Andri-Kata Pengantar

15 1 0
                                    

"Wulan nulis apa lagi?" tanyaku mengejutkan Wulan yang tengah berjongkok seraya mengukir kusen jendela dapur.

Bola mata adikku menggambarkan kebimbangan. Dia memalingkan wajah dan menunduk, sesekali menatapku dengan ekspresi bingung.

"Udah dibilangin, jangan main piso!" Aku menghampiri gadis itu.

Sontak dia berlari keluar dapur, melewatiku yang sedang berdiri di antara tiang pintu. Gadis itu semakin liar, tindakannya semakin tidak kuduga.

Selang beberapa detik, aku mendengar teriakan Wulan dari arah luar. Aku takut sikap buruk adikku muncul karena rusaknya mental akibat penyerangan yang terjadi di keluarga ini.

Aku bergegas menghampiri sumber suara melengking dari mulut gadis muda. Kala aku sampai, adikku tengah menangis dalam dekap ibu, sedangkan ibu hanya bergeming kebingungan.

Jelas terpancar rasa heran dari mata ibu yang menatap serius, bola matanya bergerak tanpa arah seakan sedang mencari sesuatu yang aneh, celah bibir sedikit terbuka semakin menunjukkan ekspresi ketidakpahaman. Kewaspadaan juga dapat aku rasakan dari wajah ibu.

"Bunda! Aku takut! Q, v, n, f, r, y, n, y, h, z, r, a, n, g, n, c, x, h," kata adikku.

Huruf acak yang gadis itu sebut adalah sandi AN. Aku pernah melihat buku harian Wulan, sejak itu aku mulai sadar bahwa yang sering dia ukir adalah sebuah sandi Pramuka. Jika diartikan berbunyi 'dia selalu menatapku'.

Kurasa dahiku mengernyit. Sejauh ini Wulan hanya mengukir kode-kode, kini dia berani mengucapnya. Satu hal yang kutakutkan adalah gadis itu mengungkap identitas pelaku, jika terjadi jelas akan berdampak buruk.

Aku dan Wulan mengetahui si Persetan di balik ini semua, bagiku dia sungguh mengerikan. Sialnya, aku dan adikku tidak diizinkan untuk membuka mulut karena nyawa keluarga inilah taruhannya.

"Gue akan melindungi keluarga ini," ucapku disusul sandi yang sama, "x, n, x, n, x, w, n, a, w, v." Kalimat yang memiliki arti 'Kakak berjanji'.

Seketika suasana ruang tamu menjadi hening, Wulan menghentikan tangis tatkala mendengar perkataanku. Samar kulihat gadis itu meregangkan pelukan.

"Kalian berdua berbicara apa?" tanya Ibu memecah keheningan.

Mata ibuku berulang kali mengubah arah pandang---ke aku dan Wulan---seraya memancarkan pengharapan agar mendapat penjelasan. Namun, tentu saja aku lebih memilih diam, begitu pun Wulan yang justru merespon dengan melepas pelukan.

"A-aku mau main keluar, Bun. Tapi, takut."

Aku melihat ekspresi ibu sedikit menenang dengan senyuman menghiasi wajah. Meski sudah berumur dan sedikit berkeriput, wajah ibu masih terlihat manis. "Ada-ada aja kamu, Lan. Yaudah sana kalau mau main, nanti ditemenin Abang," kata ibu seraya mengelus lembut kepala gadis cengeng itu.

Wulan keluar meninggalkan kami di ruang tamu. Wajah ibuku masih terlihat heran dengan mata terus melambangkan ketidakmengertian, dengan daster bermotif batik dia terus menatapku.

"Kalian tadi mengeja apa?" tanya Bu Yani---wanita dengan hidung mancung yang merupakan ibuku.

Aku menyeringai mendengar pertanyaan dari ibu seraya tangan kanan menggaruk kepala. Sebisa mungkin aku harus menyembunyikan segala kekhawatiranku tentang keluarga ini. "Bukan apa-apa, Bu."

Dahi ibu mengernyit, ujung alis bagian dalamnya menukik mengungkapkan ketidakpercayaan. Sorot mata wanita berkulit putih itu seakan memancarkan kecurigaan. "Yaudah, jagain adikmu, Dri," kata ibu seraya memalingkan sudut pandang---bola mata melirik ke arah kiri atas---seperti tengah berpikir.

"Iya, Bu," jawabku sedikit gugup sembari bergegas pergi.

Aku berhenti kala sampai di teras, lalu menoleh ke belakang menatap ibu yang sedang membuka pintu rumah. Aku menarik napas panjang berusaha untuk menenangkan diri, mengingat kejadian tadi pagi membuatku cemas jika sampai ibu menyadari tulisan yang baru muncul di pintu bagian dalam kamar.

Sekitar pukul setengah tujuh tadi, aku mendengar suara seperti benda yang sedang di gesek berasal dari kamar ibu. Benar saja, Wulan tengah terperangah setelah pintu kubuka tiba-tiba. Dia terduduk sembari memandangku dengan rasa takut. Lalu, tangan gadis itu sigap mengambil pisau yang sepertinya terjatuh di belakang pintu.

"Lu ngapain, Lan?" tanyaku seraya melangkah maju perlahan.

Wajah gadis itu semakin kalut, dia merayap mundur mengikuti gerak irama kakiku. "Gak." Perkataan Wulan seakan tertahan dan sulit untuk keluar.

Aku menatap ke seisi kamar, sungguh mengejutkan karena banyaknya ukiran di kamar ibu. Kukira Wulan tidak akan menulis kode-kode ini di kamar ibu. "Lu nulis kata-kata ga jelas itu di kamar ibu juga?"

Lagi-lagi Wulan meresponku dengan tatapan aneh, kali ini dia bergeming. Pandangan matanya pindah ke arah bawah bersamaan dengan kepala tertunduk. Jari-jari tangan bergerak tidak beraturan, terlihat sangat jelas bahwa gadis itu tengah dalam kecemasan yang luar biasa.

Aku menggerakkan daun pintu. Benar saja, suara gesekkan tadi muncul ketika Wulan mengukir di pintu bagian dalam. Terpampang dengan jelas kalimat 'KATA PENGANTAR' yang belum ditulis dengan sempurna.

"Lu mau membahayakan keluarga ini? Hah!" ketusku, tetapi dengan nada standar karena takut di dengar orang lain, "apa maksudnya ini, Wulan?" Aku kembali melangkah maju perlahan.

Kepala Wulan menggeleng cepat dalam waktu yang singkat. Tiba-tiba dia beranjak bangun dan berlari ke luar. Aku sempat menahan gadis itu, tetapi dia memberontak dan mendorongku. Kapan gadis itu berpikir bahwa tindakannya dapat membuat salah satu angota keluarga ini kehilangan nyawa?



Mom Aloneحيث تعيش القصص. اكتشف الآن