Yani-Latar Belakang

42 20 4
                                    

Aku bergegas menghampiri Wulan di halaman belakang mengingat hari semakin siang dan sudah masuk jam makan, sekantong ayam potong dan secarik kertas aku letakkan di meja tatkala melewati ruang tamu. Kulihat Pak Dani tengah mengaktifkan motor, bersiap untuk pergi meninggalkan rumah ini.

Langkahku menyusuri sisi rumah bagian luar, hamparan rumput tipis dan beberapa tanaman hias mempercantik pekarangan. Dulu di halaman ini aku dan Abdul sering mengurus tanaman bersama pada hari libur. Setiap aku melewati sisi samping rumah ini, perasaan rindu selalu terngiang.

Aku sampai di belakang rumah. Kuamati dari kejauhan, Wulan tengah berdiri menatap ke arah kamar Andri. Perlahan aku menghampiri gadis berambut pirang itu. Tubuhnya gemetar, keringat terus berkucuran. Matanya seperti melambangkan kekosongan. "Kamu kenapa lagi, Wulan?" tanyaku dengan nada heran.

Aku melihat ada pisau di tanah dekat kaki Wulan. Lekas aku membungkuk dan mengambil pisau tersebut. Kala tubuh beranjak, sudut pandang mataku mengarah ke kamar Andri. Ada sesuatu berwarna hitam dan merah di bawah jendela, benda yang mungkin sedari tadi Wulan tatap. "Apa itu, Wulan?" Mataku yang sedikit rabun membuat sulit melihat benda tersebut dengan jelas.

Rasa penasaranku membawa kaki menghampiri benda itu, semakin dekat dan terus mendekat. Perlahan teksturnya dapat kulihat, wajah berbulu dan mata melotot. Sontak aku berteriak. Tubuh seketika melemas setelah menatap darah makhluk malang itu menggenang. "Mu-Mumun."

Kucing yang baru saja aku anggap sebagai keluarga tengah terbaring tidak bernyawa, di leher terdapat bekas sayatan yang menjadi tempat darah mengalir. Merah segar dari warna darah menjadi tanda bahwa serangan terhadap Mumun belum lama dilakukan.

Aku membalikkan tubuh dan menghampiri Wulan seraya mengacungkan mata pisau. Gadis lugu itu masih bergeming menatap mayat Mumun bahkan ketika aku sudah berada di depannya.

"Wulan!"

Mata anak itu menatapku dengan rasa takut. "A-apa, Bun?"

"Bagaimana bisa kamu memotong leher Mumun tanpa menyisakan jejak darah di pisau ini?" Nada bicaraku merendah karena amarah teredam rasa bingung.

Gadis lugu itu merespon dengan menggelengkan kepala, matanya tiba-tiba berkaca dan perlahan berlinang air mata. Aku menatap kulit Wulan semakin merah, tangan yang gemetar semakin jelas terlihat. Hal tersebut lagi-lagi membuatku tidak berdaya.

Aku memeluk tubuh Wulan. Dapat kurasakan suhu tubuhnya memanas, keringat Wulan pun ikut membanjiri tubuhku. "Ga apa-apa, Wulan. Kamu bisa cerita nanti," ujarku dengan nada begitu lembut.

"Ibu! Jangan!" teriak seseorang dari sisi lain pekarangan. Laki-laki itu tergesa-gesa berlari ke arahku. "Aku kira Ibu mau nusuk Wulan," katanya bersamaan dengan napas terengah-engah.

Aku hanya bergeming menatap anak laki-lakiku yang terlihat begitu khawatir. Dia membungkuk seraya memegang lutut.

"Andri tadi denger Ibu teriak, ada apa, Bu?"

Aku menggeleng, tangan kiri melepas peluk dan menunjuk ke arah belakang. Seketika tubuhku kembali melemas tatkala mengingat darah yang keluar dari robekan di leher Mumun. Tangan kanan yang tengah memeluk Wulan seakan kehilangan daya, pisau pun terjatuh dari genggamanku.

Aku melihat Andri menoleh dan berjalan mungkin ke arah mayat Mumun. Namun, aku tidak memerhatikan apa yang Andri lakukan, karena setelah itu aku mengajak Wulan ke dalam rumah.

Sesampainya di ruang tamu, aku meminta Wulan untuk duduk. Tubuh lemasku memaksakan diri ke dapur mengambil air minum, lalu kembali untuk memberikannya ke Wulan. Ingin aku berkata 'Wulan, Bunda takut', tetapi tidak, tentu kalimat itu hanya akan memperburuk keadaan Wulan.

Aku berlutut di hadapan Wulan. "Semuanya akan baik-baik saja, Anak Bunda." Meski aku tahu, kejadian barusan bukanlah sesuatu yang baik.

Perihal kematian Mumun membuktikan bahwa daftar yang tadi kupegang memang berisi nama target penyerangan dan salah satunya baru saja terjadi di latar belakang rumah ini.

Mom AloneWhere stories live. Discover now