BAB 21 SAKIT

11.3K 2.1K 72
                                        

Sinta benar-benar tidak suka dengan cara memaksa Dewa. Pria itu sungguh merasa dirinya paling baik untuk Sinta. Dia tidak suka keangkuhan Dewa. Sinta melepaskan cincin berlian yang Dewa berikan dan mengembalikannya. Membuat pria itu menatapnya dengan kecewa. Tapi Dewa tidak mengatakan apapun lagi sampai di depan rumah. 

ADI: Adeknya lagi apa?

SINTA: Lagi di sekolah mas, udah pulangkah dari Sumatera?

ADI: Alhamdulilah dek udah, baru aja nyampe rumah. Nanti sore ada waktu gak? Mau main ke rumah sambil bawain oleh-oleh.

SINTA: Wah apa mas? Empek-empek? Mau... datang aja ke rumah ya."

Sinta terssenyum membaca pesan yang dikirimkan Adi kepadanya. Pria itu sudah membuat hari-harinya berbunga-bunga. Adi itu cerdas dan sangat enak diajak berbicara. Wawasannya luas, dan yang pasti tidak memaksakan apapun kepada Sinta. Seperti pria yang bernama Dewa itu.

"Bu Sinta, ini data anak-anak yang kemarin telat ya."

Ucapan Bu Retno membuat Sinta mendongak dan menganggukkan kepala.

"Injeh bu, maturnuwun."

Sinta berterimakasih dengan sopan kepada BuRetno yang sudah membantunya. Dia akhirnya menyelesaikan tugasnya dan beranjak dari kursi. Hari sudah siang, sekolah sudah sepi karena siswa-siswa sudah pulang. Anak-anak yang ekstrakurikuler saja sudah beranjak melangkah menuju gerbang sekolah. Seharian ini Dewa memang tidak terlihat di manapun. Pria itu memang kadang hilang entah kemana. Bukan berarti Sinta mencarinya, tapi kadang Sinta juga merasa ada sesuatu yang hilang kalau sehari saja tidak bertemu dengan Dewa.

"Loh mbak Sinta belum pulang to?"

Pak Agus, penjaga sekolah menyapanya saat Sinta keluar dari ruangannya.

"Belum pak. Ini baru mau beres-beres. Owh itu buat apa pak?"
Sinta menunjuk bungkusan obat yang dibawa pak Agus.

"Owh ini? "Pak Agus menunjukkan kepada Sinta lalu tersenyum.

"Buat Pak Dewa. Saya disuruh beliin obat, kayaknya pak Dewa sakit."

Sinta mengernyitkan kening. dia menatap ruangan Dewa yang ada di depannya. Berjarak dari tempatnya berdiri karena dibatasi oleh taman.

"Lho pak Dewa ada?"

Pak Agus menganggukkan kepala "Ada kok mbak, dari pagi malah."

Sinta mengernyitkan kening dan mulai merasa khawatir. Lalu dia meminta bungkusan obat itu.

"Sini saya aja yang kasih, kebetulan ada yang sekalian mau saya bicarakan."

"Owh nggeh monggo."

Pak Agus memberikan bungkusan obat itu kepada Sinta lalu pak Agus berpamitan untuk pergi mengunci pintu kelas. Sinta menghela nafasnya saat dia melangkah menuju ruangan Dewa. Dia mengetuk beberapa kali.

"Masuk."

Suara berat dan dalam terdengar, Sinta langsung membuka pintu. Dewa mendongak dan menatap Sinta dengan bingung.

"Kenapa kamu?"
Pertanyaan Dewa yang ketus itu membuat Sinta melangkah maju dan meletakkan obat-obatan itu di atas meja.

"Sakit?"
Dewa memalingkan wajahnya dari Sinta dan fokus lagi ke laptop di depannya. Sepertinya Dewa mengabaikan Sinta.

"Bapak sakit apa?"

Sinta membuka bungkusan obat itu dan mulai membaca satu persatu.

"Sakit hati."

Jawaban Dewa membuat Sinta kini menatap Dewa yang memang tampak pucat. Membuat Sinta tidak tega.

"Saya pesenin teh hangat mau?"
Dewa hanya meliriknya sekilas, tapi menganggukkan kepala. Sinta akhirnya berbalik dan melangkah keluar. Tersenyum karena sikap Dewa yang lucu itu.

**** 

"Makanya kalau patah hati gak usah kayak shahruhkhan sama kajol pak.Pakai hujan-hujanan di bawah pohon pisang segala. Jadinya kan sakit to?"

Ucapan Sinta mendapat pelototan dari Dewa. Mereka duduk di sofa yang ada di ruangan Dewa. Sinta mengambilkan teh hangat yang sudah dibuat Pak Agus, lalu memaksa Dewa untuk minum obat flu. Wajah Dewa memang terlihat memerah karena demam kini melandanya.


"Kamu ngejek terus aja."

Suara Dewa yang berbeda karena flu membuat Sinta kini tersenyum. Dia sedang mengupas buah jeruk yang tadi dia beli di kantin.

"Ah habisnya pak Dewa lucu."

Sinta terkekeh saat melihat Dewa menatapnya dengan kesal. Pria itu kini bersedekap dan tetap bergeming di tempatnya. 

"Aku sakit juga gara-gara siapa? Kamu kan?"

Sinta menunjuk dirinya mendengar pertanyaan Dewa "Saya pak? Lha saya cuma ngembaliin cincin bapak kok. Lha yang suruh ujan-ujanan siapa?"
Dewa kini memberengut dan menatap Sinta dengan galak. Tapi Sinta mengulurkan jeruk yang  sudah dikupasnya kepada Dewa. Pria itu menerimanya dan memakannya. Tapi kemudian dia mengernyit dan menyipitkan mata.

"Kamu mau ngeracunin saya? Ini asem."

Dewa menunjuk jeruk yang tengah dimakannya. Tapi Sinta malah tertawa.

"Lho justru flu itu butuh asupan vitamin C yang banyak pak. Jadi memang saya pilihin yang kecut. Tenang pak, obat itu kan memang gak enak."

Kali ini Dewa menatapnya dengan kesal tapi Sinta senang, karena bisa mengerjai Dewa yang kali ini tidak berkutik karena sakitnya.

"Whatever." Akhirnya Dewa mengatakan itu dan meneruskan makan jeruk meski sedikit meringis tiap menggigit. Sinta jadi merasa iba.

"Ya udah gak usah dimakan pak kalau asam. Saya belikan soto aja mau?"
Dewa malah menggelengkan kepala dan tetap memakan jeruk itu.

"Gak usah. Dan jangan ambil jeruk ini lagi. Ini punya saya, kamu gak boleh ambil lagi."

Sinta melongo saat tangannya ditepis untuk mengambil jeruk. Dewa langsung mendekap jeruk itu lebih erat.

"Mine."

Kali ini Sinta benar-benar melongo. Jeruk hasil kupasannya di hak milik sama Dewa?

BERSAMBUNG

 HEHEHEHEHH MANJAAAHHH YAAAA EH INI TIAP HARI UP LHO YA GAK GANTUNG JANGAN BILANG KELAMAAN GANTUNG LHO

DEWA CINTAWhere stories live. Discover now