BAB 46 sang penggoda

13.1K 2.6K 161
                                        

Dewa baru saja akan masuk ke dalam mobil saat ada yang memanggilnya.

"Wah pak Dewa mau keluar?"

Siang ini Yogya diguyur hujan yang begitu deras. Entah kenapa di hari nan hujan ini calon krucil-krucilnya yang ada di dalam perut Sinta merengek minta di belikan bakso. Biasanya juga di depan sekolahan banyak penjual bakso yang mangkal. Tapi karena hujan, semuanya tidak ada. Dewa ingin pergi ke warung bakso untuk membelikannya.

"Ya."

Dewa hanya menatap sekilas Melly yang sedang memegang payung warna biru.

"Mau ke depan kan pak? Saya nebeng ya?"

Dewa mengernyitkan kening. Tapi mau menolak juga dia tidak mempunyai alasan. Karena bagaimanapun juga Melly adalah karyawannya.

"Ehmm hanya sampai depan kan?"

Melly langsung menganggukkan kepala dengan antusias.

"Ok."

Mendengar ucapan Dewa, Melly langsung tersenyum senang. Dia berputar dan akan masuk ke dalam mobil di samping supir. Tapi Dewa langsung menghardiknya.

"Maaf bu. Anda di belakang saja."

Ucapan Dewa membuat Melly mengernyitkan kening.

"Lah nanti pak Dewa kayak supir dong."

Dewa yang kini sudah masuk ke dalam mobil menggelengkan kepala.

"Saya gak mau deketan sama wanita selain istri saya. Dosa."

Jawabannya tentu saja membuat Melly tersenyum kecut. Tapi kemudian wanita itu berpindah ke samping dan masuk ke dalam jok penumpang.

Hujan semakin deras saat Dewa meninggalkan sekolahan. Dewa mengendarai mobil dalam diam.

Sampai di depan kompleks, Dewa menghentikan mobilnya.

"Sudah sampai."

Tapi dia melirik Melly dari kaca spion, wanita itu masih tenang saja.

"Duh di sini gak ada halte buat nunggu cari  taksi pak. Ehmm bisa maju ke depan lagi gak pak?"

Dewa hanya melirik tapi kemudian menjalankan mobilnya lagi.

Saat itulah dia menemukan warung bakso. Maka Dewa menghentikan mobilnya.

"Saya mau beli bakso dulu. Kalau mau turun di sini silakan."

Dewa turun tanpa menunggu Melly. Dia langsung berlari ke warung bakso dan memesan. Tapi Melly malah mengekorinya dan kini berdiri di sampingnya.

"Wah saya jadi lapar. 1 mangkuk ya mas. Bapak makan di sini kan?"

Dewa menoleh ke arah Melly.

"2 mangkuk ya mas."

Melly meralat pesanannya. Lalu menoleh ke arah Dewa lagi.

"Nih saya yang traktir pak. Kita ke meja di sana saja ya?"

Dewa makin tidak mengerti ucapan Melly. Dia memang memesan bakso tapi kan dia mau makan dengan Sinta. Bukannya Melly.

"Saya gak makan di warung bakso."

Ucapannya itu malah membuat sang penjual bakso menatapnya.

"Warung saya bersih kok pak. Udah ada Ac juga. Kursi juga empuk. Pokoknya dijamin nyaman. Udah monggo."

Penjual bakso membawa 2 mangkuk menuju meja yang ditunjuk Melly. Bagaimanapun juga Dewa tidak mau membuat penjual bakso tersinggung. Akhirnya dia mengikuti Melly dan duduk di sana. Tapi dia menatap jendela yang ada di sampingnya. Ada seorang anak kecil yang sepertinya pemulung sedang berteduh di bawah pohon. Dia langsung beranjak bangun.

"Loh mau kemana pak?"

Dewa tidak menjawab pertanyaan Melly. Dia buru-buru keluar dan mengambil payung Melly lalu membawa ke anak itu.

"Dek.."

Sang anak yang tengah kedinginan kini menoleh ke arahnya.

"Njeh pak."

"Ini."

Dewa merogoh saku celananya dan memberikan amplop putih yang berisi uang senilai 500 ribu. Sebenarnya uang itu akan dibuatnya untuk membayar pesanan sandal yang dipesannya di tempat langganannya. Hanya sandal rumahan tapi Dewa memang sudah cocok.

"Ini apa pak?"

Anak kecil berusia sekitar 8 tahun itu bingung menatap amplop yang diulurkan Dewa.

"Kamu pakai buat kebutuhan kamu. Dan sekarang kamu ikut om."

Anak itu menurut saat Dewa mengulurkan tangan kepadanya. Dewa membawanya masuk ke dalam warung bakso lalu menyuruh sang anak duduk di sebelahnya. Dewa bahkan menyodorkan baksonya.

"Dimakan ya?"

Tentu saja sang anak langsung senang. Dengan semangat dia melahap bakso itu.

"Loh pak..duh bau."

Melly tiba-tiba menutup hidungnya.

"Ya kalau bau gak usah di sini."

Jawaban Dewa membuat Melly memberengut. Tapi wanita itu tiba-tiba menutup mulutnya dan langsung berdiri. Berlari mencari toilet. Dewa hanya mengangkat alisnya dan tersenyum sinis.

***
"Makan yang banyak ya. Aku perjuangan loh beliin kamu bakso."

Dewa mengulurkan tangan untuk mengusap-usap kepala Sinta. Dia sudah sampai di sekolahan lagi. Tapi dia basah kuyup karena hujan semakin deras mengguyur.

Setelah itu dia berganti pakaian dan menemani Sinta makan.

"Kok lama?"

Sinta kini menatapnya dan membuat Dewa hanya mengangkat alis.

"Ini kan baksonya mas Roji. Yang depan kompleks kan?"

Dewa langsung menganggukkan kepala.

"Lah kok lama banget. Hampir 3 jam. Sinta udah gak nafsu."

Padahal tadi Dewa mengantarkan sang anak yang ternyata bernama Anung itu pulang. Bahkan Dewa memberikan ibu Anung yang ternyata seorang janda uang untuk modal jualan. Bahkan Dewa menjamin Anung tetap sekolah dengan menjamin biaya sekolahnya. Semua itu akhirnya diserahkan ke asistennya yang langsung mengurus semua.

"Aku nungguin warung sepi dulu. Males desak-desakan."

Itu alasannya kepada Sinta. Kali ini istrinya mengernyitkan kening.

"Laah sombong banget. Emang desakan kenapa coba?"

Dewa malah mendesah dan menggelengkan kepala.

"Gak level desak-desakan ama mereka. Aku gak mau kemeja mahalku kena kusut. Ini juga kalau bukan karena kamu yang untungnya bidadariku, maka aku rela beli di sana. Besok lagi kalau ngidam minta makan di fine dining resto aja Mi. Bersih."

Sinta langsung mencibir. Istrinya itu kini malah menyandarkan kepalanya di dada bidang Dewa.

"Sebel. Sombongnya kapan berakhir sih mas?"

Ucapan Sinta membuat Dewa terkekeh. Dia mengecup pucuk kepala Sinta. Biarlah istrinya tahunya begitu, karena dia tidak mau semua orang tahu apa yang dilakukannya. Itu hanya dia dan Allah yang tahu.

Bersambung

Aku lagi suka ama Dewaaa.

Bucin aku ama dia... hohoho

DEWA CINTAWhere stories live. Discover now