Bab 32 (Sinta dan Pendiriannya)

113 13 0
                                    

Jika saja bukan karena paksaan dari Yudha, gadis bermata tajam dengan bibir sedikit tebal itu tidak akan mau jauh-jauh datang ke sini. Sedari tadi setelah pulang sekolah, Yudha terus saja memegangi pergelangan tangannya dan memaksanya untuk ikut ke sini.

"Yudha, yang bener aja, lo. Ngapain sih kita ke sini?" ketusnya dengan sangat sebal. Ia lalu menepis tangan Yudha yang masih menggenggamnya.

Mereka lalu berhenti di depan sebuah ruangan dengan pintu yang terdapat kaca di sisi tengahnya, yang bisa membuat orang dari luar melihat ke dalam ruangan.

"Lo, diem," ucap Yudha seketika membuat gadis itu diam.

Yudha lalu menengok ke dalam ruangan tersebut. Bisa dilihat dari luar, di dalam sana hanya terdapat satu ranjang yang di atasnya terbaring seorang pemuda yang nyaman memejamkan matanya. Beberapa alat masih bersanding dengan pemuda yang tidur itu.

Tak ayal, gadis itu mengikuti arah pandang Yudha. Sekilas ia melihat dalam ruangan tersebut, lalu segera berpaling. "Dia siapa?" ucapnya kini seperti prihatin.

"Dia Bang Dana. Sudah hampir seminggu ini dia koma."

Mendengar ucapan yang baru saja keluar dari mulut Yudha langsung membuat Sinta membuang muka. Ia berdecih di sana. "Oh," ucapnya singkat lalu merasa tidak mau lagi peduli.

"Kok lo malah oh doang?" tanya Yudha tidak terima. Ia menuntut penjelasan sahabatnya itu yang terlalu tidak peduli dengan keadaan Dana.

"Lah, trus gue kudu ngapain? Nangis-nangis kejer gitu?" timpal Sinta tak kalah merasa tidak terima dengan ekspresi Yudha yang diberikan padanya.

Yudha lalu beralih menunjuk lorong yang ada di belakang Sinta. Otomatis gadis itu ikut memutar tubuhnya.

"Di sana, di bangsal itu." Dana menunjuk dengan telunjukknya. "Tante Irma, mamanya Nada dirawat."

Langsung hening. Beberapa detik Sinta mengindahkan ucapan Yudha. Lalu, ia mengibaskan tangan ke udara. "Udahlah, jadi lo ngajak gue ke sini cuma buat ngasih tahu kalau Bang Dana sama Tante Irma lagi di rawat? Buang-buang waktu gue." Lalu gadis itu berjalan meninggalkan Yudha.

"Perasaan lo udah mati. Hati lo udah mati, Sin."

Lorong rumah sakit yang sepi ini terasa mencekam saat perkataan yang baru saja keluar dari mulut Yudha berhasil menghentikan langkah Sinta. Ia sengaja menghentikan langkahnya untuk mendengarkan hal apa selanjutnya yang akan diucapkan Yudha padanya.

"Lo paham nggak, selama ini sahabat kita lagi kena musibah. Keluarganya lagi dirawat. Tapi-"

Belum juga Yudha menyelesaikan perkataannya, Sinta berbalik badan dengan tiba-tiba dan mengacungkan telunjuk di depan wajahnya.

"Lo jangan pernah bilang gue sama pembunuh itu sahabat. Kalo emang lo mau sahabatan sama pembunuh, silakan. Jangan pernah ajak-ajak gue!" Napasnya terengah, gadis itu kembali berbalik dan berjalan cepat meninggalkan Yudha yang masih berada di depan ruangan Dana.

Emosi gadis itu kian memuncak seiring dengan langkah kakinya yang ia percepat. Ia ingin segera pergi dari sini dan rasanya ingin berteriak menunjukkan kepada siapapun bahwa Nada bukanlah seorang sahabat, melainkan seorang pembunuh.

Pintu keluar memang melewati ruang tempat Irma dirawat. Namun Sinta tidak peduli. Yang ia inginkan hanyalah segera pergi dari sini meninggalkan Yudha yang sudah kurang ajar membawanya ke tempat yang berhubungan dengan Nada.

Baru saja ia hendak melewati kamar Irma, pintu ruangan itu terbuka dan menampakkan Irma dengan kursi rodanya dan juga Sumandra di belakangnya. Langkah gadis itu langsung terhenti.

Endless Origami [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang