Chapter Twenty Eight

83 21 0
                                    

Alice POV

HARIKU benar-benar kacau.

Sampai bel jam pertama usai—bahkan jauh setelah itu, Catherine belum juga sampai di kelas, dan hal itu tentu membuatku sangat gelisah di kala murid-murid lainnya tengah bergembira lantaran mendapat jam kosong dadakan.

Bagaimana kalau terjadi apa-apa padanya selagi kami di sekolah?

Apalagi dia sedang menjalankan tugas dari Pak Stenley—tertuduh utama kami.

Selain itu, Andrew juga membolos sekolah hari ini. Apa dia masih marah padaku karena kejadian kemarin? Atau dia terkena demam karena tidur di rooftop sampai malam?

Sebuah ketukan di pintu membuyarkan lamunanku sekaligus membuat suasana kelas menjadi hening seketika.

Pintu pun terbuka dan menampakan sosok Catherine, yang tampak kacau dan depresi. Matanya merah, rambutnya yang selalu tersisir rapi berantakan. Ia juga sesenggukan. Pemandangan itu tentu langsung mengundang rasa heran dari seisi kelas—tak terkecuali aku dan Bryan, walaupun bedanya, kami sudah bisa menduga apa yang kira-kira telah terjadi.

Dia pasti diteror lagi.

Ya ampun, kenapa, sih, pembunuh itu menargetkan dia? Dia bahkan tidak melakukan apa-apa yang terlalu mencolok sebelum ini. Aku malah tidak bakal kaget kalau si pembunuh menargetkan diriku, sebab mungkin saja ia punya masalah dengan keluargaku atau apa. Tapi, Catherine?

Tanpa diberi aba-aba, aku dan Bryan langsung berjalan ke arah cewek itu, mengajaknya menyingkir ke sudut kelas yang sepi, dan menanyakan apa yang terjadi barusan.

Sesuai dugaanku, ia diteror lagi, dan bahkan sebelum sempat ia memenuhi perintah Pak Stenley.

"Dia ngelempar bata merah, hampir kena kepalaku," katanya muram. "Untung masih ada orang yang—"

"Gila," Bryan bergumam panik, "Sekarang lo bener-bener mau dibunuh sama si orang sinting itu? Keterlaluan amat!"

"Iya, aku juga nggak nyangka bakal secepet ini," Catherine menunduk. Ia masih tampak sangat kacau.

"Apa jangan-jangan—"

Bryan belum selesai mengutarakan pendapatnya saat sebuah suara tajam tiba-tiba memotong dari balik punggungku—membuatku merinding.

"Hei."

Aku langsung berbalik lalu mundur beberapa langkah ke arah Catherine.

Itu Gwen.

"Ada yang perlu gue omongin sama kalian soal kasus itu, tapi bukan sekarang," katanya datar, "Ajak temen-temen lo sekalian, ntar malem di kamar kalian." Ia menunjukku dan Catherine bergantian.

"Hah?" gumamku bingung. Kasus yang mana? Catherine hampir dibunuh? Atau kasus Fellicia dan Rey?

"Satu lagi," katanya, "Andrew dan Joshua harus ikut. Sisanya terserah aja mau ikut atau nggak. Nggak ada yang peduli."

Ia memberi kami sebuah tatapan tajam sebelum akhirnya berbalik lalu duduk di bangkunya kembali, membaca novel hardcover favoritnya seolah ia tidak pernah beranjak dari sana.

Aku cuma bisa diam di tempat, sedangkan Bryan yang sudah sadar kembali, menuntun Catherine duduk di bangkunya sendiri. Rahangnya terkatup rapat. Setelah memastikan Catherine tenang, ia berjalan menghampiriku.

"Inget-inget soal janji kita kemarin," katanya. Aku mengangguk. Lalu, sebelum ia pergi, terdengar gumaman yang berbunyi seperti, "Apa pentingnya bajingan itu buat Gwen?"

[COMPLETED] Terror of  the White MaskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang