0.08 - Sore yang Menyesakkan

14.3K 1.4K 17
                                    

"Ini kuncinya. Gue udah bilang ke Adel buat siaran nanti malem bareng lo."

Pemuda di depan Kara mengangguk paham.

"Oke. Gue duluan, ya," pamit Kara, tersenyum singkat.

Pemuda itu menahan Kara yang hendak melangkah. "Gue anterin pulang mau?" tanya si pemuda.

Kara diam sambil berpikir. Lumayan sih kalau ada yang mengantar. Gratis, tidak keluar ongkos.

"Enggak usah, makasih," ucap Kara menolak.

Pemuda tadi tersenyum dan mengangguk tak memaksa.

Kara mulai melangkahkan kaki sembari celingukan. Ia menunduk, melihat jam di tangannya.

16:49 WIB.

Ternyata sudah sore.

Kara terus berjalan dengan mata fokus pada handphone. Terlalu serius memesan ojek online, gadis itu tanpa sengaja menabrak tubuh seseorang.

Tidak, itu bukan tubuh, melainkan hanya tangan. Kara mendongak, memandang Ega yang kini tengah menahan kepalanya dengan tangan pemuda itu, agar Kara tak kebablasan menabrak tubuh Ega.

"Lo bisa minggir dan berhenti baru main hape, itu lebih aman." Ega menurunkan tangannya.

Kara mengerjapkan mata. Dengan segera ia memasukkan handphone ke saku. Gadis itu menyengir.

"Bang Ega ngapain di sini?" Kara berusaha santai dan tak terlihat canggung.

"Jemput Anin," jawab Ega singkat.

Kara mengerutkan kening. "Anin kan udah pulang," ucapnya.

"Hn?" Ega melebarkan mata agak sipitnya.

Gadis itu mengangguk-angguk, "Anin udah pulang dari tadi, naik bus bareng Puti."

Ega berdecak. "Kalau gitu ngapain nyuruh gue jemput?" gerutu Ega tanpa sadar.

Kara menahan senyum geli. Kara tahu tadi Anin memang meminta Ega menjemput. Tapi sudah dari jam 3 tadi, dan Ega tak langsung membalas. Anin tak mau menunggu lama dan memilih pulang naik bus.

Siapa yang salah di sini?

Ega kembali memandang Kara. "Ya udah, Ra. Gue pulang, ya."

Kara mengangkat alis. Ega tak mau mengantar Kara saja begitu? Ah, Kara lupa. Ega mana peka.

Tapi Kara mengangguk. "Iya, Bang. Hati-hati."

Ega sudah memakai helm dan siap melajukan motornya. Kara juga sudah kembali menunduk pada handphone, melanjutkan apa yang sebelumnya tertunda, yaitu memesan ojek online.

Tiba-tiba sebuah helm disodorkan di depan Kara. Membuat gadis itu mendongak. Ia mengernyit ketika Ega menyuruhnya memakai helm tersebut.

"Gue anter pulang."


❤❤


Ega membuka kaca helmnya. Dari kejauhan ia melihat seseorang yang dikenalnya tengah berdiri di depan sebuah mobil.

Pemuda itu sedikit menambah kecepatan laju motornya.

"Loh?" Kara mengernyit. Harusnya belok kiri, tapi Ega malah lurus saja.

Ega menepi lalu mematikan mesin motor. Pemuda itu melepas helm. Ia menoleh sebentar pada Kara.

"Turun sebentar, Ra."

Kara mengangguk saja kemudian turun dari motor.

Gadis tersebut menoleh. Setelah itu, matanya langsung bertemu dengan mata Tiala. Di situlah Kara paham. Ega tiba-tiba berhenti karena Tiala.

"Kenapa?" tanya Ega pada kekasihnya.

Kara menggigit bibir, ia tak suka berada di situasi seperti ini.

"Mobil aku mogok," kata Tiala, mengembuskan napas kesal.

Ega mencoba mengotak-atik mobil Tiala. Tanpa sadar Ega melupakan keberadaan Kara yang kini hanya berdiri diam menatap jalanan.

Kara berpikir, apa sebaiknya ia pulang naik taksi saja?

Ega melihat Tiala. "Bawa ke bengkel aja."

Tiala berdecak, "Terus aku pulangnya gimana?"

"Gue anter." Dengan santai dan seenak udelnya, Ega berkata seperti itu.

Kara refleks menoleh setelah mendengar ucapan Ega.

Tiala tertawa pelan. "Lucu, kamu kan sama Kara."

Barulah Ega teringat sosok gadis SMA yang tadi katanya akan diantar pulang. Pemuda itu bingung setelahnya.

Sial, Kara merasa seperti orang ketiga.

Ega menggaruk tengkuk dan menatap motornya, masa iya mau boncengan bertiga? Gila.

"Eumm … Bang Ega anter Kak Tiala aja. Aku bisa naik taksi atau ojol," kata Kara sembari tersenyum kecil.

Pemuda itu memandang Kara. Ia jadi tak enak.

"Enggak usah, Kara. Gue aja yang naik taksi. Ega kan tadi udah sama lo duluan," ujar Tiala.

Kara menggeleng. Tidak, ia tidak mau mengambil kesempatan dalam kesempitan.

Ega membuang napas berat. Pemuda itu kembali memandang Kara. "Sekarang pesen taksi atau ojek. Gue tungguin sampai abangnya dateng."

Kara terdiam. Dari ucapan Ega, sudah dapat disimpulkan kalau pemuda itu lebih memilih mengantar pulang Tiala.

Gadis itu mengikuti ucapan Ega. Kara tak mau menambah masalah, hari sudah semakin sore.

"Ega, kamu bisa anterin Kara. Dan aku bisa nelepon Mang Atep untuk jemput aku."

Ega hanya diam tak menanggapi perkataan kekasihnya.

Kara yang sebelumnya menunduk pada handphone, kini mendongak menatap Ega dan Tiala. "Bang Ega enggak perlu nunggu, mending langsung anterin Kak Tiala aja, keburu magrib."

"Enggak. Gue temenin lo dulu," bantah Ega.

Kara menggeleng, "Tap—"

"Kara?"

Ega dan Tiala menoleh saat seorang pemuda menghentikan motornya di dekat mereka. Dan Kara, jelas ia menoleh karena pemuda tersebut menyebut namanya.

"Bima," ucap Kara, melihat teman kelasnya itu.

"Lo belum pulang?" Kara hanya menggeleng mendengar pertanyaan tersebut.

"Kenapa belum pulang?" tanya Bima lagi. Matanya memandang Ega dan Tiala bergantian.

Kara berdeham pelan. "Lagi nunggu Mas Juna."

Ega sedikit terkejut. Ternyata Kara menghubungi Juna, bukan memesan taksi atau ojek online.

"Gue anterin aja, yuk. Langit bentar lagi gelap," ujar Bima.

Kara menengok ke atas. Gadis itu membuang napas perlahan. Harus berapa lama lagi ia menunggu dan terjebak di situasi tak nyaman seperti ini?

"Enggak pa-pa?" Kara menoleh pada Bima.

"Enggak pa-pa lah," sahut Bima santai.

Gadis itu mengangguk. Ia memandang Ega dan Tiala. "Bang Ega, aku pulang sama Bima. Kak Tiala, aku duluan, ya."

"Sorry, ya, Ra."

Ega meminta maaf, Kara sedikit terkejut sebenarnya. Gadis itu tersenyum dan mengangguk.

"Hati-hati, Kara." Tiala tersenyum pada Kara. Entah apa maksud sebenarnya dari senyum kecil itu.

Kara membalas senyum Tiala. Selanjutnya Kara mulai naik ke motor Bima dan melaju meninggalkan Ega dan Tiala di sore yang menyesakkan itu.



Bersambung....

Rasa Tanpa Suara | ✔Onde histórias criam vida. Descubra agora