Yani-Rumusan Masalah

38 17 0
                                    

Gadis yang berada di depanku terlihat gelap karena posisinya membelakangi sumber cahaya utama. Dia masih menatapku dengan tatapan ketakutan. Wajah Wulan begitu sayu. Bibir terbuka dan tertutup bersamaan dengan suara isak, napas pun ditarik dalam berkali-kali.

Tangan gadis semata wayangku masih saja mengepal gemetar di atas lutut yang tidak tertutup celana pendek. Keringat pun masih saja membasahi sekujur tubuh gadis lugu ini, termasuk kaos putih bermotif kepala kucing.

"Sa-saat itu ...." Wulan berusaha berbicara, meski kutahu baginya sulit bak terompet yang tersumbat.

"Apa, Nak?" tanyaku dengan nada aneh-rasa terkejut akibat melihat darah Mumun membuat aku tidak dapat mendefinisikan intonasiku.

Wulan masih bersikeras untuk berbicara, tetapi kulihat tangisnya lebih memenangkan raga.

"Bapak itu ... kakinya berdarah kena paku!"

Hentakan dahsyat menyerang pikiranku. Kala itu Angga selalu datang diam-diam, perihal serangan Angga hanya aku yang tahu. "Siapa, Nak? Siapa yang kakinya berdarah?" tanyaku mencoba agar mendapat penjelasan yang lebih rinci.

"20 Februari 2018. Padahal udah aku peringatkan untuk pergi, salah dia sendiri, jadi kena paku." Gadis mungil di depanku masih sesenggukan.

Pikiran semakin dibuat bingung. Aku bahkan tidak mengingat dengan jelas tanggal kejadian itu, lalu peringatan apa yang Wulan maksud? Bagaimana anak gadisku bisa tahu perihal serangan Angga? "Coba cerita lebih jelas lagi, Nak," pintaku.

Wulan menggeleng, tangannya yang putih dan sedikit gempal menutupi wajah, dapat kudengar napas yang berat keluar masuk di antara celah telapak tangan. Kala membuka wajah Wulan berbicara, "Kong Rian jatoh karena ditendang."

Alisku serasa mengernyit. "Apa maksudmu, Wulan?"

Wulan tidak menjawab, hanya napas sesenggukan yang dapat kudengar dari gadis berkulit putih bak susu. Aku memalingkan wajah ke arah kanan---dinding tanpa jendela, jujur ini membingungkan. Informasi yang kudapat tidak mengatakan seperti yang Wulan ucap, waktu itu semua orang sepakat Rian tewas karena kecelakaan tunggal, memang tidak ada yang tahu penyebabnya.

Aku kembali menatap anak semata wayang, air di mata bak kaca yang melapisi lingkaran hitam di atas putih memancarkan isyarat takut. Mulut Wulan kembali terbuka dan menutup dengan cepat seakan ingin mengungkapkan hal lain.

"Om Bambang gak diganggu setan, dia diserang."

Perihal Bambang, aku lupa kapan dia mengadu melihat ancaman dari rumah ini---setelah atau sebelum serangan Angga. Dahulu, pria jangkung dan mancung itu sering kali hilir mudik di depan rumah dengan tatapan menjijikkan ke arahku. Sesekali kaki jenjangnya berhenti di depan pagar seraya bersiul tatkala aku ada di halaman. Namun, tidak lama kemudian aku mendapat kabar dia sering melihat makhluk halus.

Cerita yang kudapat dari tetangga si Jangkung itu sering kali melihat tulisan darah, penampakan sosok berwarna hitam, dan pisau yang terlempar begitu saja. Dia juga mendapat serangan berupa lemparan batu. Namun, semua kesaksian itu tidak dipercaya oleh siapa pun karena tidak ada saksi lain, justru pengakuannya dianggap sebagai cara agar hanya dia yang dapat mendekatiku.

Aku terus memandangi wajah anakku dengan telinga fokus menyimak setiap informasi. "Diserang oleh siapa?" tanyaku penasaran.

Tubuh Wulan menegak bersamaan dengan napas yang ditarik panjang, disusul dengan embusan dari hidung yang anginnya terasa menabrak wajahku. Lalu, dia berkata, "Semua adalah satu, berada di ruang buntu. Cobalah menuju huruf ke sembilan, maju satu langkah lalu kembali. Bergerak maju tiga abjad, lalu melangkahlah maju satu lagi."

Aku sempat bergeming beberapa saat, kalimat yang Wulan ucap terasa tidak asing di otakku. "Apa maksudnya, Nak?" tanyaku.

Wulan kembali menarik napas panjang, disusul lisan mengucap, "Q, v, n, v, o, y, v, f."

"Maksud kamu apa, Nak? Tolong kasih tau arti dari huruf-huruf yang kamu eja! Siapa yang membunuh Kong Rian dan menyerang laki-laki lainnya?" ucapku seraya sedikit mengguncang lengan mungil Wulan.

Lisan Wulan tidak merespon. Dia memejamkan mata seraya menggelengkan kepala, tangannya mengepal sembari bergerak memukul paha berbalut celana pendek berwarna merah muda.

"Cukup Wulan, kamu ga perlu jawab." Aku menunduk, tanpa sadar pipi terasa basah dialiri air yang berasal dari mata. Melihat Wulan seperti ini membuat jiwa terguncang, aku tahu Wulan tengah dalam situasi sulit, meski aku tidak tahu dalam situasi seperti apa.

Selama beberapa menit aku menangis di paha kanan Wulan, Tangan kiriku menggengam erat lengan sofa, sedang tangan kananku menopang tubuh guna tidak memberatkan paha Wulan. "Masalah apa yang kita hadapi sekarang, sih?" gumamku. Pandanganku mengarah ke kiri, tepatnya ke lantai dekat pintu rumah.

"Bunda butuh penjelasan," gumamku lagi dengan intonasi lebih tinggi.

Bayangan hitam muncul perlahan memasuki rumah, disusul kaki telanjang seseorang berkulit cokelat. Langkahnya berhenti di antara dua tiang pintu menghalangi sebagian cahaya matahari yang masuk. Aku menaikkan sudut pandang sedikit demi sedikit, terlihat Andri tengah berdiri dengan celana pendek berbahan denim dengan kaos berwarna hitam.

"Sayatan di leher Mumun berukuran kecil, kayaknya pelaku memotong leher kucing itu dengan cepat. Terus, pisaunya langsung ditaruh di samping Mumun, biar gak ada jejak darah," kata Andri.

Kepalaku beranjak, menatap wajah anak laki-laki itu, tetapi tidak merespon perkataannya. Napasku berat dan dapat terasa debar jantung di dalam tulang rusuk. Berkali-kali aku berusaha menarik napas panjang guna menenangkan diri, tetapi apa daya? Peristiwa ini bak trauma yang tengah menguasai sejarah dan masa kini.

"Ibu, mayat Mumun aku kubur di halaman belakang, ya?" tanya Andri seraya menatapku, sedangkan aku hanya mengangguk ringan.

Aku lihat Andri pergi bersamaan dengan cahaya matahari yang kembali leluasa masuk. Aku mengubah sudut pandang ke arah Wulan, terlihat dia masih sibuk sesenggukkan, kelopak matanya berkali-kali dipejamkan dengan erat.

Terbukti dari kematian Mumun, bahwa daftar yang aku temukan beberapa menit lalu di kamar adalah sekumpulan nama yang telah dan akan menjadi target penyerangan. Penjelasan dari Wulan perihal beberapa kasus bisa aku gunakan guna mengungkap serangkaian rumusan masalah ini, meski terawang belum cukup jelas.

"Om itu juga, lemparan batu, ban bocor, dan tulisan di motor agar menjauhi Bunda. Itu perbuatan Iblis," ucap Wulan terbata-bata.

Dengan ini kisah tentang penyerangan nama yang ada di daftar telah Wulan ceritakan. 'Om' yang anakku maksud mungkin adalah Budi atau si 'tanpa nama, lupa' yang berada di dalam daftar. "Om siapa?" tanyaku guna mendapat keterangan yang lebih jelas, intonasi yang keluar dari mulutku hampir tidak jelas.

"A-aku, lupa namanya."

Mom AloneWhere stories live. Discover now