BAB 50

113 31 0
                                    

HOSEOK POV

"Demi Hephaestus," seru Hoseok.

Jalur setapak itu membuka ke taman terindah yang pernah dilihat Hoseok. Tidak berarti dia pernah menghabiskan banyak waktu di taman-taman, tapi wow. Di sisi kiri terdapat kebun anggur dan buah-buahan-pohon-pohon persik dengan buah-buah merah-keemasan yang begitu harum di tengah hangatnya mentari, dengan sulur-sulur terpangkas rapi yang menyeruak anggur-anggur, punjung dengan melati bermekaran, dan sekumpulan tanaman lain yang tak dikenali Hoseok. Di sisi kanan terdapat petak-petak cantik sayur-mayur dan tanaman obat, tertata seperti jeruji di sekeliling air mancur besar berkilauan tempat satir-satir perunggu memuntahkan air ke dalam, mangkuk di tengah. Di belakang taman, tempat jalur setapak berakhir, tampak gua membuka di sisi bukit berumput. Dibandingkan dengan Bunker Sembilan di perkemahan, jalan masuk gua ini kecil tetapi begitu mengesankan. Di masing-masing sisinya, tampak batu kristal dipahat menjadi pilar-pilar khas Yunani. Bagian atasnya dipasang tiang perunggu yang menyangga tirai-tirai sutra putih.

Penciuman Hoseok digempur oleh bau wewangian-pohon cedar, melati, persik, dan tanaman herba segar. Aroma yang menyeruak dari gua menarik perhatiannya-seperti semur daging tengah dimasak.

Hoseok mulai melangkah menuju jalan masuk. Bagaimana mungkin dia tidak melakukannya? Langkahnya terhenti saat didapatinya sosok sang gadis. Gadis itu sedang bersimpuh di kebun sayurnya, punggungnya menghadap Hoseok. Dia menggumam sendiri sambil menggali dengan gusar menggunakan sekopnya. Hoseok mendekatinya dari arah samping agar gadis itu bisa melihatnya. Hoseok tidak ingin mengagetkannya di saat gadis itu bersenjatakan perkakas berkebun yang tajam. Gadis itu terus menerus mengutuk dalam bahasa Yunani kuno seraya menikami tanah. Bercak tanah mengotori sekujur lengan, wajah, dan gaun putihnya, tapi sepertinya dia tak peduli. Hoseok menyukai itu. Gadis terlihat lebih baik dengan sedikit lumpur-lebih tidak menyerupai seorang ratu kecantikan dan lebih menyerupai sewajarnya orang yang tidak takut berkotor-kotor.

"Kurasa kau sudah cukup menyiksa tanah itu," ujar Hoseok.

Gadis itu memandangnya dengan marah, matanya merah dan basah. "Pergilah."

"Kau menangis," ucap Hoseok, yang jelas pernyataan bodoh; tapi melihatnya seperti itu bisa dibilang seperti merebut angin dari baling-baling helikopternya. Sulit untuk tetap marah pada seseorang yang sedang menangis.

"Bukan urusanmu," gumamnya. "Ini pulau yang besar. Pergi carilah tempatmu sendiri. Tinggalkan aku sendiri." Dia asal menunjuk ke arah selatan. "Pergilah ke sana mungkin."

"Jadi, tak ada rakit ajaib," kata Hoseok. "Tak ada cara lain keluar dari pulau?"

"Tampaknya tidak!"

"Jadi, apa yang mesti kulakukan? Duduk di gundukan pasir sampai aku mati?"

"Itu juga boleh ...." Gadis itu melempar sekopnya ke tan dan mengutuk ke langit. "Sayangnya, kurasa dia tidak akan bisa mati di sini, bukan? Zeus! Ini tidak lucu!" Tidak akan bisa mati di sini?

"Tunggu dulu." Kepala Hoseok berputar seperti engkol mesin.

Dia tidak bisa menerjemahkan sepenuhnya apa yang dikatakan gadis ini-seperti saat dia mendengar orang asli Spanyol atau Amerika Latin bicara bahasa Spanyol. Yeah, dia bisa memahaminya, sedikit; tapi ia terdengar sangat berbeda hingga nyaris terdengar seperti bahasa yang lain.

"Aku perlu informasi lebih banyak lagi," ujar Hoseok. "Kau tidak ingin melihatku, tak masalah. Aku juga tidak ingin berada di sini. Tapi aku tidak akan mati di pojokan. Aku harus pergi dari pulau ini. Pasti ada sebuah jalan. Setiap masalah ada jawabannya."

Gadis itu tertawa getir. "Kau belum hidup cukup lama, kalau kau masih memercayai itu."

Cara dia mengatakannya membuat tubuhnya bergidik. Gadis itu tampak sebaya dengannya, tapi Hoseok bertanya-tanya berapa usianya sebenarnya.

Adventures of the Demigods Season 2 #4 (Bangvelt)Where stories live. Discover now