Prologue

813 98 0
                                    

This story was written by Cindy Handoko and Viona Ang

LEMARI besi kecil itu sudah berdebu dan berkarat. Hanya dengan melihat bagian luarnya saja, orang-orang mungkin bisa membayangkan jalinan jaring laba-laba yang menempel bagaikan lem di atas karat besi yang mulai berkerak. Membukanya mungkin bukan ide bagus, dan melihat apa isinya sudah pasti bukan pilihan yang bakal repot-repot orang buat dalam keadaan apa pun.

Tetapi, anak itu tidak peduli.

Sejak sepuluh menit yang lalu, ia meringkuk di dalam lemari tersebut, berusaha menyembunyikan diri dengan menempel seperti siput di dinding dalamnya. Sekujur tubuhnya yang kecil gemetaran. Kulit putihnya memucat seiring dengan semakin kuat bibirnya digigit. Ia membiarkan kegelapan menyelubunginya, hanya menyisakan sedikit sekali celah yang memungkinkan untuk bernapas.

"Tapi ini yang terakhir!" sayup-sayup, terdengar suara berat seorang pria dewasa dari kejauhan. Nadanya mendesak, dan saat mengucapkan kata 'terakhir', anak itu pikir ia bisa mendengar keputusasaan dalam suara itu. "Masa dia tidak ke sini sama sekali? Ke mana lagi dia bisa pergi?"

"Kami tidak tahu, Pak. Maaf sekali," sebuah suara familier menyahut bentakan itu.

Hening sejenak. Kemudian terdengar suara embusan napas berat. "Biar saya ulangi sekali lagi," pria pertama berkata, "Anak di foto ini sudah membunuh ayahnya sendiri. Kalau memang dia ke sini, saya harap kalian mau berbaik hati memberi kami informasi. Seisi Jakarta sudah kami jelajahi tanpa hasil. Panti asuhan ini yang terakhir!"

"Maaf, Pak. Kami mengerti kondisi kalian. Tetapi, fotonya tidak jelas. Bukankah ayahnya adalah pemilik Walker Corporation itu? Dia terkenal di mana-mana. Seharusnya kalian bisa menunjukkan foto yang lebih jelas. Kalau begini caranya, kami hanya bisa berasumsi anak itu tidak ke sini."

"Almarhum tidak suka mengumbar kehidupan pribadinya di media," jawab pria pertama. "Termasuk foto anaknya. Ini satu-satunya yang bisa kami selamatkan dari kebakaran itu."

"Foto saat anak itu berusia... sekitar setahun? Bapak tidak akan menemukan apa-apa darinya! Anak itu sudah empat tahun, kan, sekarang?" pria kedua menyahut. Nada suaranya blak-blakan, dan ketegasan yang mencengangkan berhasil membuat pria pertama terdiam.

Lemari terasa lebih dingin dalam jeda yang mendebarkan itu. Si anak meremas telapak tangannya sendiri dan menahan napas.

Kemudian, pria pertama membuka suara. Kali ini, nadanya dingin. "Ya sudah," katanya, "Kalau begitu, saya rasa kunjungan saya cukup sampai di sini saja. Terima kasih atas kejujuran dan informasinya."

"Bukan apa-apa. Mari saya antar ke depan."

Senyap setelah itu. Terdengar bunyi langkah kaki beriringan yang semakin pelan dan pelan, kemudian menghilang di kejauhan.

Debar jantung si anak kembali normal. Ia mengembuskan napas yang tanpa sadar telah ditahannya sejak beberapa detik lalu. Rona kembali ke wajah pucatnya, dan ia meyakinkan diri berkali-kali sebelum berdiri dengan kaki bergetar dan menjeblak pintu lemari lebar-lebar, menghirup udara kebebasan yang anehnya terasa begitu melegakan.

[COMPLETED] Terror of  the White MaskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang