3: Malaikat Terbuang

905 133 116
                                    

"Hidup adalah sisi dramatis dari beragam penolakan, mengingat setiap orang memiliki pemikiran dan selera yang tidak sama. Jadi, buat apa menangis karena merasa tidak diperlakukan adil? Jika kau saja masih memaksa semua orang untuk menyukaimu..."

~ Mata Tertutup

Sudah jelang sore, saat Ardi memegang erat tangan keriput itu. Ketika Risma Wulan berlalu, dia mulai berani menangis.

"Kenapa tho, le..." bisik Bude Wita Sumiyati, sambil mencoba menggapai.

"Aku kembali buat salah, Bude. Kembali ada korban selain Adek Mutiara..." sahut Ardi, terisak.

"Lha... ini mesti salah ne opo?"

"Operasi mata kali ini, Bude. Bukannya bener, anak yang aku operasi malah terganggu psikologisnya. Tak berhenti menjerit, menangis, bahkan mengamuk. Sifat dan sikapnya berubah..."

"Oalaaah... kaget kali, Nak. Namanya tiba-tiba punya mata kan?"

"Bukan, Bude. Ada sesuatu. Ini aneh. Aku belum pernah mengalami hal begini. Kami sebagai dokter, pastinya cuma bicara tentang hal medis yang masuk logika. Bukan hal ghoib. Anak itu... tiba-tiba bersikap seperti bukan anak umur sebelas tahun. Tadi ngamuk kayak kesurupan, terus ngoceh segala bahasa"

"Astaghfirullah... memang itu mata dari donor siapa?"

"Boren Sores"

"Iku sopo?"

"Terpidana yang dihukum mati"

"Innalilahi..."

"Aku mesti piye tho, Bude? Bingung. Psikolog dan Psikiater sudah turun tangan menenangkan anak itu. Ini, termasuk kasus baru dalam ilmu kedokteran. Ada penerima donor mata, yang sampe kesurupan arwah pendonor. Jelas sulit diterima akal. Aku masih belum percaya kalau ini kesurupan, tapi..."

"Dimana pendonor itu dikuburkan?"

"Eh, anu... nggak tahu Bude"

"Cari"

"Hah?"

Wita Sumiyati mengangguk,"Dengerin kata orangtua. Iki pesan Mbahmu dulu. Boleh ambil sesuatu dari orang yang sudah mati, tapi minta izinnya. Terus jangan lupa mendoakannya"

"Harus cari itu, Bude?"

"Iyo, kan kamu le yang masangin tuh mata ke anak kecil itu? Mestinya kowe pamitan juga...."

****

"Goedenavond (selamat malam).
Hoe heet je (Siapakah nama anda? Ik ben Matahari (Saya adalah Matahari)? Hoe gaat het met je (apa kabar)?"

Alma bengong memandangi Matahari, kucing gendut ditangannya juga demikian. Sementara Arnessa malah sibuk berdiri kebingungan di belakang tubuh kakaknya.

Mereka begitu senang awalnya, ketika ingin menemui Matahari. Orangtua mereka mengatakan, jika mata dari sahabat kecil mereka itu ternyata sudah sembuh. Jadi sekarang, dia bisa melihat apapun. Dan membawa Meong Kepo, jelas merupakan kewajiban saat itu. Sebab mungkin, Matahari ingin juga melihat wujud kucingnya.

Tetapi ketika mereka masuk rumah itu, jadi malah jadi ketakutan semua. Matahari tampak berubah. Dia bahkan tak lagi berminat, untuk menggunakan Bahasa Indonesia.

"Kamu ngomong apaan sih, Mata? Bahasa Inggris, bukan. Korea juga nggak..." kata Alma.

"Bahasa Amerika kali, Kak Al..." bisik Arnessa.

"Amerika juga pake Bahasa Inggris, Arnes!"

"Australia mungkin"

"Kan sama, pake Bahasa Inggris juga"

Mata TertutupOnde histórias criam vida. Descubra agora