0.44 - Ini Berat

12.4K 1.1K 16
                                    

"Di satu waktu … gue masih ngerasa ini kayak mimpi."

Kara meredupkan binar matanya. Pemuda di depannya sedang menunduk sembari membolak-balikkan handphone tanpa tujuan pasti.

"Banyak cowok yang lebih baik dari gue. Mereka bisa buat lo bahagia. Mereka bisa sering hadir di dekat lo. Mereka … gue enggak kayak mereka." Ega menatap dalam gadis tersebut.

Kara menggeleng pelan menandakan ke-tidak setujuannya pada ucapan Ega.

"Gue jadi ngerasa kecil. Gue ngerasa enggak pantes buat lo. Bisa apa gue? Gue lebih sering bikin lo sakit hati daripada bahagia. Gue bukan orang yang asyik. Gue orangnya enggak seru. Orang lain kalau deket gue bawaannya bosen. Omongan gue sering bikin orang lain kesel. Gue enggak ganteng kayak Jino. Gue cuma anak kuliahan yang masih sering minta duit bokap. Gue masih sering enggak nurut omongan nyokap. Hobi gue rebahan atau enggak tidur. Gue mageran. Gue bukan cowok yang baik. Apa yang lo harapin dari cowok kayak gue?"

Kara membalas tatapan dalam pemuda itu. Hatinya berdesir mendengar perkataan Ega. Pemuda tersebut sedang tidak percaya diri.

"Kenapa Bang Ega jadi insecure gitu?" tanya Kara, menyipitkan mata, "aku enggak suka dengernya."

Pemuda itu hanya mengedikkan bahunya.

Kara menghela napas lalu kembali berkata, "Mungkin mereka memang lebih baik. Mungkin mereka bisa bikin aku bahagia. Mungkin mereka bisa sering ada di dekatku. Tapi jelas, mereka enggak bisa bikin aku nyaman. Bang Ega memang enggak kayak mereka. Karena Bang Ega ya Bang Ega. Abang enggak perlu jadi mereka. Abang cukup jadi diri sendiri. Aku suka kepribadian Abang. Semua hal kurang baik tentang diri Abang yang disebutkan tadi, masih kalah sama hal-hal baik yang ada di diri Abang."

Ega mengernyit masih dengan pandangan lurus pada gadis itu. Perasaannya menghangat memerhatikan wajah Kara. Ucapan gadis itu juga membuat Ega merasa dihargai.

"Abang ganteng—ya walau pun jujur memang gantengan Bang Jino."

Ega terkekeh mendengar kejujuran dalam ucapan polos Kara.

"Dulu Anin pernah bilang ke aku, Abang adalah pahlawan dalam diam," lanjut Kara, mulai terbiasa dengan suasana seperti ini. Berdua bersama Ega, berbincang menghabiskan sore hari.

Pemuda itu mengernyit. "Pahlawan dalam diam?" kata Ega.

Kara terkekeh sembari mengangguk. "Abang enggak perlu banyak omong, banyak janji, atau banyak kode enggak penting. Abang langsung bertindak. Membantu dan menolong orang di sekitar Abang dengan tetap diam tanpa mengharapkan banyak orang tau atau dapet pujian. Bang Ega orang yang baik," katanya tulus.

Ega manarik bibir tersenyum. Sedikit terenyuh mengetahui pengakuan Anin tentang dirinya, serta penilaian Kara mengenai kepribadiannya.

"Kalau kata Bang Jino ... Bang Ega adalah super hero yang jarang menampakkan diri. Bang Ega kalau mau ngasih perhatian atau peduli sama orang lain, suka malu kalau secara terang-terangan. Jadi ya cara Abang ngelakuinnya dengan diam-diam. Kami para orang terdekat Abang, bisa ngerasain kok gimana perhatiannya, pedulinya, khawatirnya Bang Ega kalau salah satu dari kami lagi kenapa-napa, tapi ya gitu … jarang kelihatan. Namanya juga Tsundere. Hehe … gemes."

Ega yang gemas. Ekspresi Kara membuat Ega ingin mengunyel-unyel kedua pipi itu.

"Bang Ega beberapa kali bilang ke kami kalau mencintai diri sendiri itu penting. Mau seberengsek apa pun diri kita, kita harus tetap mencintainya. Kita rawat, kita benahi, kita damai sama diri sendiri, dengan begitu kita berharap diri yang berengsek itu bisa berubah jadi pribadi yang lebih baik. Bang Ega orang yang peduli."

Rasa Tanpa Suara | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang