Angkasa Biru

222 42 0
                                    

Hanya butuh satu semester lagi, Biru lulus dari SMA Prayamuda, setelah itu, Biru siap dikontrak oleh salah satu perusahaan mobil formula, Biru akan menjadi salah satu pembalap di perusahaan itu, yang akan menjadi gerbang Biru dalam berkarir di dunia balap formula.

Setiap pulang sekolah, Biru berlatih di sirkuit, dan tentu saja ada Raya yang selalu setia menemani Biru latihan.

Kini mereka berada di ruang tunggu arena sirkuit, Raya menyapa beberapa crew dan pelatih Biru. Melihat Biru yang mulai berganti pakaian, membuat Raya semakin sedih, ya, karena Raya tahu setelah lulus nanti, Biru akan menetap di Jepang. Namun, bagi Raya cita-cita Biru lah yang paling penting, Raya tidak mau menjadi penghalang Biru dalam menggapai keinginannya.

"Bir, kata Ayah tadi Biru jangan buat masalah lagi di sekolah, kalau enggak, Ayah enggak bisa bantu Biru lagi," kata Raya sambil makan bekal telur gulungnya yang ia beli di depan sekolah.

Biru yang sedang sibuk memakai wearpack-nya hanya bisa mengulas senyum, "Ya, kalau enggak bawa-bawa Yaya, Biru enggak masalah."

Seorang pria dewasa menghampiri Raya, ia pelatih Biru, namanya Mino. Pria berumur tiga puluh tahunan, mantan atlet balap formula. Ia mamandangi wajah Raya, setelahnya ia mengalihkan pandangannya pada Biru. Bagi Mino, Raya dan Biru sudah seperti adiknya sendiri.

Ia berdiri sambil bersedekap, ada sekelebat rasa penasaran dalam benaknya. "Ray, lo udah siap pisah sama Biru?" tanya Mino pada Raya.

Raya sontak menoleh pada Mino, "tanya tuh ke Biru. Gimana coba hidupnya kalau enggak ada gue, Kak."

Biru berdecak kesal pada Mino, "Kak! Enggak usah dibahas, bisa?"

Mino pun mengangguk, "fine! Kalau lo enggak bisa pisah sama Raya, bawa aja Raya ke Jepang, nanti gue daftarin Raya jadi crew kita."

Raya langsung beranjak dari tempat duduknya. "Raya enggak bisa, soalnya Raya mau dijodohin sama Ayah, hehe. Lagian, Raya juga harus kuliah."

Mino sontak terbelalak, "masih kecil udah mikirin jodoh-jodohan! Ck. Bir, gue tunggu di depan, buruan pake helmnya."

Biru hanya mengangguk.

"Yakin banget mau sama cowok yang Ayah jodohin?" tanya Biru sambil memakai helmnya.

Raya berjalan mendekat pada Biru, kedua telapak tangannya memengang helm Biru, manik mata Raya yang indah bagai mutiara, serta senyum merekah di bibirnya, membuat jantung Biru seketika berdegum cepat. Biru selalu menampik, kalau Raya itu cantik, namun, semakin Biru berusaha, semakin ia tidak bisa mengelak, bahwa perasaan yang lebih dari sedekar sahabat itu selalu bertambah setiap harinya.

Biru melepaskan tangan Raya dari helmnya, "Biru latihan dulu, Yaya jangan kemana-mana."

*****

"Anjir! Lo kalau mabok nyusahin banget, ya! Sumpah ya, lo jadi temen tuh berguna dikit kek, bikin gue bangga dikit kek, lo mabok di bar elit kek, ini mabok anggur merah, pake jatoh dari motor lagi! Tolol sumpah!"

Raka tidak berhenti meromet kesal karena ulah Kala yang sudah kelewatan. Ini sudah dini hari, sudah pukul 2 malam, dan Raka harus menjemput Kala di klinik yang cukup jauh dari rumahnya.

Kala memejamkan matanya, ia sudah tidak sanggup membuka matanya lagi. Angin malam menerpa wajah tampannya, karena jendela mobil itu dibuka lebar oleh Raka. Entah bagaimana ceritanya Kala bisa berakhir tragis seperti ini, tapi, roman-romannya tidak jauh dari masalah perempuan.

"Bian ... Bianca ...." Kala mulai meracau, "tega banget lo, Bi ... Babiiik!"

"Diem lo, Babi!" hardik Raka.

"Bi-Bianca ...."

Mobil SUV milik Raka berhenti di pinggir jalan, sepanjang jalan itu, banyak cafe dan bar yang masih buka. Raka sedang menunggu seseorang di persimpangan itu, sedangkan Kala perlahan mulai membuka matanya karena terdengar suara dentuman musik, dan kemudian ia terpejam lagi.

Berkali-kali Raka mencoba menghubungi seseorang melalu ponselnya, tidak ada jawaban. Namun, tak lama ada seorang wanita muda yang berjalan menuju mobilnya, dengan tergesa-gesa ia berjalan cepat menghampiri mobil Raka.

"Lama banget sih lo!" ucap wanita itu. Dia adalah Rani, kakak perempuan Raka. "Siapa nih? Ya ampun, Kala ... kenapa lagi nih bocah?"

Kala tidur sambil mulutnya menganga, wajahnya bersandar di jendela, hingga siapa pun yang melewati mobil itu, bisa melihat jelas wajah Kala yang sedang mabuk berat.

Rani langsung masuk ke mobil, duduk di kursi belakang. Raka melihat wajah Rani dari pantulan kaca spion, wajah kakaknya yang terlihat lelah karena bekerja hingga larut malam seperti ini. Rani bekerja di sebuah club malam di Jakarta, posisinya sebagai manager. Rani menjadi tulang punggung keluarga, karena Ayahnya yang sudah tidak bersama mereka lagi, dan Ibunya yang sedang menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa.

Dulu, keluarga Raka sangat berada, bahkan Rani masih bisa berkuliah di Australia, ya, itulah roda kehidupan, tidak selamanya kita berada diatas.

"Mbak, Raka mau langsung kerja aja, enggak mau kuliah. Raka mau ikut jadi crew-nya Biru."

"Kalau lo milih itu karena kasihan sama gue, enggak bakal gue izinin."

Raka menghela napasnya, "Raka bukan kasihan sama Mbak, tapi ... sama Ibu."

Rani terkekeh, "Ibu? dia aja udah enggak ingat sama kita. Ngaco, lo. Lo pikir kerja itu enak? Lo mestinya bersyukur, gue masih sanggup kuliahin lo. Lo adik gue satu-satunya, lo harus lebih hebat dari gue."

"Tapi, Mbak ...."

"Udah ah, gue ngantuk."

"BIACAAAA!" tiba-tiba saja Kala memekik kencang.

PLAK! mendaratlah sebuah pukulan di kepala Kala. "Diam, bangsat!"

*****

Sudah pukul enam pagi, seperti biasanya, Jan memulai aktifitasnya dengan menyiram rerumputan serta kembang di halaman rumahnya. Aktifitasnya itu pasti ditemani oleh neneknya Biru, ia terlihat sedang merajut di bangku terasnya. Jan memanggil beliau dengan sebutan Oma Sukma, wanita paruh baya itu sudah tidak canggung menceritakan segala kehidupan pribadinya pada Jan.

Termasuk, menceritakan bagaimana keadaan kedua orang tua Biru. Jan tahu, Ayah Biru meninggalkan Biru bersama Oma Sukma dan kini sudah menikah lagi, membawa Kakak lelaki Biru bernama Altarick Samudera Kelana. Sedangkan Ibunya Biru, anak kandung Oma Sukma memilih tinggal di America dan bekerja di sana.

"Oma, Biru berangkat dulu." Biru pamit sambil menghidupkan mesin vespa maticnya.

"Yah, Yaya berangkat ya! Oma ... dadah!" Raya pun ikut pamit.

Biru membonceng Raya, setelah dua anak berseragam SMA itu pergi, kini saatnya Jan menghampiri Oma Sukma. Ada hal penting yang harus Jan bicarakan pada Oma Sukma.

"Oma, jadi kapan Kakaknya Biru pulang ke Jakarta?" tanya Jan sambil menyeruput teh bikinan Oma Sukma. Di teras rumah itu, obrolan mereka semakin larut. Oma dengan bahagianya menunggu kedatangan cucu tertuanya, kentara sekali ia sudah tidak sabat bertemu dengan Altar.

"Oma yakin, mau jodohin Raya sama Altar?" tanya Jan memastikan.

Oma Sukma nampak tersenyum, "Oma sayang sama Raya, ndak mau kalau Raya mendapat laki-laki yang tidak bertanggung jawab."

"Lalu, Biru bagaimana?"

"Mau Altar atau Biru, yang penting Raya jadi istri dari salah satu cucu Oma. Hehe."

Mereka pun larut dalam obrolan tentang perjodohan, membayangkan bagaimana Raya pada akhirnya menjadi cucu Oma menjadi kebahagian sendiri bagi Oma. Ya, manusia hanya bisa berencana, namun, Tuhan-lah yang menentukan.

*****

Raya di Langit BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang