Yani-Kata Pengantar

168 33 13
                                    

"Bunda!"

Gadis berambut pirang itu berlari dari arah dapur mendekatiku, sebelum sampai dia melempar pisau yang sebelumnya dipegang. Matanya memancarkan ketakutan, wajah anakku terlihat kalut. "Ada apa, Nak?" Sontak aku panik.

Wulansari--anakku, gadis berumur empat belas tahun itu langsung mengambil ancang untuk memeluk. Dekapnya menguasai sebagian mobilitas tubuhku. "Bunda, aku takut. Q, v, n, f, r, y, n, y, h, z, r, a, n, g, n, c, x, h," kata Wulan sembari menangis.

Aku bingung. Akhir-akhir ini Wulan sering bertingkah aneh, sesekali dia mengeja huruf-huruf secara acak. Aku takut tingkah aneh gadis manis ini ada kaitan dengan penyerangan yang kerap terjadi terhadap beberapa pria yang kukenal.

"Lu kenapa teriak, Lan?" ucap Andri seraya berlari menghampiri kami. Aku melihat wajah Andri terlihat khawatir. "Kenapa, Lan?"

Seketika ruang tamu ini dipenuhi suasana aneh. Meski masih terlihat sama-meja persegi di tengah ruangan yang, di depannya terdapat televisi keluaran lama dengan tabung besar, di belakang dan di satu sisi samping terdapat kursi bermuatan dua orang. Sedang satu sisi samping dibiarkan kosong sebagai akses jalan, di sinilah Wulan tiba-tiba memelukku.

Tangis Wulan semakin kencang, nada khasnya memenuhi gendang telinga. Peluk pun semakin erat. Lagi-lagi dia mengucapkan kalimat yang sama. "Bunda, aku takut. Q, v, n, f, r, y, n, y, h, z, r, a, n, g, n, c, x, h."

Rasa bingungku semakin menjadi. Andri pun terlihat heran, laki-laki berumur sembilan belas tahun itu mengernyitkan dahi. "Semuanya akan baik-baik aja, Wulan. Gue akan melindungi keluarga ini. X, n, x, n, x, w, n, a, w, v," kata Andri.

Aku tidak mengetahui sejak kapan Andri juga menggunakan ejaan huruf acak, hal yang pasti adalah mereka berdua kini sering berperilaku aneh. "Sebenarnya ada apa, sih? Lalu, kalian berbicara apa dari tadi?" tanyaku menatap Wulan yang sudah berhenti menangis.

Tidak ada jawaban dari lisan kedua anakku. Wulan hanya merespon dengan melepaskan peluknya dan menatapku sejenak. Sungguh aku tidak tega melihat gadis semata wayang berlinang air mata. Tanganku bergerak menggenggam lembut pipi Wulan seraya berkata, "Ada masalah apa, Sayang?"

Mulut Wulan kulihat sedikit bergerak, seolah ragu untuk mengucap. Tidak lama kemudian, si gadis lugu itu memberanikan diri. "Aku ... aku mau main keluar rumah, Bun."

Senyumku terbentuk, sedikit perasaan lega menyertai. "Ada-ada aja kamu, Lan. Yaudah sana kalau mau main." Setidaknya, tidak terjadi hal buruk. Walau bagaimana pun, aku bertanggung jawab atas Wulan dan Andri setelah suamiku pergi meninggalkan kami.

Wulan bergegas pergi ke luar menyisakan aku dan Andri di ruang tamu. Aku melihat Andri masih mematung dengan dahi berkerut. "Andri."

"Iya, Bu?"

"Kalian berdua tadi mengeja apa, sih?"

Aku melihat Andri menyeringai, ekspresi yang ditunjukkan bukan melambangkan sesuatu yang baik. Aku merasa ada yang sedang Wulan dan Andri sembunyikan. "Bukan apa-apa, kok. Aku mau keluar juga, Bu."

"Yaudah, jagain adikmu, Dri."

Andri pergi ke luar. Sedang aku melanjutkan niat menuju kamar yang tadi tertunda karena Wulan. Letak pintu kamarku berdampingan dengan ruang tamu, sehingga tidak perlu memakan banyak langkah.

Memang banyak keanehan di keluarga ini semenjak suamiku memutuskan untuk pergi, salah satunya banyak tulisan yang terukir di peralatan rumah tangga berbahan kayu, termasuk di daun pintu yang gagangnya tengah kupegang.

Tulisan tersebut terdiri dari huruf acak yang sama sekali aku tidak mengerti. Hanya ada satu kalimat yang dapat kubaca, tetapi tidak dapat kupahami maknanya. Sebaris paragraf yang terukir di dipan.

Aku jongkok di samping dipan seraya tangan meraba tulisan 'Semua adalah satu, berada di ruang buntu. Cobalah menuju huruf ke sembilan, maju satu langkah lalu kembali. Bergerak maju tiga abjad, lalu melangkahlah maju satu lagi' yang bahkan aku tidak mengetahui sejak kapan terukir.

Selama beberapa menit aku bergeming di dalam kamar, berusaha memahami makna dari semua tulisan ini. Aku menatap ke arah luar jendela di sisi kamar, menghayati sinar mentari tengah hari yang menerobos masuk. Jujur, aku takut terjadi kejadian buruk menimpa Wulan dan Andri.

"Bu Yani," panggil seseorang, suara tenor itu berulang kali menyebut namaku.

"Iya, bentar, ya." Aku menebak suara itu milik penjual ayam yang biasa mengantarkan dagangannya ke sini.

Tubuhku beranjak menuju laci, mencari secarik kertas. "Iya sebentar, Pak Dani! Udah ketemu kertasnya, nih!"

Namun, kala aku bersiap untuk keluar ....

'KATA PENGANTAI-'

Mom AloneWhere stories live. Discover now