BAB 57

130 32 0
                                    

TAEHYUNG POV

Taehyung tidak yakin mesti mengharapkan apa: badai atau api.

Selagi menanti audiensi hariannya dengan penguasa Angin Selatan, dia mencoba memutuskan kepribadian sang dewa yang manakah, Romawi atau Yunani, yang lebih jelek. Setelah lima hari di istana, Taehyung hanya merasa pasti akan satu hal: kecil kemungkinannya Taehyung beserta awak kapalnya bakal keluar dari sini hidup-hidup.

Dia menjulurkan badan sambil bersandar ke pagar balkon. Udara teramat panas dan kering, seakan menyedot kelembapan dari paru-parunya. Sepekan terakhir ini, kulitnya telah bertambah gelap. Rambutnya menjadi seputih rambut jagung. Kapan pun dia menengok ke cermin, Taehyung terperanjat menyaksikan ekspresi liar dan hampa di matanya, seolah dirinya menjadi buta sehabis luntang-lantung di gurun.

Tiga puluh meter di bawah, perairan teluk berkilau di batik pantai berbentuk sabit yang dihampari pasir merah. Mereka tengah berada di pesisir utara Afrika. Cuma itu yang diberitahukan roh-roh angin kepada mereka. Istana itu sendiri terbentang di kanan-kiri Taehyung-jejaring rumit koridor dan terowongan, balkon, deretan pilar, dan ruang-ruang lapang yang terukir di tebing batu paras, semuanya didesain sedemikian rupa sehingga angin bisa berembus melewati sepanjang istana dan menghasilkan kegaduhan sekeras mungkin. Bunyi mirip organ pipa mengingatkan Taehyung akan istana terapung Aeolus di Colorado, hanya saja di sini angin sepertinya tidak terburu-buru. Itulah yang justru merupakan bagian dari masalah. Di hari-hari terbaik, ventus selatan lamban dan pemalas. Di hari-hari terburuk, mereka marah-marah dan berembus sesukanya. Para roh angin selatan mulanya menyambut Argo II, sebab musuh Boreas adalah kawan Angin Selatan, tetapi mereka tampaknya sudah lupa bahwa para demigod adalah tamu mereka. Kaum ventus segera saja kehilangan minat untuk membantu memperbaiki kapal. Suasana hati raja mereka kian hari kian jelek.

Di geladak kapal, kawan-kawan Taehyung sedang bekerja di Argo II. Layar utama telah diperbaiki, tali-temali sudah diganti. Kini mereka sedang memperbaiki dayung. Tanpa Hoseok, tak seorang pun dari mereka tahu caranya memperbaiki komponen-komponen kapal yang lebih rumit, sekalipun mereka dibantu Buford si meja dan Festus (yang sekarang menyala permanen berkat charmspeak Irene-entah bagaimana). Tapi, mereka terus berusaha. Wendy dan Yoongi berdiri di balik roda kemudi kapal, sedang mengutak-atik panel kontrol. Irene menyampaikan perintah mereka kepada Pak Pelatih Hedge, yang bergelantungan di samping kapal sambil menggetok-getok dayung yang penyok. Pekerjaan menggetok memang cocok untuk Hedge. Upaya reparasi kapal sepertinya tidak menemui banyak kemajuan, tapi mengingat apa saja yang sudah mereka lalui, ajaib bahwa kapal tersebut masih utuh. Taehyung bergidik saat memikirkan serangan Khione. Dia telah dibuat tak berdaya-dibekukan menjadi es, bukan hanya sekali tapi dua kali, sementara Hoseok dilemparkan ke langit dan Irene terpaksa menyelamatkan mereka semua seorang diri. Puji syukur kepada dewa-dewi atas kerja keras Irene. Gadis itu patah arang karena dirinya gagal menghentikan meledaknya bom angin; tetapi sesungguhnya, Irene telah menyelamatkan seluruh awak kapal dari nasib sebagai patung es di Quebec. Irene juga berhasil mengarahkan ledakan bola es itu sehingga, walaupun kapal terdorong melintasi setengah Laut Mediterania, kerusakan yang diderita kapal tersebut relatif kecil. Di geladak, Hedge berteriak, "Coba sekarang!" Wendy dan Yoongi menarik tuas. Dayung kiri langsung menggila, bergerak naik-turun dan bergelombang. Pak Pelatih Hedge mencoba berkelit, tapi salah satu dayung menghajar pantatnya dan melontarkannya ke udara. Sang satir jatuh sambil menjerit dan tercebur ke teluk. Taehyung mendesah. Kalau begini terus, mereka takkan bisa berlayar sekalipun ventus selatan mengizinkan.

Di suatu tempat di utara, Jennie sedang terbang ke Epirus; dengan asumsi bahwa dia memperoleh surat Taehyung di Istana Diocletian. Hoseok hilang dan sedang kesulitan. Jimin dan Seulgi mereka mungkin masih hidup dan tengah menuju Pintu Ajal. Taehyung tidak boleh mengecewakan mereka. Bunyi berdesin membuatnya menoleh. Jungkook Joen berdiri di bayang-bayang pilar terdekat. Anak itu telah menanggalkan jaketnya. Sekarang dia hanya mengenakan kaus hitam dan celana jins hitam. Pedang dan tongkat Diocletian tersandang di kanan-kiri sabuknya. Berhari-hari di bawah terpaan matahari terik tidak menggelapkan kulit Jungkook. Sebaliknya, dia justru kelihatan semakin pucat. Rambut hitamnya menjuntai ke depan mata. Wajahnya masih kuyu, tapi kondisinya jelas-jelas sudah lebih baik daripada saat mereka meninggalkan Kroasia. Berat badan Jungkook sudah bertambah sehingga dia tidak lagi tampak bagai korban kelaparan. Lengannya tegang berotot, seakan dia telah menghabiskan seminggu ini untuk berlatih pedang. Siapa tahu, Jungkook mungkin diam-diam telah berlatih memanggil rohroh dengan tongkat Diocletian, kemudian bertarung dengan mereka. Sesudah ekspedisi mereka di Split, kemungkinan apa pun takkan membuat Taehyung terkejut.

"Ada kabar dari raja?" tanya Jungkook.

Taehyung menggeleng. "Tiap hari, dia makin telat memanggilku."

"Kita harus pergi," ujar Jungkook. "Segera."

Taehyung berpendapat sama, tapi mendengar Jungkook berkata demikian menyebabkannya gelisah. "Kau merasakan sesuatu?"

"Jimin sudah dekat dengan Pintu Ajal," kata Jungkook. "Dia membutuhkan kita supaya bisa keluar hidup-hidup."

Taehyung memperhatikan bahwa Jungkook tidak menyebut-nyebut Seulgi. Dia memutuskan untuk tidak mengungkit soal itu. "Baiklah," kata Taehyung. "Tapi, kalau kita tidak bisa memperbaiki kapal-"

"Aku janji akan membimbing kalian ke Gerha Hades," ujar Jungkook. "Bagaimanapun caranya, akan kutepati janjiku."

"Kau tidak bisa menempuh perjalanan bayangan dengan kami semua. Padahal, untuk mencapai Pintu Ajal, kita semua mesti bekerja sama." Bola di ujung tongkat Diocletian berpendar ungu. Sepanjang minggu itu, tongkat tersebut sepertinya beresonansi dengan suasana hati Jungkook Joen. Taehyung tidak yakin itu adalah pertanda bagus.

"Kalau begitu, kau harus meyakinkan raja Angin Selatan agar mau menolong." Suara Jungkook penuh amarah. "Aku tidak datang jauh-jauh begini, mendapat malu ...."

Taehyung harus secara sadar berusaha agar tidak menggapai pedangnya. Kapan pun Jungkook marah, seluruh insting Taehyung menjeritkan, Bahaya! "Dengar, Jungkook," kata Taehyung, "aku selalu siap kalau kau ingin membicarakan, kau tahu, kejadian di Kroasia. Aku paham betapa sulitnya-"

"Kau tidak paham apa-apa."

"Takkan ada yang menghakimimu."

Mulut Jungkook meringis mencemooh. "Masa? Kalau benar begitu, baru pertama kali. Aku ini putra Hades, Taehyung. Dari cara orang-orang memperlakukanku, kesannya aku ini berlumur darah atau tinja. Aku tidak cocok berada di mana pun. Aku bahkan tidak berasal dari abad ini. Tapi, bukan cuma itu yang membuatku berbeda dengan orang lain. Celakanya, aku malah-malah-"

"Jungkook! Kau kan tidak punya pilihan. Memang dirimu seperti itu."

"Diriku memang seperti itu ...." Balkon bergetar. Lantai batu beriak, seperti hendak diterobos tulang yang merangsek ke permukaan. "Mudah bagimu berkata begitu. Kau anak kesayangan semua orang, putra Jupiter. Satu-satunya orang yang menerirna aku apa adanya cuma Eunbi dan dia sudah mati! Bukan aku yang memilih semua ini. Ayahku, perasaanku ...."

Taehyung memutar otak untuk mencari katakata yang tepat. Dia ingin berteman dengan Jungkook. Dia tahu hanya itulah caranya membantu anak itu. Tapi, sikap Jungkook tidak memudahkannya. Taehyung angkat tangan tanda menyerah. "Iya, oke. Tapi, Jungkook, kau sendiri yang memilih cara menjalani hidupmu. Kau ingin memercayai seseorang? Untuk itu, mungkin kau harus bersedia mengambil risiko dengan menerimaku sebagai temanmu dan sebaliknya, aku akan menerimamu. Lebih baik begitu daripada bersembunyi."

Lantai retak-retak di antara mereka. Patahan berdesis. Udara di sekeliling Jungkook berdenyar, memancarkan cahaya angker.

"Bersembunyi?" Suara Jungkook pelan nan menusuk. Jemari Taehyung sudah gatal, ingin menggapai pedang. Dia sudah bertemu banyak demigod seram, tapi dia mulai sadar bahwa Jungkook Joen-walaupun rupanya pucat dan tirus-barangkali lebih berbahaya daripada yang sanggup Taehyung tangani. Meski demikian, Taehyung terus menatap Jungkook lekat-lekat.

"Ya, bersembunyi. Kau melarikan diri dari kedua perkemahan. Kau takut sekali bakal ditolak sehingga kau bahkan tidak mau mencoba untuk bergaul. Mungkin sudah waktunya kau keluar dari bayang-bayang."

Tepat ketika ketegangan tak tertahankan lagi, Jungkook menundukkan pandangan. Tertutuplah retakan di lantai balkon. Cahaya angker meredup.

"Akan kutepati janjiku." Jungkook menegaskan, suaranya sekeras bisikan belaka. "Akan kuantar kalian ke Epirus. Akan kubantu kalian menutup Pintu Ajal. Kemudian, selesai sudah. Aku akan pergi-untuk selamanya."

Di belakang mereka, pintu ruang singgasana menjeblak terbuka berkat embusan angin panas. Suara tanpa tubuh berkata: Dewa Auster bersedia menemuimu sekarang.

Meski dia takut menyongsong pertemuan tersebut, Taehyung merasa lega. Pada saat itu, bersilat lidah dengan dewa angin sinting sepertinya lebih aman daripada berteman dengan putra Hades yang marah. Dia menoleh untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Jungkook, tapi Jungkook sudah menghilang-melebur kembali ke dalam kegelapan.

Adventures of the Demigods Season 2 #4 (Bangvelt)Where stories live. Discover now