03| Tami

568 107 51
                                    

‣ Ruth B. • Dandelions

——

"Tam. Tami!"

"Eh, iya, apa?" suara Haura menyentakkanku dari lamunan.

"Punya siapa sih emang?"

Pertanyaan darinya serta-merta membuatku mengerutkan kening. Aku nggak menyimak apa yang sedari tadi dibicarakan oleh perempuan berkucir satu itu. "Apanya?"

Haura menghela napas. Ia menahan kesal mengetahui aku hanya mengabaikan ocehannya sejak tadi. "Lo pinjem payung punya siapa ini?"

Telunjuknya mengarah pada payung lipat biru di genggaman tangan kananku. Pemilik payung tersebutlah yang merupakan alasan mengapa aku kurang memperhatikan Haura.

Tadi saat aku mengantar Haura ke toilet pada jam kedua, kami berpapasan dengan tiga murid kelas duabelas. Di antaranya ada Haza, bersama kedua teman laki-lakinya yang sama-sama berpakaian olah raga menaiki tangga tepat saat kami sedang menuruninya. Mereka bertiga tertawa entah apa yang dibahas.

Sejujurnya, aku nggak tau harus bersikap bagaimana. Haruskah melengos saja pura-pura nggak kenal atau melempar senyum super canggung? Tapi kalau aku bersikap pura-pura nggak kenal, aku terlihat seperti manusia nggak tahu diri setelah ia berbaik hati dengan memayungi dan meminjamkan payungnya padaku. Karena kalau dipikir-pikir, seharusnya bisa saja Haza bersikap masa bodoh kepadaku, membiarkanku basah kuyup kehujanan dan besoknya terserang demam. Tapi, Haza nggak bersikap demikian. Ia memilih untuk menolong.

Jadi, kupikir melempar senyum sopan dan ramah adalah opsi yang tepat. Lagipula, mereka semua kakak kelas dan nggak ada salahnya bersikap ramah dan sopan. Walaupun nantinya senyumku super canggung.

Sayangnya, aku terlalu sibuk bergulat dengan pikiran sampai nggak sadar Haza dan teman-temannya sudah berjarak dekat denganku dan Haura. Belum sempat untuk melempar senyum, Haza melewatiku begitu saja. Benar-benar nggak melirik sedikitpun. Padahal di tangga itu hanya ada kami, jadi nggak mungkin dia nggak melihatku dan Haura.

Ya ..., memang sih, kami nggak saling kenal. Tapi, masa ia lupa dengan orang yang ia pinjami payungnya? Atau mungkin memang dia nggak menyadari eksistensiku di sekitarnya? Entahlah.

"Ditanya malah diem lagi. Capek gue ngomong sama lo." Haura membalikkan badannya berniat meninggalkanku.

Dengan sigap aku menahan pergelangannya. "Eh, lo mau ke mana? Temenin gue balikin payung dong, nanti juga tau ini payung punya siapa."

Haura melepas genggamanku dari pergelangannya. "Nggak ah, males gue dikacangin mulu dari tadi. Mending gue makan bakso di kantin. Bye! gue duluan keburu makin rame nanti."

Perempuan itu mengibaskan rambut panjangnya yang dikucir hingga ujungnya menampar kulit wajahku sedikit. Aku berdecak melihat tingkahnya.

"Tolong pesenin gue juga sekalian jangan lupa, Ra!" teriakku seiring langkah kaki Haura yang semakin menjauh kemudian berbelok menuruni tangga.

Sedangkan aku kembali meneruskan langkah di koridor lantai dua hingga sampai tujuanku. Sebuah pintu bercat abu-abu yang terbuka lebar dengan gantungan di atasnya bertuliskan XII IPS 2.

Seorang perempuan berkerudung yang kebetulan hendak keluar mendapatiku di depan pintu melongok ke dalam mencari-cari seseorang.

"Cari siapa, Dek?" tanya perempuan bernama Bunga Lily yang ku ketahui dari name tag di dada kanannya. Namanya unik.

Unrequited Feelings | ✓Where stories live. Discover now