19

3.3K 509 9
                                    


NAMUN Jojo tahu, memaafkan ayah tidak akan semudah itu. Apa yang ayah perbuat bukan sekadar mencuri makan siangnya, atau mencuri uang sepuluh juta dari tabungannya. Ayahnya mencampakkan mereka, sebuah momen yang tidak akan tergantikan. Dan meskipun seseorang termaafkan, luka dan ingatan yang digoreskan karena kesalahan itu akan tetap ada. Tidak akan bisa hilang seperti menghapus tulisan dengan pensil.

Jadi ketika Jojo menangis tadi dan walau ayahnya memeluknya, Jojo tetap mendiamkan ayahnya. Ia mengusir ayahnya dari kamar setelah itu.

Jojo hanya latihan berjalan di lantai atas karena tidak mau turun ke bawah menemui ayahnya. Ia baru turun ke bawah jam dua untuk makan—ia mengira ayahnya sudah selesai makan sehingga ia bisa makan sendiri. Tapi ternyata ayahnya sedang duduk di ruang tengah. Begitu melihat Jojo turun beliau lembut mengajak, "Jo, makan bareng yuk, lapar."

Pada akhirnya Jojo makan bersama ayah. Ayahnya terus menatap Jojo, mengajak Jojo bicara; "Jo, kok makan dikit begitu? Tambahlah," atau "nanti mau anter ayah ke bandara nggak? Anter doang, biar Tono yang nyetir" dan "gimana Jovan waktu rapotan SMP dulu?"

Tapi Jojo menge-zip mulutnya. Ia mengaduk makanannya tak bergairah. Biasanya ia tidak membolehkan diri makan karbhoidrat beberapa hari sebelum punya pekerjaan besar sepenting fashion week. Namun ia tetap memasukkannya ke mulut dengan lemas demi kandungannya, dan mengunyahnya sama lemasnya.

Sorenya, Jojo tengah mencoba tidur saat ayah mengetok pintu kamarnya.

"Jojo, ayah pergi ke Surabaya dulu ya," ijin si ayah. Suaranya teredam. "Keluar bentarlah, Jo. Ayah mau pamit yang benar." Ketokan pintu terdengar

Tapi Jojo tak merungu.

"Jo?" Ayahnya memanggil lagi. Namun Jojo tidak membalas dan tetap memejamkan mata. Beberapa detik kemudian ayah menyerah membujuk Jojo. "Ya udah, kalau gitu ayah pergi dulu ya. " Ayahnya terdengar sedih.

Jojo masih tidak peduli. Mereka punya kunci rumah sendiri-sendiri jadi seharusnya ayah mengunci gerbang setelah pergi. Jojo kemudian mendengar langkah kaki menuruni tangga. Ayahnya sudah pergi. Entah kenapa Jojo selalu berprasangka buruk setiap kali ayahnya ijin pergi atau angkat kaki dari rumah.

Sepuluh menit kemudian Jojo masih belum bisa tidur. Ia mendengar langkah kaki menaiki tangga. "Jojo, Jojo ayah minta tolong..." Ayah berseru. Pria itu mengetok pintu kamar Jojo lebih keras, terdengar panik, "Tolong antar Ayah ke bandara sekarang, Jo."

Jojo mengkomat-kamitkan mulut. Ia tahu sudah ada pak Tono, supir ayah, yang akan mengantar ayah ke bandara. Jadi gedoran ayahn pasti cuman cikal bakal ayahnya agar Jojo mau ikut mengantar ke bandara.

"Hati-hati, Yah. Pak Tono mungkin udah nunggu di depan," pesan Jojo sambil kembali merayap ke kasur.

Ayah menggedor pintu lagi, "Nggak bisa, Jo. Pak Tono ijin sakit. Ayah baru aja dapat pesannya."

"Taksi?" tanya Jojo, masih ogah.

"Jo, Ayah bisa telat kalau isi nunggu taksi," si ayah terdengar senewen.

Jojo menghembuskan napas berat. Ia tidak jadi menyelimuti diri dan beranjak menuju pintu kamar, membukanya. Ia langsung bertatap muka dengan ayahnya yang sudah berpakaian rapi siap ke bandara. Beliau nampak spaning.

Jojo mendesau, "Ini trik ayah supaya aku nganter Ayah atau apa?" tanya Jojo culas.

"Ayah nggak bercanda," peringatnya. "Kamu nganggur kan? Ayo antar Ayah ke bandara." Lagi-lagi kata "nganggur"...

Jojo memutar mata. Sebelum berbalik menutup pintu kamar ia berkata, "Lima menit. Tunggu di bawah. Jojo mau siap-siap."

* * * *

JOJOWhere stories live. Discover now