Thirty Seven

76 21 0
                                    

Bryan POV

SEMUA berjalan dengan sempurna—terlalu sempurna, malah.

Setidaknya, pada awalnya.

Aku mendapat bagian jaga di lantai satu—kami memrediksikan pergerakan si topeng putih kemari, sebab ia pasti bakalan memilih kabur daripada harus menghabisi kami satu-per-satu dan mengambil resiko identitasnya terbongkar. Yah, selalu ada kemungkinan lain apabila kau berurusan dengan psikopat gila yang mengenakan kostum ala penjahat di film-film thriller picisan, tetapi setidaknya itulah taruhan terbaik kami. Fakta bahwa aku adalah ketua tim detektif kecil-kecilan ini (setidaknya, aku punya perasaan sebentar lagi bakalan begitu jadinya) membuatku kedapatan posisi di tempat paling riskan.

Bukannya aku tidak senang dipercaya untuk menangani target kami pertama kali—yang benar saja, aku seharusnya merasa terhormat sekali (dan aku memang sedikit-banyak merasa demikian)—tetapi segala sesuatu menjadi dua kali lebih mendebarkan bagiku. Maksudku, aku adalah yang pertama menyaksikan kedatangan si topeng putih—pertama mendengar langkah kakinya yang terlalu audible untuk dilewatkan, dan pertama melihat jubahnya berkibar-kibar flashy di koridor lantai satu sekolah. Aku ingat menahan napas sampai mukaku biru supaya ia tak menyadari keberadaanku.

Kemudian ia naik, dan aku hanya bisa mendengar bunyi derap langkah kaki itu.

Setelah decitan keras dan teriakan "Berhenti!" kelewat nyaring milik Rosaline, aku langsung meningkatkan kewaspadaan menjadi seratus persen, merasa yakin target berjubah hitam kami akan turun menemuiku sebentar lagi. Tetapi, nyatanya, bahkan setelah semenit-dua menit berlalu, belum ada tanda-tanda ia akan datang.

Ini nggak bagus, pikirku, lalu serta-merta teringat Alice dan kemungkinan ia sedang berada dalam bahaya yang entah apa.

Pemikiran itu membuatku melesat naik secepat kilat, dan pemandangan topeng putih yang sedang bergelut dengan Andrew Leonardo di depan tangga langsung menyambutku. Aku sudah membuka mulut untuk menyerukan nama Andrew karena sepertinya mereka berdua sama-sama tidak menyadari kehadiranku, tetapi kemudian si topeng putih lolos dan teriakanku didahului suara Rosaline yang menyerukan hal yang sama.

Mendengar itu, aku langsung melompat mundur dengan panik. Jantungku berdegup sekencang bunyi beat musik yang selalu diputar Willy keras-keras di kamarnya tiap malam (yeah, kamarku terletak tepat di atas kamarnya, jadi aku tahu), dan tubuhku mendadak gemetaran saat aku mencoba menyembunyikan diri di balik pegangan tangga turun.

Kenapa, sih, aku menyembunyikan diri dari teman-temanku sendiri?

Pemikiran itu membuatku merasa bodoh. Tetapi, aku tahu alasannya lebih baik dari siapa pun. Bahkan, saat mulai berjingkat-jingkat keluar tanpa suara setelah bunyi derap langkah rombongan itu menghilang di kejauhan pun, aku tahu bahwa otakku sebenarnya sedang—lagi-lagi—menyusun improvisasi.

"Gimana kalo rencananya gagal?" Joshua bertanya kepadaku kemarin malam, setelah semua orang kembali ke kamar masing-masing dan hanya tinggal dia yang masih betah nongkrong di kamarku.

"Itu hanya bakal terjadi kalo ternyata si topeng putih nggak termakan pancingan kita," jawabku waktu itu, "Kalo rupanya dia terpancing juga dan dateng ke sekolah, gue bisa menjamin seratus persen bahwa rencanaya pasti berhasil."

"Dan," Joshua menyela, "Lo seyakin ini karena...?"

"Karena gue udah menyiapkan beberapa rencana cadangan—Plan B, Plan C, Plan D, semua ada. Dan lo—lo akan membantu gue."

"Hah?" kening Joshua berkerut, "Yang bagian gue harus ikut ngebantu ini rencana lo dari awal atau spontanitas aja—karena gue nanya beginian?"

"Itu rencana gue dari awal."

[COMPLETED] Terror of  the White MaskWhere stories live. Discover now