Sampai di Bogor

24 2 0
                                    

Perjalanan semalam membuat semua tim masih tertidur di pagi yang cerah namun gerimis. Sampai akhirnya semua siap untuk berangkat menuju lokasi desa terdampak longsor terparah menggunakan armada motor trail. Tentunya dengan barang bawaan yang masing-masing diikat di jok belakang motor untuk selanjutnya disampaikan kepada para korban.

Aku pun sudah stand by sejak pagi untuk merekam setiap kegiatan yang nampak di hadapanku saat itu. Tentunya dengan kamera handphone andalan ku.


Singkat cerita, tim pun berangkat beriringan. Kurang lebih ada 19 motor trail yang diberangkatkan. Aku pun tak bisa mengikuti mereka hingga pelosok desa, karna transportasi yang tidak memungkinkan. Aku pun memutuskan untuk meliput bekas longsoran dan pergerakan tanah yang ada di sekitar tempat kami memarkirkan armada kendaraan semalam.


Sambil merekam setiap pemandangan yang terhampar di depan ku sendirian, sesekali aku melihat pria itu berjalan-jalan. Ternyata dia tidak ikut bersama rombongan motor trail lain.


Sampai aku tiba di sebuah gang turunan yang hanya cukup dilewati satu motor. Aku pun hendak masuk menelusuri gang itu. Sebab kata warga setempat, dibawahnya ada 60 rumah kosong yang sudah ditinggalkan penghuninya sejak terjadinya pergerakan tanah di sana. Entah apa dampak yang diperbuat oleh pergerakan tanah itu di bawah sana, rasa penasaran ku pun muncul.


Saat hendak berjalan memasuki gang itu, seorang ibu-ibu berjalan ke arah berlawanan dengan ku. Aku pun menyempatkan untuk bertanya-tanya dengan si ibu soal peristiwa yang terjadi di balik gang yang tertutup pohon-pohon bambu di kanan kirinya itu.


Setelah banyak bercerita, sang ibu menyarankan ku untuk tidak masuk ke sana sendirian. Minimal bersama satu orang teman, karena kekhawatiranyan kepada ku terhadap situasi di bawah sana yang kurang aman.


Tapi aku memang bertugas meliput sendiri, tidak ada siapa-siapa yang bisa menemani ku. 


"Gak apa-apa bu sendiri aja," ujar ku meyakinkan si ibu.


"Aduh jangan neng, berdua aja biar ada temennya," ucap si ibu sambil berjalan. Membuat ku yang tadinya menghadap ke arah masuk gang, kini berbalik mengikuti si ibu yang mulai berjalan perlahan. Sampai pemandangan itu nampak terlihat mendadak di depan ku. 


Ku dapati pria itu berjalan dengan seorang pria yang kurasa temanya, berjalan ke arah aku berdiri. Masih dengan stylenya semalam. Nampak bibirnya tersenyum saat melihat interaksi antara aku dan si ibu. Dia pun mendengar ucapan si ibu yang diulangi untuk ke sekian kalinya. 


"Neng jangan sendiri yah, berdua ajah kalau mau ke sana," ucap si ibu melirik ke arahku dengan badan lurus ke depan.


"Iya bu," ku jawab untuk menenangkanya, walaupun aku bertekad untuk tetap berangkat sendiri. 


Si ibu pun berlalu, kini pria itu dan temanya sudah tepat berada dihadapan ku. Mereka berhenti, tak melanjutkan perjalananya.


"Mau aku temenin?" ujar pria itu langsung menatapku.


Aku terdiam sejenak. Ada yang aku pikirkan.


"Yakin mau nemenin?" tanya ku balik.


"Iya ayo aku temenin," ucapnya lagi.


"Ih nanti aku gimana? Sama siapa?" ujar teman prianya menimpali.


"Tuh kan.. nanti ada yang cemburu lagi kalau kamu nemenin aku," ucapku sambil tersenyum canda.


"Oh iya ya.." kata pria itu pada temanya.


"Ya udah deh kalau gitu aku ke sana dulu yah," katanya kepadaku seolah meminta ijin. 


"Iyah oke," jawab ku singkat.


Baru saja aku mau mengatur kamera handphone ku, pria itu kembali mengajukan pertanyaan untuk ku.


"Bapa mu ikut nge-gas ke sana?" Tanyanya sambil menunjuk pemandangan bukit di belakang punggungnya.


"Iya," jawab ku lagi.


Diapun berlalu melanjutkan langkahnya.


Dan aku, melanjutkan aktifitas ku untuk meliput kondisi kampung tak berpenghuni di balik gang menurun itu. Sendiri.

Bersambung...

Warna Warni Liputan Seorang JurnalisWhere stories live. Discover now