01| Tami

1.6K 156 61
                                    

‣ Endah N RhesaWhen You Love Someone

——

Semua ini bermula di hari Selasa pada bulan November.

Aku nggak tau kalau bakal turun hujan deras dan sialnya aku nggak bawa payung. Ya ..., kalau tau juga pasti ku bawa. Lagipula, tadi pagi cuacanya juga cerah-cerah aja kok, jadi kupikir ngapain banget bawa-bawa payung? Berat-beratin tas aja. Kalau begini 'kan jadinya aku kayak kualat sama pepatah sedia payung sebelum hujan.

Dan yang lebih sial lagi ponselku mati, kehabisan daya. Aku jadi nggak bisa minta jemput apalagi pesan taksi ataupun ojek daring. Spontan, umpatan kecil lolos dari bibirku. Ah, makin runyam aja!

Kepalaku menoleh ke sekitar. Kondisi sekolah saat ini juga sudah lumayan sepi. Ada, sih, beberapa murid yang masih ngobrol ketawa-ketiwi entah baru selesai ekskul sambil menunggu hujan reda atau mereka memang malas pulang sejak hujan belum turun tadi.

Tanpa sadar aku mendengus kesal. Gara-gara kemarin nggak masuk karena nyeri haid, aku ketinggalan ulangan harian Fisika. Jadi, selepas bel pulang sekolah tadi pukul tiga, aku langsung ngacir ke ruang guru nemuin Bu Farida buat ikut ulangan susulan. Yang pada akhirnya harus pulang terlambat dan terjebak hujan.

Melirik jam berwarna baby brown di pergelangan kiriku, kontan membuatku berdecak. Sekarang sudah pukul lima lebih sepuluh menit. Kalau tunggu sampai hujan reda mungkin magrib nanti baru sampai rumah.

Aku nggak bisa menunggu selama itu.

Aku juga mau menikmati lezatnya surga dunia ini di rumah sambil makan Indomie soto pakai telur setengah matang, lalu movie streaming sambil minum cokelat panas dan bergelung di bawah selimut.

Kecil probabilitas meminjam payung pada beberapa murid yang masih di koridor bawah ini. Mereka tampak sama sepertiku, menunggu hujan reda dan sepertinya juga nggak membawa payung. Kalau begini nggak ada pilihan lagi. Menerobos hujan adalah jalan satu-satunya.

Aku menganggukkan kepala guna meyakinkan diri sendiri dengan modal nekat yang sudah terkumpul. Oke, hanya perlu lari untuk sampai ke halte depan sekolah.

Memeluk ransel hijau mint-ku yang sudah berpindah dari punggung ke dada, aku mengambil langkah dan hendak berlari.

Namun tepat saat itu, aku sama sekali nggak merasakan guyuran hujan menghantam tubuhku. Aku menoleh ke atas, ternyata sebuah payung berwarna biru menaungiku dan merasakan lengan seseorang yang menempel bahuku.

"Nekat banget lo nerobos ujan. Walaupun nggak deres, tapi ujannya tajem-tajem apa nggak sakit kena kepala sama kulit lo?"

Suara itu berada dekat denganku, terdengar serak seperti suara khas seseorang yang baru bangun tidur. Wangi segar frozen pear dan cedarwood yang menguar dari tubuhnya tercampur aroma hujan benar-benar memanjakan indra penciumanku. Apa parfum yang dikenakannya? Harumnya familier, seperti salah satu merek body spray dari drugstore yang sering dipakai Radya–sepupuku.

Lantas aku menoleh ke kiri. Melihat lelaki berpostur tinggi sekitar limabelas sentimeter dariku. Pandangan laki-laki itu lurus ke depan. Hanya bagian samping wajahnya yang dapatku lihat. Walau begitu efeknya sukses membuatku mengerjapkan mata nggak percaya.

Aku mengenal betul pemilik garis rahang tegas itu. Hidungnya yang mancung dari samping dan satu-dua bekas jerawat di pipinya. Rambutnya seperti biasa, tidak pernah ia tata sedemikian rupa menggunakan gel rambut—atau apapun itu namanya—agar terlihat rapi.

Unrequited Feelings | ✓Where stories live. Discover now