BAB 58

128 31 0
                                    

TAEHYUNG POV

Ternyata, saat ini Adalah hari badai.

Di atas takhta, duduklah Auster, Angin Selatan versi Romawi. Dua hari sebelumnya, Taehyung sempat berurusan dengan Notus. Meskipun versi Yunani sang dewa bersifat menggebu-gebu dan gampang marah, setidaknya dia sigap. Sebaliknya, Auster agak kurang tanggap. Pilar-pilar marmer putih dan merah berjajar di ruang singgasana. Lantai batu paras kasar berasap di bawah kaki Taehyung. Uap memekatkan udara, seperti pemandian umum di Perkemahan Jupiter, hanya saja pemandian umum tidak dimeriahkan petir yang menyambar di langit-langit, menerangi ruangan itu dengan kilatannya yang memusingkan. Ventus selatan berputar-putar di sepenjuru koridor, mengepulkan debu merah dan udara teramat panas. Taehyung berjaga-jaga untuk menjauhi mereka.

Pada hari pertamanya di sini, tangan Taehyung tidak sengaja menyenggol salah satu roh angin. Saking banyaknya lepuhan yang dia derita, jemari Taehyung jadi mirip tentakel.

Di ujung ruangan tersebut terdapat singgasana paling janggal yg pernah Taehyung lihat-sebagian dari air, sebagian lagi dari api. Podium berupa api unggun. Kobaran api dan asap yang menjilat-jilat ke atas membentuk tempat duduk. Sandaran lengan mendesis kapan pun kelembapan bersinggungan dengan api. Kursi singgasana itu tampaknya kurang nyaman, tapi sang dewa Auster duduk santai di sana seperti hendak menonton siaran futbol sore-sore. Apabila berdiri tegak, tinggi sang dewa pasti sekitar tiga meter. Mahkota uap air bertengger di rambut putihnya yang gondrong. janggutnya terbuat dari awan yang senantiasa menyambarkan petir dan meneteskan hujan ke dada sang dewa, membasahi toganya yang sewarna pasir. Taehyung bertanya-tanya apakah janggut dari awan berpetir bisa dipangkas. Dia menduga pasti menyebalkan menghujani diri sendiri sepanjang waktu, tapi Auster sepertinya tidak peduli. Sang dewa mengingatkan Taehyung akan Sinterklas kebasahan, tapi bersifat pemalas alih-alih periang.

"Jadi ...." Suara sang dewa menggemuruh seperti bunyi datangnya badai. "Putra Jupiter kembali lagi." Auster mengesankan seolah Taehyung terlambat. Taehyung tergoda untuk mengingatkan dewa angin bodoh ini bahwa dia menghabiskan berjam-jam di luar tiap hari untuk menunggu panggilan, tetapi dia menahan diri dan justru mernbungkuk saja.

"Paduka," kata Taehyung. "Sudahkah Paduka Dewa menerima kabar tentang teman saya?"

"Teman?"

"Jung Hoseok " Taehyung berusaha tetap sabar. "Yang dibawa pergi oleh angin."

"Oh ya. Lebih tepatnya, tidak. Kami belum mendapat kabar. Dia tidak dibawa pergi oleh anginku. Tidak diragukan lagi yang demikian adalah perbuatan Boreas atau anak buahnya."

"Eh, benar. Memang begitu. Kami sudah tahu."

"Itulah satu-satunya alasan sehingga aku menerima kalian, tentu saja." Auster mengangkat alis mendekati mahkota uapnya. "Boreas mesti ditentang! Angin utara harus dipukul mundur!"

"Ya, Paduka. Tapi untuk menentang Boreas, perahu kami harus bisa meninggalkan pelabuhan."

"Kapal di pelabuhan!" Sang dewa bersandar ke belakang dan terkekeh-kekeh, hujan tumpah dari janggutnya. "Kau tahu kapan kali terakhir manusia fana datang ke pelabuhanku? Raja Libya ... namanya Psyollos. Dia menyalahkan aku atas angin panas yang melayukan tanaman pangannya. Percayakah kau?" Taehyung mengertakkan gigi. Dia sudah belajar dari pengalaman bahwa Auster tidak bisa didesak supaya terburu-buru. Selagi wujudnya sedang hujan begini, sang dewa berperangai lelet dan hangat serta suka melantur.

"Apakah benar Paduka Dewa melayukan tanaman itu?"

"Tentu saja!" Auster tersenyum ramah. "Tapi, salah sendiri! Siapa suruh Psyollos bercocok tanam di tepi Gurun Sahara? Si tolol itu meluncurkan seluruh armadanya untuk menyerangku. Dia bermaksud menghancurkan benteng pertahananku supaya angin selatan takkan bisa berembus lagi. Aku menghancurleburkan armadanya, tentu saja."

Adventures of the Demigods Season 2 #4 (Bangvelt)Onde histórias criam vida. Descubra agora