15

3.8K 513 24
                                    


"JADI, ternyata habis itu ayah lo nggak pulang?"

"Nggak. Ayah gue cuman pernah kirim kabar sekali setahun ke kita. Dia bilang dia bakal pergi lagi ke Finland. Kita kira setelah ngurus utang dan nyelesaiiin pendidikannya dia langsung balik pulang. Tapi ternyata dia ketagihan kerja di sana dan lupa tentang kita."

Jojo dan Hiro saat ini sedang berada di apartemen Jojo. Apartemennya nyaris kosong melompong. Hanya ada beberapa perabot yang memang milik pihak apartemen seperti kulkas, oven, kompor, dan lainnya. Namun tidak sofa. Itulah mengapa mereka duduk di lantai, di ambang pintu beranda yang dibuka lebar.

Tadinya, Hiro langsung mengantar Jojo pulang. Ia bisa menggunakan taksi untuk mengambil mobil yang tadi ia tinggal di kantor. Namun saat sudah sampai di rumahnya, Jojo tidak mau turun bahkan setelah dibujuk.

"Kita ke kantor lo aja. Gue bisa nyetir balik ke rumah lagi, kok," Tapi Hiro tidak mempertimbangkan apa yang Jojo bilang ini. Ia suka direpotkan kalau itu Jojo. Ia lebih tidak suka dengan apa yang terjadi kalau Jojo dibiarkan mengemudi sendirian walau memang sudah tidak menangis lagi.

Jojo mau sendiri? Oke, sendiri. Hiro akan berikan Jojo kesendirian di mana ia masih bisa melihat Jojo. Dan Hiro tidak punya ide lain selain apartemen Jojo yang belum ditempati dan baru akan diiklankan akhir bulan ini.

"Apa yang paling lo takutin ketika ayah lo nggak balik?" Hiro bertanya lagi. Ia memperhatikan helai rambut Jojo yang berterbangan di bawa angin ke belakang.

Jojo menatap lurus ke depan, menjawab, "Sebenarnya rasa yang paling besar yang gue punya setelah bertahun-tahun kepergian Ayah bukan takut, tapi kecewa. Dan karena kecewa itu gue ngerasa sedih, dan gara-gara itu akhirnya gue takut."

Hiro suka bagaimana Jojo bisa memiliki analisis yang kuat terhadap dirinya sendiri. Ia terdengar seperti tabah meski yang wanita itu bahas hanya kecewa dan rasa takut.

"Ketakutan gue adalah..." Jojo sejenak mengatupkan mulut. "Kalau ayah gue nggak muncul, gue nggak akan pernah bilang betapa kecewanya gue sama dia. Dan betapa hancurnya kita bertiga karena dia. Gue takut kalau gue nggak mengatakan itu ke dia gue nggak akan mati dengan tenang." Tatapan Jojo menerawang, mengucapkannya tanpa air mata dan tanpa mata yang berkaca-kaca. Namun wanita itu terlihat lebih menderita saat ini.

"Tapi pada akhirnya sampai sekarang gue belum pernah bilang itu ke dia," Jojo melanjutkan. Hiro melihat Jojo tersenyum pahit. "Ketika suatu hari ayah gue tiba-tiba muncul di depan apartemen gue waktu gue pulang kerja... 'Jojo kecewa sama ayah'.... Gue nggak bisa bilang gitu. Gue cuman diam aja."

Semua yang Jojo katakan mengenyuhkan Hiro. Ia bisa merasakan palung dasar hati Jojo yang paling curam. Ia mungkin mendengar ini sekarang, tapi ia tak akan bisa menceritakannya kembali pada orang lain dengan cara yang sama seperti Jojo menceritakan padanya. Karena hanya Jojo yang bisa mengatakannya seemosional itu.

"Kenapa kamu nggak bilang ke ayah lo? Dia pantas untuk ditegur," komentar Hiro.

"Dia bahkan sebenarnya nggak berhak dapat satu patah katapun dari kita. Dia sudah kehilangan haknya sebagai ayah gue sejak dia ngelangkahin kaki pergi dari pintu rumah hari itu." Jojo membenamkan dagunya sambil memeluk kedua lututnya. "Dia nggak ada saat gue pertama kali putus cinta, saat mobil gue mogok malam-malam waktu umur gue baru-baru diperbolehkan naik mobil."

Hiro tahu dia seorang lawan jenis. Naluri lelakinya yang ia tahan sejak di mobil tadi untuk memegang Jojo atau merangkul atau memeluk wanita itu kini tidak bisa ia abaikan lagi. Hiro mendekat. Penuh keraguan.

"Hiro, lo tahu," Jojo nyengir. "Lo terlalu banyak 'modus' hari ini," wanita itu menoleh, menatap Hiro. Jojo teringat bagaimana Hiro menggengam tangannya di mobil tadi, mengusap wajahnya atau memegang pundaknya saat menangis. Itu sangat manis, Jojo menyadari. Ia tidak tahu Hiro bisa selembut itu terhadapnya.

JOJOWhere stories live. Discover now