Yani-Penutup

21 2 4
                                    

Bagian ke-7 dari sudut pandang Yani. Cerita ini belum tamat karena akan dilanjutkan dengan sudut pandang Andri dan Wulan. Selamat menikmati.

Semua telah berakhir, harapan semata hanya mimpi yang mengambang di atas dimensi tidak berdasar. Acara makan-makan beberapa hari yang lalu menjadi malapetaka, hal yang paling tidak terduga adalah ternyata anakku sendiri yang menjadi pelaku penyerangan. Kini aku harus berhadapan dengan meja hijau. Bersalah atau tidak, nasibku telah ditentukan, yaitu penjara atau hukuman mati. Setelah kejadian itu, pihak polisi mengatakan bahwa segala bukti memberatkan aku sebagai tersangka utama. Sedikit pun aku tidak ingin mengingat peristiwa kala itu ....

Detik-detik mengerikan terjadi usai aku buang air kecil. Suara pukulan dari luar kamar mandi membuat aku cemas, bukan hanya itu, tidak lama kemudian Yuyu menjerit. Lengkingan khas wanita dari mulut tetanggaku begitu nyaring, tetapi seakan tertahan karena kehabisan tenaga, lalu disusul dengan erangan penuh penderitaan.

Aku panik dan bergegas hendak keluar, tetapi sial pintu kamar mandi sulit dibuka. Sesekali lisanku berteriak, "Tolong buka pintunya!" Pintu kamar mandi ini hanya memiliki satu kunci di bagian dalam, jika sulit di dorong ada kemungkinan seseorang memblokade dari luar. Percuma saja aku mendorong daun pintu berbahan PVC ini. Lenganku yang mengepal tiba-tiba pasrah---menempel di daun pintu, kepala tertunduk dengan kening bersandar di antara kedua lengan. "Apa yang sebenarnya terjadi?"

Tidak lama setelah itu, kudengar suara jeritan laki-laki dan sepatah kata yang membuatku bingung. "Ga! Jangan Wulan! Jangan mendekat!" Suaranya semakin keras. "Menjauh!"

"Andri?" gumamku keheranan. "Apa yang dilakukan Wulan?"

Semangatku seketika menggebu. "Andri! Wulan! Ada apa?!" Aku mengambil gayung, lalu memukul daun pintu berharap dapat membuat lubang. Garis retakan mulai muncul, tetapi itu belum cukup. Aku mundur satu langkah dan mengambil ancang siap menendang. Tendangan keras melayang, lubang pun terbentuk. Namun, kakiku terjerambab di antara sisi lubang pintu berbentuk taring. PVC tajam ini seakan mencengkram daging---merobek kulit. Aku menarik kaki yang terjebak perlahan, begitu terasa setiap detik kala daging dan kulit bergesekan dengan sisi lubang.

Sedikit demi sedikit aku mematahkan PVC, sebagian pecahan daun pintu menusuk telapak tangan. Aku tidak memedulikan rasa sakit di setiap mili pori-pori yang terbuka dan dengan bebas mengeluarkan darah. Kurang-lebih dua puluh lima sentimeter aku berhasil membentuk lubang, tinggi dari tanah sekitar tiga puluh sentimeter.

Aku merangkak dan menerobos melewati lubang, lagi-lagi pecahan daun pintu merobek kulit. Gerakanku sempat terhenti kala salah satu pecahan dinding pintu berbentuk taring menggesek perut, memang hanya sekadar menggores, tetapi aku yakin menimbulkan bekas luka yang menjalar dari bawah dada hingga pusar. Untung saja pintu ini terbuat dari PVC, bukan tripleks atau sebagainya.

Langkahku bergerak terburu-buru ke arah sumber suara, tangan meraih ponsel yang sedari tadi ada di dalam kantong celana. Suara Andri kembali kudengar, dia menyebut nama Wulan dengan nada memelas seolah sedang memohon. Debar jantung terus meningkat, meski jarak tempuh antar kamar mandi dan ruang tamu singkat, kaki tetap terasa berat.

"Tolong, jangan Wulan." Perkataan yang kudengar dari mulut Andri ketika sampai di ruang tamu.

Aku tidak percaya dengan pemandangan di ruangan berluas empat kali lima meter ini. Andri tengah terduduk tidak berdaya di hadapan Wulan yang sedang memegang pisau berlumuran darah. Bukan hanya itu, seluruh tamu undangan kudapatkan tewas dengan masing-masing luka dan mulut mengeluarkan busa.

Tubuhku melemas, ponsel yang kugenggam tiba-tiba terlepas dan terjatuh, disusul badan yang sontak berlutut karena tidak berdaya. "A-apa? Yang sebenarnya terjadi?"

Setelah kejadian itu, di sinilah aku sekarang, dipandang hina majelis hukum dan para tamu persidangan. Jika kursi dapat berbicara, mungkin dia pun enggan aku duduki.

Aku ingin sampaikan terima kasih untuk anakku yang telah mengorbankan nyawa dan melindungi nyawa yang sebenarnya tidak berguna dipertahankan, cepat atau lama aku pun akan mati, karena hukuman mati atau tekanan batin.

Dan, untuk anakku yang menjadi persetan sebenarnya, semoga kamu tetap diberi ketenangan di sisi-Nya. Ibu memohon maaf, karena telah melahirkan iblis sepertimu.

Mom AloneWhere stories live. Discover now