3. Dansa dan Rasa

51 3 0
                                    

Sudah menjadi kebiasaan Elkay setiap melewati jalan Idjen untuk memperlambat laju mobil, mematikan AC dan membuka jendela. Biar saja ia disangka mobil latihan.

Di jalan ini, rimbun pepohonan Mahoni di kanan kiri jalan, menjelmakan diri bak gerbang menuju negeri yang sejuk. Siap mengabdikan diri sebagai pelepas penat riuh dan sejuta kepentingan manusia di kota.

Mahoni-mahoni itu tetap di sana. Tapi bukan berarti mereka tak mengerti apa-apa. Rindangnya Mahoni dan bangku kayu yang menancapkan kaki-kaki besi secara permanen di trotoar, sukses memanggil banyak orang berdiam sejenak.

Elkay adalah salah satu dari banyak orang itu. Setidaknya seminggu sekali, ia akan meluangkan waktu, duduk di salah satu bangku panjang. Sengaja ia duduk di tengah, mengisyaratkan tak ingin orang lain ikut duduk bersamanya. Egois? Biar. Cuma satu jam kok. Itupun satu Minggu sekali saja.

Selama satu jam itu, di balik masker yang ia gunakan, adakalanya Elkay habiskan untuk murojaah dua juz.
Saat pikirannya kalut, ia akan murojaah satu juz dan setengah jam lain merenung.

Selain Elkay, kadang Mahoni mendengar cerita dari sepasang kekasih, kadang teman, kadang sendirian.

Beberapa membaca buku dan Mahoni-mahoni ikut mengintip. Bagaimana mungkin benda kotak dengan berlembar-lembar kertas, yang dibuat dari saudaranya di tengah hutan, bisa membuat manusia betah menatap barisan-barisan lukisan dengan jumlah yang tak bisa Mahoni hitung.

Ah, Mahoni itu tak mengerti.

Manusia itu tak menatap, tak membaca. Namun masuk dan melayang-layang ke dunia lain dari pintu berlembar-lembar kertas kotak itu.

Di samping pohon Mahoni yang paling ujung, ada sebuah kedai kopi yang disulap dari rumah tua, menjadi tempat kumpul favorit bagi Elkay dan sahabat-sahabatnya.

Tapi siang ini berbeda, ia hanya akan menemui Tiara. Elkay juga penasaran tumben-tumbennya Tiara berkata ia hanya ingin bicara berdua secara serius.

Untuk tipe orang yang suka bercanda, ceria semacam Tiara, serius berarti urgent. Wajib 'ain.

"Lo, mbaknya di sini?" Elkay tertegun sejenak memandang sosok yang menyapanya. Kaos oblong merek ternama dengan jaket yang tak diresleting. Ditambah celana jeans dan sepatu kets rapinya membuat Elkay pangling. Buat apa di sini? Nggak menjaga booth coklatnya kah? Belum sempat Elkay menjawab, sosok itu sudah berpamit.

"Saya duluan ya mbak. Mari."

"I... iya..." Lelaki tersenyum, mengambil tas selempang dan sebuah kunci berbandul dompet hitam kecil dari atas meja.
Elkay masih menatap punggung itu hingga menghilang. Ia tak sadar membiarkan jemarinya terhenti di atas smartphone. Dunia memang aneh...

"Elkay!" Kedua lengan Tiara tiba-tiba sudah mendarat begitu saja di pundaknya.

"Ya Allah Ra...ngagetin saja kamu!"

"Kaget? Hayo kamu melamun ya!"

"Enggak kok tadi itu cuma penjaga coklat..."

"Oh...jadi penjaga coklat? Aku nggak nanya lo tadi...berarti sebenarnya itu yang sedang kamu pikirkan ya!" Goda Tiara.

"Kalau iya memangnya kenapa?" Elkay manyun. Tiara semakin tertawa. Penyakit kambuhan sejak zaman di pesantren. Siapa coba yang tak pernah dijodohkan Tiara dengannya? Asal tampan atau bersuara merdu, tak peduli Gus, cak-cak ndalem sampai pak tukang bangunan, sukses masuk list calon jodoh untuk Elkay.

Telefon dari Fira. Alhamdulillah...setidaknya Elkay bisa berkelit. "Sebentar ada telefon."

"Ning, aku ada di toko kitab di kota nih. Aku mampir ke kosan Ning ya."

"Jangan di kos, Ningmu lagi aku culik di kedai kopi. Kalau mau ke sini saja." Tiara tertawa menyerobot pembicaraan dengan Fira. Kebiasaan.

"Siap Kak Tiara." Fira tertawa, ia pun sudah hafal suara Tiara. Mereka berdua memang...hobi mengerjai Elkay.

"Aku ada kabar bahagia El." Ucap Tiara tiba-tiba begitu telefon terputus.

Senyum Tiara benar-benar sumringah. Kontras dengan es cappucino pucat yang ia pesan.

"Alhamdulillah! Kamu naik jabatan lagi?"

Tangan Elkay mengacung pada pelayan kedai. Elkay sedang tak ingin kopi. Ia memesan strawberry leci punch.

Siapa tahu moodnya naik setelah kejadian ghibah non formal di pujasera kampus tadi.

"Em...aku...akan menikah!" Elkay menatap Tiara tak percaya. Sungguh pun Tiara suka bercanda, Elkay tahu Tiara anti berbohong.

"MasyaAllah! Alhamdulillah...! Secepat ini kamu nyusul Angel! Alhamdulillah! Selamat Tiara sayang!"

Elkay benar-benar bahagia. Kalau saja tak sedang di kedai kopi. Teriakannya akan lebih kencang lagi.

"Mana, mana...!Aku bantu sebar undangannya! Tapi kamu tu Ra. Tumben-tumbennya ngga cerita kalau dekat dengan cowok baru. Ngga bilang kalau sudah...Move on dari Ustadz Nathan. Sebagai sahabat aku sedikit marah sih..tapi ngga papalah. Akhirnya kami mendapatkan kebahagiaanmu sendiri..."

Raut muka Tiara meredup tiba-tiba. Elkay kikuk, ada salah ucapkah dia? Tapi apa...?

"Elkay. Aku akan menikah...dengannya...Nathan."

Elkay mengerutkan dahi. Mencoba mencerna segala sesuatu. Minuman Strawberry yang seharusnya cerah, mendadak memburam dalam pandangan.

Sungguh Elkay tahu sahabat di hadapannya adalah gadis yang cerdas dengan karir gemilang. Tapi bagaimana mungkin ia memilih gerbang pernikahan dengan segenap bayangan hitam?

Elkay menarik nafas panjang, "is...trinya sudah tahu?"

Sudah dapat diduga, Tiara menggeleng terdiam. Elkay tak dapat menyalahkan Tiara sepenuhnya.

Bagaimanapun dansa tak dapat dilakukan satu orang saja. Begitu pula dengan rasa. Elkay harus berbuat sesuatu, setidaknya dengan meringankan beban Tiara, sahabatnya.

"Kamu sudah istikhoroh...?" Tiara menggeleng. Tak ada isak tangis, hanya jilbab abu-abunya yang membasah pelan. Tiara memandang langit-langit kedai kopi, diusapnya cepat-cepat butiran lain yang hendak menyusul. Ada sesak yang begitu mendesak. Elkay tahu itu. Memandang Tiara, Elkay teringat anak kecil yang begitu menginginkan mainannya dan hanya terfokus di sana. Tak ingin yang lain.

"Jika ini benar-benar keputusan finalmu. Sebagai sahabat, izinkan aku membantumu: menciptakan pernikahan yang tak perlu kamu sembunyikan..Seluruh dunia harus tahu kalau sahabatku sedang bahagia. Kamu mau?"

Ganti Tiara yang mengerutkan dahi. Ada senyum getir karena seribu rasa tak percaya.

"Siapa nama istri Nathan?"

Tiara mengetuk-ketuk ujung meja dengan kedua jarinya. Salah satu ujung bibir bawahnya digigit keras. Kebiasaan Tiara ketika gugup.

"Fat...ma."

Telefon kembali berdering. Dari smartphone Tiara. Ia menarik nafas panjang. Mengeringkan matanya dengan cepat.

Tiara. Seperti namanya ia berkilap indah, anggun namun tangguh. Ia yang tumbuh dari dasar samudra kehidupan dengan segala misterinya, menjelma jadi gadis profesional yang mampu menyembunyikan rapuhnya dalam-dalam.

Seperih itu Tiara merapuh di hadapan Elkay, dengan cepat pula ia mampu kembali memimpin rapat perusahaan telekomunikasi regional yang di bawahinya. Tak heran Elkay jika jabatan Tiara melesat cepat.

Dialah Tiara, sosok yang di hatinya terpatri tiga kata: Tuhan, Al Qur'an dan Nathan.

ZabarjadaDär berättelser lever. Upptäck nu