak. Lalu ia berbalik menuju pintu mobil yang belakang. Ia membuka pintu, kemudian mengambil sesuatu entah apa dari kursi belakang. Tak lama kemudian, ia sudah berdiri lagi di depanku. Tapi kali ini ia memakai jaket hoodie warna hitam yang penutup kepalanya ia kenakan hingga wajahnya tersembunyi.

     "Kalau begini, nggak akan ada yang tahu." ujarnya sambil nyengir. Sepertinya ia bangga pada ide briliannya untuk menyamar.

    Aku kehabisan kata. Devon ternyata lebih keras kepala dari yang aku bayangkan. Aku tidak punya pilihan lain selain mengijinkannya mengikutiku menemui Ibu dengan resiko jika ketahuan maka Rumah Sakit akan heboh. Aku tidak ingin berlama-lama berdebat dengan Devon tentang hal ini karena aku yakin akan sangat percuma melarang Devon yang sudah bertekad bulat. Aku juga berpikir hari sudah malam sehingga aku tidak ingin membuat Ibu menungguku lebih lama. Aku hanya bisa berharap bahwa karena hari sudah malam, tidak akan banyak orang berlalu-lalang di Rumah Sakit. Sehingga resiko Devon tertangkap basah sedang ada di sini menjadi lebih kecil.

     "Ayo, kita masuk." ajak Devon membuyarkan berbagai macam pemikiran yang ada di benakku. Aku hanya bisa melihat mata biru gelap Devon karena sebagian besar wajahnya memang tersembunyi karena tertutup hoodie.

     Aku sekali lagi mendengus kesal sebelum kemudian melangkah cepat mendahului Devon menuju lobby Rumah Sakit. Aku sengaja tidak ingin berjalan terlalu dekat dengan Devon agar orang lain tidak melihat seolah aku datang ke Rumah Sakit bersamanya.

     Di sepanjang lorong rumah sakit aku berdoa sepenuh hati, 'Semoga ini pertama dan terakhir kalinya Devon mengantarku ke Rumah Sakit. Aku tidak akan tahan jika ia terlalu sering mengunjungi Ibuk. Bekerja bersamanya seharian sudah sangat menguras tenagaku. Jika aku masih harus bertemu dengannya selepas kerja, aku tidak tahu harus mengambil cadangan energi dan kesabaran dari mana.'
    

Reading RainbowWhere stories live. Discover now