Chapter Twenty Seven

82 21 0
                                    

Catherine POV

'UNTUK : Catherine Maxwell

Sebelum berangkat sekolah, ambil dokumen di map kuning dari ruang monitor. Urutkan nomornya. Langsung temui saya di kantor. Ada toleransi untuk tidak ikut jam pertama.

-Pak Stenley'

Aku membaca surat tersebut dengan jantung serasa berhenti berdetak.

"Lice," panggilku, "Lihat, deh."

Alice, yang baru saja selesai menyiapkan peralatan mandi, bergegas menghampiriku. Wajah cewek itu tampak kuyu—barangkali ia tidak memejamkan mata semalaman. Kantong mata menggelayut di bawah kedua matanya yang sembap. Sudah lama aku ingin menanyakan penyebab sembap itu, tetapi aku selalu tidak punya keberanian untuk melakukannya. Sepertinya sesuatu telah terjadi selama aku tidur sehabis pingsan kemarin malam. Bryan mungkin mengetahuinya, jadi kupikir akan kutanyakan saja padanya nanti. Tetapi, saat ini, yang lebih penting adalah surat di tanganku, dan bagaimana aku seharusnya bereaksi terhadap benda ini.

"Astaga," Alice bergumam dengan heran. Bahkan suaranya pun terdengar agak serak. "Apa hal beginian umum terjadi?"

"Sama sekali nggak," jawabku. Tanganku bergetar sedikit saat menurunkan surat itu dari pandangan. Kutatap Alice penuh selidik, "Menurutmu, Pak Stenley manggil aku buat apa?"

"Nggak mungkin hanya tentang dokumen di map kuning itu, sih," gumamnya, "Mungkin dia mau bicara soal sesuatu yang lain."

"Iya," aku menyetujui, "Tapi apa?"

Alice diam sejenak. Tampaknya ia berusaha keras menyelipkan masalah ini dalam pikiran—menyingkirkan masalah-masalah lain yang tengah membebaninya supaya bisa berpikir dengan jernih. "Apa dia tahu soal peristiwa teror kemarin?"

Mataku terbelalak. "Ya ampun! Bener juga." Kubasahi bibir bawahku dengan gugup. "Kalo gitu, kemungkinan Sam juga dipanggil?"

"Bisa jadi," Alice menjawab. "Tapi, lo yakin nggak kalo surat ini beneran dari Pak Stenley?"

"Itu...," gumamku, langsung menyadari terlalu banyak kejanggalan dari keberadaan secarik kertas misterius di bawah pintu ini. "Well, itu bisa jadi jebakan. Tapi, siapa yang mau bangun pagi-pagi hanya untuk ini?"

"Kalau orang itu mau membunuh," Alice berkata, "Nulis surat aja pasti bukan perkara susah, kan?"

***

Sam tidak mendapat surat yang sama.

Seakan hal itu belum cukup, Rosaline muncul dan berkata bahwa dia benar-benar melihat Pak Stenley menyelipkan si kertas misterius ke bawah pintuku.

"Jadi...," aku menyimpulkan, "Pak Stenley benar-benar manggil aku—dan hanya aku?"

"Belum tentu, sih," Joshua berkata, "Mungkin ada anak lain selain kita yang dipanggil juga, kayak Alice waktu itu. Tapi yang jelas, selain elo, nggak ada di antara kita yang nerima surat aneh macam begitu."

Itu saja sudah cukup untuk membuat jantungku berdebar-debar membayangkan topik macam apa yang akan kepala sekolah kami itu angkat—apa aku sudah berbuat sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya? Atau... benarkah dugaan Alice bahwa ia telah mengetahui perihal teror yang kuterima kemarin malam? Tetapi... kalau benar begitu, mengapa Sam tidak dipanggil bersamaku?

"Gue temenin, Cath!" Sam berseru dengan nada pede, "Gue nggak akan biarin lo dimakan anjing gila!"

"Anjing gila?"

"Pak Stenley!" serunya menjelaskan. "Akan gue lindungi lo dari gigi-gigi tajamnya yang—"

"Sam, lo kebanyakan baca puisi nggak jelas," Joshua memotong dengan bete. "Hidup lo emang penuh hal-hal nggak berguna."

[COMPLETED] Terror of  the White MaskWhere stories live. Discover now