Yani-Isi

33 14 0
                                    

Sekarang adalah hari dari segala kemungkinan dapat terjadi, ketenangan di kemudian hari atau berujung kematian. Satu hal yang pasti, aku tengah mempertaruhkan banyak nyawa, rencana yang aku buat terbilang berisiko. Entah, wacana ini baik atau justru menjadi malapetaka. Sempat aku sesali mengingat tetangga sebaik Yuyu pun akan menjadi umpan.

Aku duduk membelakangi jendela di ruang tamu setelah lelah seharian memasak dan menyaji makanan untuk para tamu undangan. Meja yang ada dihadapan penuh dengan mangkuk berisi sayur Gabus Pucung, bakul nasi, dan sebagai hidangan penutup ada kue Sagon dan minuman berperisa jeruk. Aku jarang membuat makanan untuk acara perayaan, tetapi setidaknya ini cukup.

Tanganku gemetar, hatiku dipenuhi perasaan kalut dan takut, hanya ada prasangka buruk di dalam kepala. Sesekali aku memejamkan erat kedua kelopak mata, seketika menghitam disusul khayalan mengerikan.

"Minum lagi, Bu." Sedari tadi Andri terus berusaha menenangkanku. "Ibu akan tau identitas pelaku itu," kata Andri.

Aku meraih gelas yang Andri todongkan. Tiga gelas air berhasil melegakan tenggorokan, tetapi masih tidak dapat menenangkan pikiran. Aku masih berpikir bahwa strategi ini adalah kesalahan, meski kemarin Andri sudah menjelaskan kondisinya. Niat awalku adalah melapor ke polisi, tetapi Andri bilang kedatangan polisi justru akan membuat nyawa keluarga ini terancam, mengingat belum tentu dalam waktu dekat para petugas berwenang itu menangkap pelaku. Pada akhirnya kami sepakat untuk melaksanakan acara makan-makan guna menjebak pelaku, jumlah laki-laki yang diundang seharusnya cukup untuk melumpuhkan si penyerang.

Wulan yang sedari tadi berdiri di samping Andri terus memandangiku dengan tatapan aneh. Wajahnya yang pucat karena sakit terlihat semakin memburuk, bibir merah muda tidak lagi merona---tertutup warna putih kelabu.

"Tenang, Wulan. Semoga kita bisa menangkap pelaku, setelah ini keluarga kita akan tenang," kataku menyemangati Wulan, meski suaraku sendiri tidak terdengar bergairah.

"Q, v, n, n, q, n, q, v, f, v, a, v." Gadis lugu itu menatapku dengan serius.

"Q, v, n, z! A, l, n, j, n, z, h, o, v, f, n, q, n, y, n, z, o, n, u, n, l, n!" ketus Andri dengan sederet huruf yang sama sekali tidak aku mengerti.

"Apa yang sebenarnya kalian sembunyikan dari Ibu?"

Kedua anak itu tidak menjawab, mereka saling menatap seakan memberi isyarat. Alih-alih memberi penjelasan, Andri justru menuangkan segelas air lagi. "Ini, Bu. Minum lagi. Ibu jangan khawatir, semuanya berjalan dengan baik."

"Apanya yang berjalan dengan baik?"

"Bu Yuyu udah dateng, Bu," kata Andri seraya menunjuk ke arah luar, aku pun menoleh ke belakang.

Wanita cantik berwajah bulat tengah berjalan mendekat, samar kulihat dia menggunakan gaun merah. "Permisi, Yani!" teriak Yuyu kala sampai di teras rumah.

"Wulan, kamu masuk kamar cepet. Kunci pintu sama jendela, tutup gorden. Pokoknya jangan keluar kalau ada suara aneh di luar." Aku menggenggam lembut kedua lengan Wulan. Anak lugu itu segera menuruti perintah dariku.

"Ponsel Ibu gak boleh sampe lepas dari tangan, kalau ada kejadian buruk Ibu bisa segera nelpon polisi. Kamu siap-siap, Ndri. Kalau bisa pegang pisau dapur buat jaga-jaga kalau pelaku datang." Mendengar perkataanku Andri hanya mengangguk. Jelas sekali raut wajah anak laki-lakiku menampilkan rasa kekhawatiran.

Aku berjalan ke luar menyambut Yuyu. Rasa kecewa timbul karena hanya Yuyu yang datang, justru yang kuinginkan kehadirannya adalah para laki-laki guna menyumbangkan tenaga kala pelaku datang. "Masuk, Mba." Aku tersenyum ramah.

Rias wajah Yuyu terlihat sederhana, tetapi tidak menghilangkan pesonanya sedikit pun. Justru, membuat tetanggaku itu semakin cantik. "Aduh, Mba Yuyu segala dandan rapi banget. Padahal cuma acara kecil-kecilan," tuturku merendah.

"Bagen, Yan. Jarang-jarang kamu ngadain acara." Yuyu menunjuk ke dalam, tepatnya ke arah Andri. "Ada si ganteng, udah pulang kerja emang?"

Kulihat Andri tersenyum, baju biru muda yang dia kenakan terlihat kontras dengan kulit yang kecokelatan. "Lagi istirahat, Mba. Nanti kurang sepuluh menit, aku lari ke perusahaan. Hari penting ga boleh saya lewatkan, dong." Sekarang memang waktu istirahat, dia biasa pulang untuk makan siang dan bergegas kembali ke perusahaan kala jam menunjukkan pukul satu kurang sepuluh menit.

Yuyu melepas sandal hak dan berjalan melalui teras. Kedatangan wanita berperangai ramah ini pada pukul dua belas lewat lima belas dan aku sambut dengan baik. Dia duduk di kursi seraya memangku setoples kue sagon. "Enak makanan buatan kamu, Yan."

Aku tersenyum, tetapi tidak terlalu mementingkan perkataan Yuyu. Fokusku masih ke arah luar memandang gerbang yang terbuka, dalam hati terus berharap agar para tamu undangan laki-laki segera datang.

"Bapak-bapaknya ga ada yang dateng, Ndri," bisikku. Jujur aku cemas jika hanya Yuyu yang ada di rumah ini.

"Sebentar lagi, Bu. Semoga aja mereka cepet dateng. Aku juga ga punya waktu banyak. Nih, Ibu minum lagi dulu, jangan terlalu cemas."

 Tidak lama kemudian, rombongan laki-laki datang bersamaan motor yang mereka kendarai. Pukul dua belas lewat dua puluh limat kedatangan mereka meramaikan rumah ini.

"Nyuwun sewu, aku wis nunggu Jaka dulu," kata Dani seraya meraih lauk setelah aku persilakan makan.

"Mba Yani udah mempersilakan makan saja, ga ada sepatah kata pembukaan dulu gitu?" tanya Herlonggo---pria bertubuh kekar, tetapi tidak terlalu tinggi. Perawakannya menyeramkan bak preman, mungkin karena dia memang seorang preman yang seharian bulak-balik menagih uang 'keamanan' di pasar.  Tadi kulihat dia datang memboncengi Rudi---kaki tangan Herlonggo.

Rudi duduk bersebelahan dengan Tuannya di kursi samping. Tidak seperti Herlonggo, penampilan Rudi justru terlihat nahas, tubuhnya kurus terlapis baju kemeja dan celana denim. Bahkan, pakaian yang kupikir berukuran kecil pun terlihat longgar di bahan Rudi.

"He he, udah makan aja. Aku ga biasa ngadain acara, jadi ga tau kalimat pembuka."

Rudi, Herlonggo, dan Jaka sesekali kutangkap basah tengah menatapku, sebuah perilaku menjijikkan yang jelas membuatku merasa tidak nyaman. "Aku ke kamar mandi dulu," ucapku. Setidaknya dengan ini aku bisa terbebas dari mata sialan para tokek belang, lagi pula aku memang ingin buang air kecil. "Makan yang banyak, ya."

"Ikut," canda Herlonggo disusul tawa dari para tamu lainnya.

"Ibu tenang aja, aku ga akan jauh-jauh dari pisau, biar pas pelaku datang aku udah bersiap," kata Andri kala aku akan berjalan ke kamar mandi.

Kakiku terasa berat, bahkan lorong rumah yang pendek pun terasa jauh. Rasa takut akan kehadiran pelaku seakan mengikatkan kakiku ke bola besi raksasa. Sekarang yang bisa aku lakukan hanyalah berharap Herlonggo dapat melawan si pelaku jika memang benar datang.

"Ini Pak Dani, kue sagonnya enak, loh. Andriansyah, sini duduk dipangkuan tante, dari tadi kamu berdiri terus sama ibu kamu." Suara para tamu masih dapat kudengar dari lorong.

"He he, saya pengen duduk, tapi kan kursinya ga muat. Ga apa saya berdiri aja, kan tamu adalah raja."

"Pangku gue aja Tante Yuyu," canda Herlonggo, tetapi kudengar bersamaan dengan nada keseriusan.

"Yo wis, mangan dulu baru ngomong."

Aku sampai di depan kamar mandi, lalu bergegas membuka daun pinntu yang terbuka ke arah luar, tentunya setelah masuk aku tutup kembali. Suara tembakan air terdengar nyaring kala menabrak dinding toilet. "Berarti, hanya Jumadi yang memenuhi undangan dari pelaku," gumamku.

Tidak lama kemudian, aku mendengar suara hantaman benda keras di luar kamar mandi. "Siapa di situ?"

Mom AloneWhere stories live. Discover now