14: Afghanistan

562 91 33
                                    

Kembalilah ke Afghanistan, ketika kau dengar suara adzan.
Perang masih berkecamuk, kawan!
Jangan lepaskan keyakinanmu.

Kembalilah ke Afghanistan, duhai jiwa yang pemberani.
Karena Zaman Batu Tua terlanjur mencatat jejak kedatanganmu.

Lepaslah! Lepaslah!
Waspadai musuh yang terkurung dalam jerat daratan.

Dia tak lagi menggengam batu, tapi peluru.
Dan dia, mencarimu...

Afghanistan, 2013

Apa yang harus jadi pilihan lagi? Seorang Boren Sores seperti sekedar menjalani takdir. Tiba di Kabul International Airport, kepalanya sudah cukup pening. Namun Pieter tampak masih tenang menghadapi oknum petugas bandara yang ganas meminta uang.

Entah bagaimana pria itu bisa mengatasi segalanya. Tiga bulan menghilang, tiba-tiba kembali untuk membawanya ke sebuah negara yang penuh konflik, hanya dengan bermodal paspor dan surat-surat perjalanan palsu.

"Ali?" Boren Sores kaget dengan paspor Belanda di tangannya, yang jelas menggunakan fotonya, tetapi nama yang tertera justru adalah Ali bin Abi Thalib.

"Semua orang mengagumi Ali, baik syiah dan sunni. Itu nama yang aman" bisik Pieter.

"Tapi tidak mesti juga menggunakan bin Abi Thalib. Tidak sekalian disebutkan jika istrinya Fatimah, dan mertuanya Nabi Muhammad?"

Pieter tersenyum,"Inilah yang paling kusenangi darimu. Kau benar-benar paham dunia islam"

"Paman, mengapa mesti menggunakan paspor palsu?"

"Biar aman"

"Aman apanya? Aku bisa di penjara"

Pieter menatap tajam ke arah Boren,"Dengarkan aku. Aku lebih tahu apa yang terbaik, saat bekerja..."

Boren, tak lagi bersuara. Dia seakan terjebak pada situasi yang mengharuskannya untuk cuma pasrah. Namun kemudian dia mengerti, ketika memasuki Afghanistan. Nama Ali, setidaknya, membuat dia aman, apalagi dengan paspor wisata Belanda itu. Meski mereka terbang dari Amerika.

Sepertinya, tak ada yang betul-betul menyukai Amerika di dunia ini. Tindak-tanduk pemerintahannya yang selalu bertingkah super power bak centeng di bumi, rawan sekali dimusuhi. Sehingga memberi kesulitan yang cukup bagi warganya yang sedang berpergian ke negara-negara konflik perang.

"Tak ada orang yang benar-benar berperang, semua terjadi hanya karena keisengan berbisnis. Selalu ada pihak yang mampu mengambil keuntungan dari pertikaian ..." kata Pieter, sambil dengan santai meneguk teh hijau, meski terdengar ledakan bom tak jauh dari apartemen mereka.

Boren menggigil, ini pertama kalinya dia mendengar ledakan. Tapi semua tampak terlihat "biasa" di negara itu. Bahkan Pieter yang rutin ke sana, malah dengan santai menghabiskan naan, sejenis roti gandum tawar bakar yang mereka beli seharga tak sampai 10 Afghani, pada waktu sekitar setengah jam lalu di sebuah toko roti. Rasanya seperti pizza, dan mereka menyantapnya dengan saus daging cincang.

Hammed, seorang pemuda kurus, tampak tergesa menghidangkan "lauk" pagi itu. Pieter memperkenalkannya, sebagai penjaga apartemennya di Kota Kabul, yang disewanya per tahun dan hanya dikunjunginya sewaktu-waktu. Tatapan sedih Hammed, berikut senyumnya yang lebar dan gugup, menunjukkan betapa bersyukurnya dia bertemu Pieter yang membuatnya bisa menghasilkan uang untuk keluarganya. Konflik perang berkepanjangan di Afghanistan, memang menciptakan kemiskinan yang subur dan gersang.

Mata TertutupWhere stories live. Discover now