Ayah Bersama

594 82 15
                                    

JANUARI SUBEKTI

JANUARI SUBEKTI

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Raya ... bangun, Nak. Ayah mau ke sekolah kamu juga ini." Jan menggeleng heran melihat Raya yang masih tidur dalam posisi mulut menganga, selimut teronggok di lantai, posisi tidur dengan kepala di pinggir tempat tidur. Jan menggoyang-goyangkan tubuh anak semata wayangnya itu, "bangun, kamu harus sekolah."

Kemudian, Jan melihat layar TV Raya masih menyala, menampilkan potongan film drama Korea yang terhenti. Jan tahu, kalau Raya pasti begadangan nonton drakor. Jan mengambil baju Raya di dalam lemari, seperti biasa, Jan yang menyetrika baju Raya.

Raya menaikan lima jemarinya, "lima menit lagi, Yah." Setelah itu Raya kembali memeluk gulingnya.

Jan menutup pintu kamar Raya. Ia dan Raya hanya tinggal berdua, istri Jan meninggal akibat kecelakan mobil 10 tahun yang lalu, saat umur Raya masih menginjak 7 tahun. Jan mengurus Raya, sendirian saat itu. Sulit sekali mengurus anak, tidak mudah seperti apa yang Jan bayangkan. Ia harus bangun pagi, membuat sarapan buat Raya, menyiapkan keperluan sekolah Raya, hingga harus mengikat rambut Raya dengan pita-pita lucu. Ya, Jan berjanji, walau Rita sudah tidak ada, Jan tidak ingin Raya kehilangan kasih sayang dari seorang Ibu.

Lambat laun Jan menjadi terbiasa, memerankan dua peran sekaligus. Menjadi seorang Ayah dan Ibu bagi Raya.

"Nonton drakor enggak apa-apa, tapi kamu harus tahu waktu," sambil menyetrika baju Raya, Jan menasehati Raya saat melihat anak gadisnya itu kelabakkan saat tahu ini sudah hampir jam 7 pagi.

Dari dalam kamar mandi Raya menyahut, "nanggung, Yah! Lagian, Ayah kenapa baru bangunin Yaya jam segini sih?!"

"Eh, anak curut! Ayah bangunin kamu bolak-balik sampe dapet medali kamu enggak bangun juga! malah nyalahin Ayah, gimana sih kamu?" Sahut Jan sambil melipat rok abu-abu milik Raya.

"Ayah tumben pagi-pagi udah rapih? Mau nyari Mama baru buat Yaya, ya?" tanya Raya.

"Nyari Mama baru pala lo! sembarangan nih bocah kalau ngomong! Itu ... si Biru berulah lagi di sekolahan!" Setelah Jan selesai menyetrika pakaian Raya, kini ia berpindah ke dapur, menyeduh susu vanila kesukaan Raya.

"Apa Yah?! Yaya enggak denger!" sahut Raya dari kamar mandi.

"Matiin dulu itu keran aer, busyet dah! mau kerongkongan gue pindah ke jidat juga lo kagak bakalan dengen apa yang gue omongin, Raya!" Jan memprotes.

"Apa?! enggak denger! Ayah ngomong apaan sih?!"

"Bodo, ah!"

Jan harus pergi ke SMA Prayamuda. Ini semua karena Biru mendapat surat panggilan orang tua dari sekolah. Ya, karena kasus penganiayaan kemarin di kantin. Biru tidak mungkin memberitahu Neneknya tentang masalah ini. Dan ini adalah kali kesekian Jan datang ke sekolah untuk menyelesaikan kasus Biru. Tapi, Jan tidak pernah marah pada Biru, katanya, laki-laki itu harus berani melawan, apalagi demi sebuah harga diri!

Jan adalah Ayah bersama— Ayah Biru dan juga Raya.

*****

"Assalamu'alaikum ... Om Jan." Biru datang membawa rantang di tangannya. Rumah Raya dan Biru bersebelahan, dan seperti biasanya, setiap pagi Nenek Biru selalu memasak masakan untuk Jan dan Raya. Nenek Biru begitu perhatian dengan tetangganya itu, sampai-sampai Nenek Biru pernah menjadi mak comblang Jan dengan anak dari sahabatnya. Tapi, ya ... belum juga berjodoh.

"Apaan nih?" tanya Jan dan langsung mengendus isi rantang yang di bawa Biru. "Tahu dan tempe bacem, sambal krecek? hahaha ... tahu aja Oma lo gue lagi mau makan begini."

"Oh jelas, Biru request khusus sama Oma. Om Jan lagi pengen makan tahu tempe bacem sambal krecek," sahut Biru. Matanya mendelik mencari keberadaan Raya. "Yaya mana, Om?"

Jan dan Biru kompak mendengar suara pintu kamar mandi terbuka. Biru langsung salah tingkah, mengedarkan pandangannya ke arah lain saat melihat Raya keluar dari kamar mandi itu hanya mengenakan handuk.

Raya sumringah, pagi-pagi Biru sudah ada di meja makan bersama Ayahnya. "Biru!" panggil Raya sambil berjalan cepat menghampiri sahabatnya itu.

Ya, Raya memang tidak pernah tahu malu. Kalau masih kecil dulu mereka suka telanjang bersama, tapi, kalau sudah besar seperti ini, agak bahaya buat Biru.

"Ya! pake baju dulu, Yaya!" Biru mengintrupsi Raya.

Raya tidak peduli, walau wajah Biru tengah menegang, Raya tidak peka. Duh, Biru itu laki-laki! ngeliat cewek cuma pakai handuk itu bahaya!

"Kenapa sih?" Raya menoleh pada Jan, "Yah, Biru kenapa sih?"

Jan juga heran melihat tingkah Biru yang aneh. "Iya, lo kenapa Bir?"

Biru menghela napas panjang, benar-benar enggak waras keluarga ini! "Om ... begini, Raya itu 'kan cewek ...."

Jan mengangguk, "iya gue tahu, gue Bapaknya. Terus kenapa?"

Biru kembali menarik napasnya. "Biru ini cowok, Om."

"Iya gue masih inget lo punya titit." Sahut Jan frontal.

Sulit sekali mengantrikan maksud Biru pada mereka. Ini Biru yang salah, atau otak mereka yang memang bergeser dari tempatnya? Baiklah, lebih elok kalau Biru yang mengalah saja. Biru berdiri, dan langsung menarik tangan Raya.

"Bir! gue mau dibawa ke mana, Bir?!"

Biru masih menarik tangan Raya.

"Bir, istighfar Bir! Ada Ayah!"

Mereka menaiki anatk tangga menuju lantai 2, hingga kini mereka berhenti di depan sebuah pintu yang bertuliskan; mohon tenang, ada ujian! Jangan tanya itu ruangan apa, karena itu adalah kamar Raya.

"Masuk. Biru tunggu di bawah," kata Biru sambil melangkah menuruni anak tangga.

"Okay! tapi ..."

Langkah Biru terhenti, "buku? Biar Biru siapin. Yaya juga pasti enggak inget hari ini mata pelajarannya apa."

Raya tersenyum. "Hehe, iya. Makasih."

Kemudian, Raya menutup pintu kamarnya.

*****

TBC.

Sudahkah kalian rasakan feel ke-gesrekan keluarga ini?
Baiklah, sampai jumpa di part selanjutnya!
Ah, iya story ini pendek2 partnya, tapi, akan aku update setiap hari, mungkin sehari 2x hehe. Tergantung mood sih.

Sampai jumpa di part selanjutnya!

Raya di Langit BiruWhere stories live. Discover now